GESTAPU MEREKA

Tuesday, December 29, 2009

Di akhir tahun 1999, sekelompok anak muda kuliahan sekolah seni di Jogjakarta sedang duduk santai di sebuah sudut kampus mereka. Sambil menyeruput teh dan berbagi rokok, bertukar cerita tentang malam yang hebat beberapa jam sebelumnya. Mereka baru saja menonton sebuah pertunjukan musik, bersenang-senang, minum bir, bertemu cewek-cewek dan ... berjoget dangdut ! Di masa itu dangdut masih dianggap musik tak berkelas dan kampungan. Namun, Soekar Madjoe, sebuah band dangdut yang didirikan kakak-kakak kelas mereka, mendobrak panggung musik kemapanan dan berani tampil beda. Para penonton terpana, tak sanggup berkata apa dan terhipnotis untuk turun ke lantai dansa. Anak-anak muda itu pun termasuk di dalamnya.Bergoyang ria dan berkhayal, merekalah yang berdiri di panggung itu menaklukkan orang-orang sok gengsi.

“ Lalu, mengapa kita duduk diam disini dan tak berbuat apa-apa,” sahut seseorang diantara mereka, jengkel.

“ Ya,ya. Band dangdut kedengarannya menarik,” timpal yang lain.

Bermula dari kongkow-kongkow di pagi hari itu disertai kehausan akan keakuan diri, sebuah band terbentuk. Para penjaga gawangnya adalah Billy- drummer, Dude- tamborin, Febby- bassis, Andi- gitaris melodi, Jo- penabuh ketipung, Dilan- gitaris ritem dan Let- vokalis. Untuk menghindari persaingan dengan para senior, mereka menganut genre dangdut yang sedikit berbeda, yaitu pop melayu. Dengan kata lain, mereka tidak akan memainkan lagu-lagu Rhoma seperti para senior. Lagu-lagu pop melayu lama ciptaan Koes Plus, Eddy Silitonga dan Pancaran Cahaya Lampu Aladin lah yang jadi pilihan mereka.

“ Nama kita kepanjangan,tidak komersil,“ komentar Let, beberapa minggu setelah mereka menetapkan nama ‘Biar Melayu Asal Selamat Daripada Rok Berbulu Domba’ sebagai identitas band.

“ Kita butuh sesuatu yang aneh,gila dan gampang diingat,” tambah Dude.

“ Ya. Sesuatu yang bikin orang ingat selamanya,” kata Andi sambil melap gitar bolong tuanya.

“ Bombastis dan melegenda,” celetuk Jo.

“ Aku tahu ! Gestapu !,” seru Billy yang pemuda asli kelahiran Madiun.

“ Ih, takut,“ sahut Dilan sambil mengerutkan tubuhnya.

“ Iya, kok seram banget sih,“ tambah Andi tidak senang.

“ Apa pula hubungannya itu dengan musik kita ? “ Let mengernyitkan kening.

“ Lho,lho,lho tenang, tenang. Sik to. Ini bukan Gestapu yang itu. Gestapu kita ini singkatan dari Gerombolan Mahasiswa Pecinta Pop Melayu,” jelas Billy. “ Gimana ?” Semua mengangguk setuju, nama yang bagus.

Setelah beberapa kali latihan dan pentas kecil-kecilan, mereka berhasil tampil di panggung sesungguhnya. Nun jauh di Kota Kembang dalam sebuah acara kampus yang mengundang banyak bintang tamu profesional semacam Netral dan Coklat. Atas bantuan beberapa teman mereka juga tampil di Magelang, Salatiga dan Semarang. Satu tahun setelah berdirinya orang mulai ngeh dan bergosip.

Namun, semua itu sebenarnya tak lepas dari bantuan para penggemar setia, yang menamakan diri mereka ‘Pasukan Joget’ . Mereka itu terdiri dari teman-teman kuliah, pacar-pacar, tetangga-tetangga kos anak-anak Gestapu. Suatu trik cespleng warisan para senior mengajarkan, sebelum penonton mencibir, meludahi atau melempari pentas kalian dengan botol, bawalah penonton sendiri dari rumah. Dengan atraksi tambahan berupa joget massal senggol bacoknya ‘ Pasukan Joget’ berhasil memancing dan memaksa para penonton yang tidak suka dangdut untuk menggoyangkan pinggulnya. Tak pelak lagi, Gestapu yang di masa lalu menegakkan bulu kuduk dan menjadi perdebatan, kini selalu ditunggu-tunggu penampilannya di setiap pertunjukan.

