WHATT A .... ?!

Thursday, October 28, 2010

SAKITNYA SAKIT oleh : Dyah Mahasasi Swastantika

Thursday, October 14, 2010


            Bulan suci Ramadhan baru saja berlalu. Setelah para kerabat pulang ke rumah masing-masing, kue Lebaran dan kantong kembali menipis kita kembali kepada kehidupan seperti biasa. Sebagian kecil yang sukses mendapatkan berkah Lailatul Qadr mungkin akan merubah pola pikir dan tindak tanduk tanpa disuruh-suruh, lebih positif dan progresif daripada sebelumnya. Sedangkan sebagian lainnya yang belum mendapat berkah harus sabar menunggu hingga Ramadhan berikutnya. Anyway, yang jelas, semua Muslim kini bebas untuk makan dan minum di siang hari. Bebas dari teriakan protes keroncongan di perut selama sebulan kemarin. Bebas dari rasa sakit yang dengan sengaja disongsong guna meraih kepuasan spiritual dalam rangka mengenal sifat-sifat Dia dan menjadi kekasihNya.
            Sejak kanak-kanak kita sudah diajarkan bahwa sakit dan rasa sakit itu sama sekali tidak menyenangkan. Penderitaan datang daripadanya, dan kita harus menjauhinya sedapat mungkin. Apabila suatu saat terjatuh dan menangis kesakitan maka ayah dan ibu tercinta akan cepat-cepat datang menolong. Bermaksud menenangkan tangisan kita beliau memukul lantai atau batu kerikil yang menyebabkan kita terpelanting. Maka semenjak detik itu juga terbentuk pemahaman dalam benak kita mengenai rasa sakit dan penderitaan,  semuanya disebabkan oleh hal-hal yang berada di luar diri kita. Artinya, kalau kita tersandung batu manakala mata terlalu serius memperhatikan sosok bahenol di seberang jalan, maka si batulah yang salah, ngapain juga dia harus menghalangi jalan kita.
            Bukan maksud saya menyalahkan sikap para orang tua kita. Namun, zaman beliau-beliau lahir dan dibesarkan tidak serumit era cyber goro-goro saat ini. Jadi, kita harus menerima dengan dada lapang apabila ‘menyalahkan si batu’ tadi ternyata menyesatkan perjalanan kita di masa dewasa. Entah sudah berpuluh ribu kali kita harus berjalan, tersandung, terjatuh, terperosok bahkan tenggelam karena silau akan gemerlap surga dunia. Memang akhirnya mau tak mau kita akan bangkit dan berjalan kembali. Namun, sosok tersebut bukanlah seorang suciwan atau suciwati yang akan dengan mudah memaafkan diri sendiri apalagi orang-orang lain. Pada suatu masa ia berjalan ke depan tanpa menoleh ke kanan kiri belakang, namun rasa pahit yang dipelihara membuat ia lagi-lagi tersesat.

Si Tamu Tidak Diundang
            Seorang teman pernah bercerita tentang betapa sakti mandragunanya seorang tamu tak diundang yang mampir ke rumahnya beberapa waktu yang lalu. Pagar rumahnya tinggi meruncing, gembok rangkap 3, alarm anti maling selalu on dan cctv standby di sudut-sudut rumah, toh teman ybs akhirnya menangisi kepergian mobil sedan barunya yang raib digondol si ‘ tamu ‘. ‘ Mungkin si penggondol itu punya aji sirep kali ya ? ‘ keluh teman saya. ‘ Oo ya bisa juga, ‘ timpal saya. ‘ Mungkin dia juga punya ilmu pelet, ilmu meringankan tubuh, ilmu menghilang dan kebal peluru dan kebal polisi, otot kawat, tulang jemuran …’
            Pencuri, apapun jenis kelaminnya, tak peduli dia bercadar ninja atau berkerah putih, entah mencuri hati Anda ataupun uang negara, memang begundal yang layak untuk dimaki-maki. Si tamu tak diundang itu bukan saja mengambil barang kesayangan yang dibeli oleh butir keringat kerja keras. Namun juga memberi kita sebuah hadiah istimewa bernama marah, sedih dan sumpah serapah kebun binatang. Harga barang yang hilang mungkin sangat mahal, namun emosi lebih mahal lagi karena tidak ada obatnya di apotik terdekat.
            Ia membikin otak panas seperti mau meledak. Seperti sebuah luka yang belum lama mengering, tiba-tiba terbuka karena siraman air garam, diiris-iris sembilu untuk kemudian digoreng di wajan nafsu duniawi. Kemudian ia menjelma merasuk ke dalam kerusuhan, tawuran, kekerasan, permusuhan, syak wasangka berskala internasional, nasional, daerah, RT RW maupun rumah tangga. Tumpahan lahar gunung api memang sangat mengerikan, apalagi yang sudah tersimpan begitu lama. Karena ia tidak ragu lagi untuk menerjang membinasakan apa dan siapa saja yang berdiri di depannya. Saat si bijak berusaha membunuh perasaan ini, yang didapat hanyalah menggiring angin. Ibarat suporter bonex, semakin diusir, semakin liar pula serangan baliknya.
            Emosi tidak bisa dienyahkan, kecuali kita menghembuskan nafas terakhir. Hanyalah ingatan dan kewaspadaan kelas tinggi manusialah yang bisa menaklukkannya. Seandainya kita belum cukup punya kemampuan untuk itu, mari membuat sebuah keranjang sampah. Letakkanlah sebentar logika dan berpalinglah pada aktivitas yang menguras isi perasaan Anda. Misalnya, memutar piringan hitam lagu-lagu rohani, menggambar pemandangan, memberi makan ikan-ikan dan burung peliharaan, memainkan senar ukulele atau mengencani seniman/seniwati ganteng/ ayu,  kaya dan terkenal.

