AN NATURAL SELECTION

Monday, June 28, 2010

BELENGGU CITRA

Bagi Anda yang tidak suka sepak bola, tabahkanlah hati sepanjang bulan Juni hingga awal Juli mendatang, apabila terpaksa melewatkan siaran berita, pentas musik menye-menye ataupun sinetron penguras air mata. Ada yang mengidentikkan rimba persepakbolaan berikut ajang Piala Dunia kali ini dengan kapitalisme ( karena lingkaran setannya adalah pemain bagus, klub menangan, banyak penonton dan tentu saja banyak uang ), selebritas ( karena mayoritas kekasih para pemain sepak bola adalah model dan seleb hot di negaranya ), tragedi ( karena kesebelasan-kesebelasan besar, diantaranya Prancis dan Italy harus angkat koper pagi-pagi sekali. Kabar terakhir disusul Inggris ), gengsi ( jelas, apalagi jika pemenangnya nanti adalah kesebelasan Negara berkembang yang tidak punya gigi sama sekali di kompetisi besar lain seperti WTO atau G-8 ). But, whatever, it’s just a game to?

Kita tidak perlu kecewa karena kesebelasan Indonesia belum berhasil menembus tempat terhormat sebagai finalisnya, atau iri hati menyaksikan perayaan di kesebelasan Negara pemenang. ‘Kan Liga Indonesia yang barusan lewat juga menyuguhkan pemandangan yang mirip-mirip. Seandainya Anda berada di kota Malang di awal Juni lalu tentu akan ikut terpana sekaligus bangga dapat ambil bagian dalam selebrasi kemenangan dan keberhasilan Arema, klub pujaan tua muda, dewasa anak-anak, laki-laki perempuan, pribumi pendatang, pada Liga Indonesia tahun ini. Adalah konvoi sepeda motor, karnaval dan pentas musik rakyat yang memacetkan jalan-jalan utama hingga tiga hari lamanya, kurang lebih tiga minggu sebelum penduduk Brasil, Slovakia dan Korea Selatan bersuka ria menyambut keberhasilan kesebelasan mereka lolos ke babak 16 besar Piala Dunia.

Kota Malang di masa kolonial terkenal dengan sebutan Paris Van East Java, karena kemolekan alam, tata kota dan arsitekturnya. Namun generasi yang lahir belakangan ragu-ragu atas kesahihan julukan itu. Mereka lebih mengenal Malang sebagai kota mikrolet ( karena menjamurnya jumlah angkot jenis itu di setiap jalur ), kota mall dan ruko ( karena di awal 2000 mall dan ruko tiba-tiba muncul mak bedunduk menggantikan ruang terbuka hijau seperti bangkit dari kubur ), kota banjir ( karena jalan-jalan protokol selalu tergenang air di kala hujan turun lebat ) dan kota panas ( jam 9 pagi panasnya seperti jam 12 siang ). Mustahil ‘kan, bangga menjadi warga sebuah kota dengan julukan-julukan semacam ini.

Kemenangan klub yang didirikan Acub Zaenal dan Dirk Sutrisno pada 11 Agustus 1987 itu membuat mereka tidak menyesal lahir dan dibesarkan di kota Malang. Dan akhirnya bisa menegakkan kepala meski bukan termasuk warga kota metropolis yang berkulit putih, pergi kemana-mana naik mobil mewah, gaya bicara dan pakaian modisnya sering tampil di televisi. Mendadak membangkitkan kembali perasaan bangga, besar dan percaya diri di dalam benak mereka, yang sudah puluhan tahun tenggelam, atau bahkan belum pernah lahir sama sekali.
Hiperbola ? Apa sekarang yang bisa kita banggakan dalam nama Indonesia ? Bukannya menafikan arti kecintaan pada tanah air dan bangsa. Haruskah kita berbangga hati atas peringkat 3 besar korupsi se-Asia, 10 besar sedunia, tercepat dalam menggersangkan hutan, keselamatan kerja buruh migrant dicuekin, dan lain-lain, dan lain sebagainya, dan masih banyak lagi. Seperti kain lap dilemparkan di gudang, terkulai bersama debu dan kotoran di tubuhnya. Anda para orang tua bernasib baik karena tidak lama lagi meninggalkan dunia fana berikut pahit getirnya. Namun, betapa malang para pemuda, tunas kelapa dan taruna yang pasrah dan menyerah kepada ketidakberuntungan dan kebelumberhasilan di usia belia. Apalah artinya darah muda tanpa semangat, kebanggaan dan keinginan membangun masa depan ?