Rockstar era 60,70,80 dan 90an kondang dengan kebiasaan menenggak minuman keras dan narkoba, di atas maupun di luar panggung. Anak-anak Gestapu, walaupun belum punya album dan sedikit jam manggung, rupanya mendapat inspirasi dari kisah para idola. Sulit untuk mencegah mereka dari kebiasaan buruk itu, karena dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah akrab dengan alkohol dan cannabis sativa. Ketukan drum melambat, kunci bas dan gitar selip atau berkejaran dan tarikan vokal sumbang nyaris selalu menghiasi setiap penampilan. Anehnya, para penonton tak peduli ( mungkin tidak tahu, karena mereka mabuk juga ), larut dalam musik dan berjoget ria.

Suatu malam, seusai pentas seorang kawan lama datang menyalami mereka.

“ Kalian hebat. Pertunjukan yang bagus.” Wawan menjabat tangan Let erat-erat. Mereka pulang, dan Wawan mengajak Billy pulang naik sepeda motornya. Dalam perjalanan ia berkata, “ Gestapu sudah punya banyak penggemar ya.“

“ Mungkin. Kenapa kamu bilang begitu ?“ tanya Billy sambil menarik nafas panjang yang berbau naga.

“ Aku sudah lihat tadi,Bil. Mereka suka kalian.“

“ Yah, kami ini kan cuma mahasiswa yang haus hiburan tapi nggak punya uang untuk ke kafe atau diskotek. Kami cuma ingin senang-senang, titik.“

“ Jangan senang dulu,“ ujar Wawan ketus. “ Kalian tahu nggak, kalian terlalu mabuk dan pentas tadi sama sekali nggak enak didengar. Nadanya nggak harmonis sama sekali. Itu yang kalian sebut pop melayu ? Yang benar saja. Pengamen Malioboro malah lebih bagus dari pentas kalian.“

“ Nah, lalu kenapa kau puji dan menyalami kami ?“ tanya Billy sedikit tersinggung.

Aku kan nggak mau dipukulin rame-rame.“

“ Terus apa maksudmu mengajak aku pulang ? Kamu nggak takut aku pukulin sekarang ?”

Wawan terbahak.

“ Gimana caramu berkelahi ? Kamu aja nggak sadar sepatumu sudah hilang sebelah. Gini lho, aku sebenarnya senang punya teman-teman kreatif. Aku juga suka minum, suka ganja. Mau minum satu galon kek itu terserah kalian. Tapi kalian sadar nggak kalau Gestapu sebenarnya punya beban berat dan tidak main-main.“

“ Jadi, apa kami sebaiknya bubar aja ? Buat apa, wong jalan lurus aja nggak bisa, apalagi main musik.“

“ Malah mutung. Piye to ? Berikan aku kesempatan dan akan kutunjukkan bagaimana seharusnya.”

Wawan tak perlu menunggu lama untuk membuktikan maksud perkataannya. Dua minggu kemudian Gestapu mendapat undangan pentas di sebuah pertunjukan musik yang disponsori soft drink merek terkenal. Undangan itu bukannya nyasar begitu saja ke alamat markas Gestapu. Sebulan sebelumnya Billy sudah mengirimkan proposal band, berikut CD berisi rekaman pertunjukan mereka yang terbaik.

“ Hari ini aku akan naik ke panggung bersama kalian,” ujar Wawan beberapa jam sebelum pentas dimulai.

“ Apa kau akan mengisi vokal latar ?” tanya Let sambil menyisir rambut ikalnya dengan tangan. “ Kenapa nggak pernah datang latihan ?”

“ Yah, bisa dibilang ini nggak terlalu membutuhkan latihan,” jawab Wawan. “ Tapi aku minta nanti kalian jangan memainkan alat musik dulu sebelum aku selesai.“

“ Jadi, kamu mau performance art juga di panggung ? Bagus itu,“ komentar Dilan.

“ Pokoknya kalian lihat saja nanti.“ Wawan menyeringaikan senyumnya. “ Dijamin cihui.“

“ Baiklah, langsung saja kita panggil penampil berikutnya...“ seru sang MC yang dahinya sudah bermandikan keringat. Acara itu diadakan di tengah hari bolong di sebuah lapangan sepak bola. Nama band yang disebut berikut ini bisa jadi akan menambah gerahnya suasana. “ Ges-ta-puuu...!!!”

Para penonton menyambut gegap gempita para personil Gestapu memasuki panggung satu per satu. Yang pertama kali muncul adalah Jo, penabuh ketipung bertubuh mungil. Kemudian Dude, yang saat itu mengenakan setelan jas licin dipadu sepatu but hitam. Febby muncul membiarkan rambut kriwilnya yang mirip Slash berkibar tertiup angin. Andi mengikat rapi rambut gimbalnya. Dilan memakai kemeja ketat berwarna ungu bergaris. Para penonton perempuan histeris saat Billy tampil dan hanya menutupi tubuhnya dengan selembar celana plus topi dan kacamata renang.

