BIPOLAR DISORDER, THE WORDLESS RAGE

Tuesday, March 2, 2010



Bagi yang belum pernah mendengar tentang bipolar disorder, berikut adalah uraian singkat yang disarikan dari berbagai sumber :
Bipolar disorder or manic–depressive disorder is a psychiatric diagnosis that describes a category of mood disorders defined by the presence of one or more episodes of abnormally elevated mood ( Wikipedia ). Bipolar disorder atau manic-depressive disorder adalah sebuah diagnosa psikiatri mengenai gangguan suasana hati yang didefinisikan dengan munculnya satu atau lebih perubahan suasana hati, dan terbagi atas dua fase. Fase pertama yaitu fase mania, si penderita tampil sangat percaya diri, bahkan sampai over dosis, berbicara cepat dari satu topik ke topik lainnya, merasa dirinya sangat penting tanpa suatu sebab tertentu dan anugerah bagi dunia. Namun di beberapa hari kemudian ia berubah 180 derajat menjadi si pesimis, tidak berharga, tertutup, pemurung, cepat lelah dan lapar, sulit berkonsentrasi dan lambat berpikir. Bahkan memendam keinginan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Fase kedua ini disebut fase depresi.
Dari sudut pandang kedokteran Bipolar Disorder itu disebabkan oleh ketidakseimbangan "key chemicals" (cairan kimia utama) dalam otak kita. Otak kita terdiri dari bermilyar-milyar sel-sel syaraf yang secara konstan menyampaikan informasi dari sel satu ke sel lainnya. Untuk menjaga kestabilan arus informasi dari sel ke sel maka otak menghasilkan cairan yang dinamakan "neurotansmitters". Neurotransmitters yang diperlukan otak adalah dopamine dan serotonin, yang memegang peranan penting dalam kesehatan emosional.
Para pakar yakin bahwa jika salah satu dari susunan neurotransmitters itu tidak seimbang maka akan mengakibatkan Bipolar Disorder. Contohnya, kalau terlalu tinggi jumlah dopamine pada bagian tertentu dalam otak kita, maka akan menimbulkan gejala halusinasi, tetapi bila dopamine terlalu rendah, maka akan menimbulkan gejala kurangnya energi.
Ciri utama bipolar disorder adalah gangguan dalam menimbang suatu tindakan ( Caitlyn Rivera – Waspadai Bipolar Disorder ). Penderitanya seringkali melakukan tindakan spontan, kadang irasional. Oprah Winfrey pada acara talk shownya pernah mewawancarai seorang wanita yang kalap mengejar sebuah mobil yang sudah menyerempetnya sedikit. Ada juga yang tiba-tiba membeli 5000 set televisi karena percaya harga televisi tersebut naik keesokan hari. Anda mungkin masih ingat Sinead O’Connor yang kontroversial itu ? Dalam pengakuannya kepada Oprah, ia menyobek foto Paus John Paulus II di atas panggung pada tahun 1992 karena iseng. Atau Kurt Cobain yang kematiannya masih misterius sampai sekarang ? Atau Axl Rose yang terkenal otoriter sehingga satu per satu anggota Guns N Roses yang ogah berkompromi dengannya memilih hengkang ? Atau Vincent Van Gogh yang memotong telinganya beberapa saat sebelum menembak dirinya sendiri ?
Kita tidak dianjurkan men-judge para penderita bipolar disorder sebagai pribadi bermental lembek dan tidak kuat iman. Karena manusia, siapapun dia dan sekuat-kuat karakternya, tak seorang pun yang akan 100 % aman dari cengkeraman depresi, orang tua tunggal sindrom bipolar. Di bulan Januari hingga Agustus 2009 sebanyak 22.362 orang di Jepang mati bunuh diri. Meningkat sekitar 4,5 % dibandingkan periode yang sama di 2008 ( Nusantara News ). Selain Jepang, adalah Finlandia, Austria, Denmark, Swedia dan Hongaria yang mencatat peningkatan kasus bunuh diri akibat depresi yang dilakukan warga negara mereka ( Cakrawala, 22 April 2004 ). Menurut WHO, gangguan mental menempati urutan keempat penyebab distabilitas. Dan pada tahun 2000 diperkirakan, 121 juta manusia di muka bumi ini menderita depresi.
Berbeda dengan pengidap autisme yang cenderung menarik diri dari kehidupan sosial dan menciptakan dunia sendiri dalam pikirannya, bipolar merupakan buah respon individu terhadap situasi sekitar dan mengalami korsleting dalam perjalanan. Para bipolar menyimpan idealisme tinggi tentang apa dan bagaimana seharusnya sesuatu itu berlangsung. Mereka menolak ketakberdayaan, namun menyadari tidak punya pilihan selain mengalah pada keadaan, yang tidak sesuai dengan harapannya. Ketidakpuasan demi ketidakpuasan, kekecewaan demi kekecewaan menumpuk menyesaki hati. Menjadi semacam bensin yang siap membakar kapan saja. Adalah kemurkaan tanpa kata ( wordless rage ) itulah yang di kemudian hari berhasil melumpuhkan logika dan rasionalitas. Satu-satunya panglima dalam benak si bipolar tiada lain kecuali letupan emosinya sendiri.
Tetapi, bukan berarti para bipolar adalah sekumpulan pembangkang keras kepala. ABG bipolar sering tampil sebagai anak baik-baik, penurut dan manis. Mereka, layaknya aktor panggung sandiwara, sebenarnya sangat cerdas karena mampu membaca situasi, kapan harus berperan sebagai si megalomania atau si pesimis. Saat sedang tidak percaya diri atau ragu, si bipolar bersembunyi di balik omongan besar dan kesombongannya. Sebaliknya, kala berhasil memenangkan kepercayaan semua orang pada kapabilitasnya untuk menyelesaikan pekerjaan atau masalah, mendadak si bipolar malah merasa tertekan dan ingin melarikan diri dari tanggung jawab. Ironisnya, si bipolar tidak menyadari kalau cara berpikirnya melenceng keluar jalur, dan menerapkan pola yang sama berulang kali. Akibatnya, korsleting otak itu bersifat permanen dan tak seorang pun kecuali si penderita sendiri yang dapat menyembuhkannya. Obat penenang yang diresepkan psikiater hanya mengurangi kadar dan frekuensi naik turunnya emosi secara temporer. Begitu pengaruh obat berkurang, si bipolar akan kembali pada kondisi semula. Lalu apakah bipolar harus tergantung kepada obat-obatan seumur hidup untuk membantu dirinya berfikir jernih ?
Apa yang membuat emosi kaum bipolar berubah-ubah ekstrem, angin sepoi basa semenit kemudian puting beliung, ialah ketidaksiapannya menghadapi kenyataan dan keharusan berkompromi dengan tuntutan masyarakat. ‘ Sakit ‘ atau tidak ‘ sakit ‘, tak seorangpun di dunia ini yang bisa lari dari konsekuensi. Begitu pula para bipolar. Si bipolar harus disadarkan dan dibukakan matanya, untuk siap menerima dampak tindakan dan ucapannya. Meskipun misalnya, seluruh dunia tahu kalau dia ‘ sakit ‘, jangan sampai ia berlindung di balik alasan itu sebagai asas pembenaran. Konsekuensi harus tetap dihadapi dan diterima, meskipun pahit rasanya. Ibarat melamar pacar, penerimaan seribu kali lebih baik efeknya daripada penolakan. Membiasakan diri menerima keadaan akan sangat membantu para bipolar untuk memperjarang serangan sindrom itu datang kembali.