Bangga Atas Nama Citra
Citra yang saya maksud disini bukan merk sejenis alat kosmetika. Bukan pula nama seorang gadis jelita. Penampakan, atau kelihatannya, begitulah makna citra, kurang lebih.. Sesuatu yang kelihatan dan ingin ditunjukkan di luar. Membuat penafsiran dan opini merata mengenai sesuatu, atau seseorang. Supaya orang menyukai, menghormati, mengagumi, menyanjung atau bahkan membenci.. Mutlak dibutuhkan orang-orang yang sedang berusaha membangun kepercayaan publik, klien, konsumen, investor maupun calon mertua. Tidak itu saja, dalam kehidupan sehari-hari orang masih membutuhkan citra guna melindungi mereka dari celaan dan bisik-bisik tetangga, menerbitkan rasa hormat dari bawahan dan kolega, mengundang kepatuhan peserta didik atau warga Negara biasa, dan tentu saja simpati lawan jenis.
Tidak masalah seandainya citra atau imaji itu difungsikan sebagai stimulus, atau semacam bensin untuk melaju kencang mewujudkan mimpi-mimpinya. Sebagai cambuk agar tak mudah puas dan lebih berhati-hati berkata, berbuat dan bertindak agar imaji yang dibangun dengan susah payah tidak menjadi muspro, alias sia-sia. Namun, yang sering terjadi adalah, kepuasan dini, kadang-kadang sedikit narsis, cenderung dialami mereka yang menderita ketergantungan terhadap citra.

Manakala dihadapkan pada perbedaan yang amat besar antara angan-angan dan kenyataan, orang cenderung akan memilih potong kompas untuk bertindak dan atau menganalisa permasalahan. Konon kabarnya orang-orang yang tidak beruntung telah tersesat dan memilih kriminalitas sebagai jalan keluar. Namun segolongan lain lebih tidak beruntung. Mereka tahu sedang bermimpi, namun dipaksakannya akal sehat menerima dengan bangga dan kepala tegak kejayaan dan kegemilangan dan keanggunan simbol-simbol, seremoni, upacara-upacara, topeng-topeng norma dan kedok-kedok moralitas. Mereka meyakini ke ‘ini aku’-annya telah berhasil memanipulasi lingkungan sekitar dan tak lagi disiksa rasa putus asa. Puas sudah dipercaya, ditakuti dan disanjung orang dengan hanya menelorkan kesan dan seolah-olah, sebelum atau bahkan tanpa tindakan sama sekali.

Membalik Seolah-olah
Masyarakat mensyukuri, bersimpati dan prihatin penetapan status tersangka kepada vokalis tersohor ARL atas beredarnya rekaman mesranya dengan sesama seleb, LM dan CT. Mereka berharap vonis segera dijatuhkan seberat-beratnya, sebagai harga mahal yang wajib dibayar atas perilaku amoral dan merusak generasi muda. Para orang tua, terutama yang memiliki anak gadis, menarik nafas lega, dan menganggap selesailah sudah masalah yang mengganggu tidur mereka siang dan malam. Namun, apakah benar permasalahan kita selesai sampai disini saja ? Apakah memang benar seorang playboy cap sandal jepit pantas mendapat hukuman lebih berat daripada koruptor ? Memang sungguh tak masuk di logika dan sama sekali tak berkonsep jelas manakala seseorang merekam kemesraannya dengan kekasih A sampai Z dengan kamera video. Namun, atas dasar izin siapakah Negara merasa perlu mengatur kapan, dimana dan bagaimana warga negara melampiaskan nafsu syahwatnya ?