Sesi setem menyetem adalah saat yang paling menjemukan, terutama bagi penonton. Dan anak-anak Gestapu seakan tidak menyadari hal itu. Nada gitar Dilan dan Andi lama sekali untuk bisa ‘ketemu’. Belum lagi nada gitar basnya Febby yang masih ngalor ngidul. MC acara yang berdiri di bawah panggung samar-samar mencium bau alkohol. Pantas saja. Sudah mabuk duluan. Kok bisa ya panitia dapet band macam ini ? Dari planet mana sih mereka berasal ? gerutunya dalam hati. Let sedang berdiri di bawah panggung. Ia berpenampilan hippie abis siang itu, celana cut bray, kemeja ketat dan sepatu but berhak tinggi. Dari balik kacamatanya yang super besar memandang rekan-rekannya prihatin.

“ Duh, lama banget sih,” keluhnya.

“ Tenang, Let. Akan kusuruh mereka bergegas.“ Wawan melangkah maju ke atas panggung. Ia mengenakan celana kulit, sepatu but hitam dan t-shirt hitam. Disambarnya sebuah mik dan berkoar,

“ Oke, selamat berjumpa kembali dengan kami, Gestapu, Gerombolan Mahasiswa Pecinta Pop Melayu !“ Para penonton membalasnya dengan seruan dan siutan riuh. “ Ada yang menderita sakit jantung disini ? Sebaiknya pulang saja daripada kumat. Ada penggemar Sheila On 7 ? Atau Ungu, mungkin ? Kalo penggemar Dewi Persik, ada nggak ya ? Ayo,ayo maju kesini semua. Jangan takut, kami nggak nggigit, sudah jinak kok. Hei, aku dengar ada yang bilang kampungan. Memang benar, kami ini kampungan. Memang benar juga kalau kalian bilang kami nggak bisa maen lagu Inggris. Kalian pikir, apa istimewanya orang Amerika ? Selebritis Amerika itu sama saja dengan selebritisnya kita, tukang kisruh, jorok, saru ...Pantesan presidennya dulu dilempari sepatu. Ngapain musti kita puja-puja, ‘tul nggak ?” Billy memukul simbalnya keras. Cesss! Dan penonton menjawabnya dengan suara berdengung seperti tawon.

“ Nggak ada yang ngelarang kita nge-punk, jadi hippies seperti Let temanku ini, atau pergi ke disko. Juga nggak ada yang ngelarang kita punya hape, keluar masuk warnet, kemana-mana bawa laptop, atau kawin sama bule. Mau mabuk-mabukan ? Silakan saja asal nggak ketangkap polisi. Tapi ingat-ingat darimana kita ini berasal. Kita boleh saja kecewa lahir di negara ini. Mau gimana lagi ? Daripada lahir jadi kodok atau munyuk, masih mending lahir jadi manusia meski ndeso. Toh nggak selamanya orang ndeso dan budayanya yang ndeso jadi jongos dan peminta-minta. Kok bisa ya ? Hahaha... Kita sebagai orang Indonesia harus bangga dulu dengan ... dangdut ! Hidup budaya Indonesia ! Dangdut terus pantang mundur !”

Kali ini dengungan penonton berubah menjadi seruan riuh rendah. Seekor merpati berwarna abu-abu tersentak ngeri saat melintas di atas kepala mereka. Belum pernah ia mendengar sekumpulan manusia mampu berteriak sekeras itu. Begitu kerasnya, seakan mampu mengguncang langit dan meruntuhkan matahari, bulan, bintang dan seluruh isinya. Dilan mencium bau semangat penonton sedang memanas, segera memetik senar gitarnya dan memainkan sebuah intro, yang segera disusul oleh rekan-rekannya. Tak lama kemudian Let mendekati bibir panggung dan mulai bernyanyi

Ada yang asiknya berdansa

Ada yang sukanya berjoget

Ada yang melompat pogo

Ada penggemar disko

Terserah Anda silakan saja

Kita manusia memang beda

Asal jangan mati rasa

Apalagi angkat senjata...

Anak-anak Gestapu tidak bisa melupakan hari itu.Belum pernah mereka memainkan musik sesempurna dan sambutan se ‘anarkis’ saat itu. ‘ Pasukan Joget’ meng komandoi anak-anak ABG, pedagang kaki lima, panitia, sopir, sekuriti dan pejalan kaki yang kebetulan lewat. Mereka berduyun-duyun mendesak ke arah panggung, terhipnotis lengkingan suara Let dan solo gitar Vai-nya Andi. Mata mereka tak berkedip dan nafas seperti tertahan di kerongkongan. Dan dada mereka berdegup kencang saat Let berteriak:

Jangan menangis, Kawanku

Biar mereka membatu

Disini kita memegang palu

Menahan sembilu jadi satu

Pada bait ini para penonton memekik sambil mengepalkan tangan tinggi-tinggi ke udara. Seakan hendak meninju habis mendung-mendung yang membikin mereka sedih, bingung, kecewa, marah, putus harapan, putus cinta, putus sekolah, kena PHK dan tak punya uang. Hadirin laksana air pasang laut yang bergelora. Bebas lepas bergerak tak putus-putusnya. Berenang-renang riang dalam kolam tanpa air. Asyik mengecap manisnya madu tanpa gula. Hanyut dalam trance tanpa narkoba. Semua menyunggingkan senyum lebar dan tertawa gembira seperti anak-anak autis yang baru saja menemukan dunianya. Sayang, hari sempurna itu tak pernah terjadi untuk kedua kalinya.