Masokis rasa Kismis ?
            Mendengar kata yang satu ini mungkin lamunan Anda akan melayang-layang kepada sesuatu kejanggalan seseorang ketika berkencan dengan kekasihnya, cokot mencokot, cambuk kuda lumping, rantai kapal, dll ( Kalau sudah cukup umur Anda bisa menyaksikan contoh-contohnya di website Hentai ). Konon kabarnya, sindrom ini menjangkiti mereka-mereka yang mengalami depresi akibat pengalaman kontak fisik yang mengerikan di usia dini. Mereka, kaum masokis ini, diberi berkah berupa semacam perasaan bahagia melimpah ruah di kala berhasil menyakiti dirinya sendiri baik physically maupuan sexually.  Namun pada perkembangannya, masokis bukan hanya menjadi momok peraduan hasrat Anda. Ia, tanpa kita sadari, ternyata sudah melebarkan sayapnya ke dalam segala macam aspek kehidupan sosial kemasyarakatan manusia.
            Apabila tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mencari ketentraman ( yang entah betah bersembunyi di relung hati sebelah mana ), dan bukan hanya sekedar kesejahteraan materi belaka, maka sudah seharusnyalah kita mencari dimana ia berada. Namun apa daya, semakin dikejar semakin menjauhlah dia. Jangankan untuk mencari, ada juga sebagian kaum yang kurang beruntung dalam mendefinisikan makna di balik ketentraman. Telah dicari ke ujung dunia, bahkan di sela-sela tumpukan jerami, tiada jua bersua. Manakala kita sudah lelah dan kehabisan tenaga untuk meneriaki dan menyalahkan dunia atas kegagalan mendapatkan ketentraman sejati, marilah berhenti berlari dan mengambil nafas panjang sejenak.
            Tanpa kita sadari, entah sudah puluhan, ratusan, jutaan kali kita menyakiti hati sendiri dalam satu hari, satu tahun, dua dasawarsa maupun seumur hidup kita. Kita tahu bahwa berkata bohong itu salah, namun di masa sekolah dasar entah sudah berapa kali kita membohongi orang tua guna mencari alasan pulang terlambat. Kita tahu menyiksa binatang itu dilarang agama, namun kita berseru kegirangan saat jangkrik aduan kita menang. Kita tahu mengutil itu dipotong tangan hukumannya, namun sembari berlagak klepto kita sering merasa tak berdosa saat mengutil di swalayan terdekat. Kita tahu selingkuh itu sadis, namun lagu-lagu cinta bertemakan salah satu penyakit cinta kronis manusia sejak zaman sepur lempung itu nyaris selalu disukai anak-anak muda. Kita tahu merokok itu tidak baik untuk kesehatan, tapi kalau pabrik rokok ditutup semua lalu kemanakah para pekerjanya dan petani tembakau mencari makan ? Kita tahu korupsi itu merugikan banyak sekali orang, namun toh masih ada juga kaum sesat yang membanggakan hasil kekayaan yang diperoleh berkat tipu muslihat. Kita tahu pembantaian massal itu bukan saja keji - hati pelakunya mungkin terbuat dari batu kali, namun tahun demi tahun berjalan tanpa secuil penjelasan pun tentang tragedi A, B, G, F, S dan Z.
            Anda boleh-boleh saja menghakimi gerombolan pecinta tatoisme dan piercingisme sebagai masokis maniak dan kurang normal. Tapi toh hanya 0,99 % dari mereka tidak siap dengan resiko sakit dan tjap buruk dari para tetangga. Hanya mereka yang kurang makan bangku sekolahan tidak dapat menjelaskan arti di balik sebuah tato di hidung dan tindik di tenggorokan. Mengapa harus oknum-oknum misterius menghabisi nyawa mereka satu per satu di era 1980-an ? Toh mereka cuma mengekspresikan rasa sakitnya dan berjuang sekuat tenaga untuk menempatkannya setara selilit kismis di sela-sela gigi,  tak pernah berniat menyakiti orang lain kecuali tubuh milik pribadi.
Idealnya sih, menjalani dan menghabiskan waktu menghirup udara di Bumi ini dengan normal-normal saja, tanpa perlu harakiri menjemput rasa sakit di dalam hati maupun di sekujur badan. Akan tetapi, hidup ini pun menyuguhkan sekian banyak pilihan, pula sekian ribu resiko yang harus ditanggung penumpang sendiri-sendiri. Selanjutnya terserah Anda …
           

           

           
           
           

THE BLACKNYAN TREE

Thursday, October 7, 2010