Kita ingin menjadi bangsa yang sempurna meraih cita-cita setinggi langit dengan membanggakan keadiluhungan budaya dan kepatuhan kita terhadap perintah agama masing-masing. Dan meyakini bahwa kemerosotan moral dan perilaku adalah penyebab utama Tuhan tidak menurunkan rejeki dan kesejahteraan merata, sebaliknya hujaman bencana alam dan kesulitan hidup pada kita. Lantas, mengapa orang-orang bule yang perilakunya lebih bejat, sangat tidak bersusila dan menjijikkan itu lebih makmur daripada kita ?

Semua tak lepas dari pola pikir nasional kita yang mengagungkan semua kegemerlapan, kebaikan, kesucian perilaku artifisial, alias seolah-olah, alias di mukanya saja. Apakah di kemudian hari benar terbukti suci murni atau berekor serigala atau menohokkan keris di belakangnya, itu urusan nomor ke seribu sekian ratus. Seorang pejabat koruptor yang beberapa kali naik haji seribu kali lebih berharga di mata masyarakat daripada seorang pemuda putus sekolah peminum yang mengamen di jalan untuk memberi makan keluarganya. Seorang raja feudal berselir tujuh yang hidup di istana bergelimang harta benda mutu manikam jauh lebih mulia daripada pria pribumi bertato yang hidup di pedalaman tengah rimba belantara. Seorang diva tersohor berkerudung yang enam kali kawin dan cerai lebih dipuji orang daripada seorang mantan seleb muda yang khilaf dan ditinggalkan pacar yang sudah menghamilinya namun kukuh menolak aborsi dan memutuskan menjadi single parent.

Secara tidak kita sadari pola pikir semacam ini telah memenjarakan kita selamanya. Raga, selama tidak melanggar hukum, bebas bepergian kemana saja. Akan tetapi, pikiran alias isi kepala kita tidak akan bisa melangkah kemana-mana. Stuck, stagnan, tidak berkembang. Menutup pintu untuk segala macam dan bentuk dialog, wacana dan strategi baru. Menyirnakan tanpa bekas jejak rintisan para pendahulu untuk memulai perubahan. Memutus harapan mereka yang selalu berpikiran positif akan tercapainya ketentraman, dan dengan sendirinya tertundalah kesejahteraan hidup.

Mengapa tidak bisa kita kedepankan kejujuran dan ketidakpura-puraan sebagai modal dan langkah awal untuk me-restart perubahan di negeri ini ? Okelah seandainya hal-hal rumit semacam pelurusan sejarah dan penegakan hukum terlampau berat untuk tulang uzur kita. Untuk menghemat waktu dan energi, ada baiknya kita mengubah strategi yang lebih sederhana. Warga asli kota Malang memakai bahasa walikan ( terbalik ) dalam percakapan sehari-hari dengan rekan sebaya. Misalnya, kata singo ( singa ) dibalik menjadi ‘ongis ‘. Edan menjadi ‘ nade ‘, dll. Terminologi walikan itu saya sarankan menjadi bahan pertimbangan kita semua dalam memandang sekaligus menyelesaikan masalah. Masalah A muncul berulang kali. Diatasi dengan berbagai macam cara halus hingga kasar tetap tidak tuntas. Ada apa gerangan ? Siapa yang salah ? Kalau biasanya kita menganggap ‘ mereka ‘ yang bersalah, mari sekarang kita balik arahnya. Bagaimana kalau ternyata kitalah yang salah ?

Begitulah. Kejadian video vulgar semestinya tidak perlu sampai membuat kita kebingungan dan cemas, seandainya sejak dini kita sudah menegaskan dan memperkenalkan secara terbuka permasalahan hubungan intim dan dunia orang dewasa berikut segala dampaknya kepada putra putri kita. Lagipula, menjadi orang tua dan ubanan bukan berarti kita harus jadul, apalagi gaptek. Kenalilah dunia anak-anak dan remaja itu supaya kita bisa memahami jalan pikiran, keinginan dan kenakalan mereka.