Febby memutuskan hengkang dari Gestapu setelah diterima bekerja di sebuah perusahaan film animasi di Malaysia. Posisinya digantikan Rizal, si kurus berambut kriwul, yang sedikit jazzy. Bersamanya, Gestapu kebanjiran banyak order, termasuk sebuah pentas perpisahan mahasiswa KKN di Gunung Kidul yang hanya mampu menyediakan sound system tahlilan. Dan mereka pun tak gentar ketika harus menghibur anak-anak punx Malang. Kenekatan dan keisengan mereka akhirnya berhasil membuat Gestapu dan musik pop melayu berkibar untuk sementara.

Kemudian datanglah tsunami itu.

Bencana pertama datang dari barisan ’Pasukan Joget’. Usia dan darah muda telah memicu keributan antara Ivan, salah seorang anggota ‘Pasukan Joget’, dengan seorang dosen kampus. Bapak dosen yth. sedang mengendarai mobil dan tak sengaja melindas anjing kesayangan Ivan. Bukannya simpati dan minta maaf, pak dosen malah menyalahkan Ivan karena peraturan kampus tidak memperbolehkan mahasiswa membawa binatang peliharaan saat kuliah. Ivan masih berkelit karena merasa tidak membawa anjingnya ke ruang kelas. Untung seorang pembantu dekan melihat pertengkaran itu dan berusaha mendamaikan. Mengira permasalahan selesai dengan permintaan maaf dari kedua belah pihak, anak-anak Gestapu tak menyangka bahwa sang dosen ternyata berhubungan erat dengan jaringan gangster terkuat di kota Jogja. Mereka hanya bisa mematung di kala sang dosen beserta gerombolannya meluluhlantakkan markas besar mereka di pojok parkiran kampus ke dalam kobaran api.

Bencana kedua, Let tertangkap basah sedang membawa satu ons ganja di dalam tasnya saat mengendarai sepeda motor sepulang kuliah. Seorang polisi kenalan Wawan membisikkan kabar, Let sudah lama menempati daftar top ten orang-orang yang paling dicari Polda Jogja.Nyaris tak ada celah untuk meringankan hukumannya, meski keluarga sudah mengeluarkan uang puluhan juta. Meski terguncang, Let merelakan dirinya menjadi penghuni LP Wirogunan. Disana ia terkenal sebagai tukang tato langganan para napi. Dan karya terbaiknya adalah palu dan arit berwarna biru dan merah yang dirajahkan di paha kanannya sendiri. Dukungan rekan-rekan sejawat di Gestapu membuatnya mampu bertahan dan melewatkan waktu tanpa terasa.

Let menghirup udara bebas dua tahun kemudian. Anak-anak Gestapu menghujaninya dengan pelukan dan ucapan selamat datang. Ardin, memperkenalkan diri sebagai vokalis pengganti selama Let tidak ada.

“ Tapi, teman-teman kita ini berpendapat pentas kami tak kan sama tanpa kehadiranmu,” ujar Ardin.

“ Jangan begitu. Kehadiranmu juga bisa bikin pentas kita makin seru !” sambut Let dengan mata berbinar.

Namun, pentas yang diharapkan tak pernah terjadi. Let tiba-tiba jatuh sakit dan terbaring koma tanpa diketahui jelas apa penyebabnya. Dokter mengatakan Let mengidap virus HIV yang menyerang dan melumpuhkan seluruh saraf otaknya. Tak ada yang tahu kapan, bagaimana dan darimana Let mendapatkan virus tersebut. Ada yang menduga Let tertular salah satu penghuni LP melalui pemakaian jarum tato yang tak steril.

Dua bulan kemudian Let menyerah dan menghembuskan nafas terakhirnya. Hujan gerimis dan air mata kawan-kawan seperjuangan mengiringi pemakamannya, sekaligus mengubur band pop melayu Gestapu untuk selama-lamanya.

Singosari, Desember 2008

1 comments:

Anonymous said...

wow.. waktu kuliah dulu gestapu pernah manggung di kampusku :D
keren bgt tampilnya :D

ga sempet rekaman alakadarnya gitu?? kangen dengerin "mari berjoget"

Post a Comment