GESTAPU MEREKA

Tuesday, December 29, 2009

Di akhir tahun 1999, sekelompok anak muda kuliahan sekolah seni di Jogjakarta sedang duduk santai di sebuah sudut kampus mereka. Sambil menyeruput teh dan berbagi rokok, bertukar cerita tentang malam yang hebat beberapa jam sebelumnya. Mereka baru saja menonton sebuah pertunjukan musik, bersenang-senang, minum bir, bertemu cewek-cewek dan ... berjoget dangdut ! Di masa itu dangdut masih dianggap musik tak berkelas dan kampungan. Namun, Soekar Madjoe, sebuah band dangdut yang didirikan kakak-kakak kelas mereka, mendobrak panggung musik kemapanan dan berani tampil beda. Para penonton terpana, tak sanggup berkata apa dan terhipnotis untuk turun ke lantai dansa. Anak-anak muda itu pun termasuk di dalamnya.Bergoyang ria dan berkhayal, merekalah yang berdiri di panggung itu menaklukkan orang-orang sok gengsi.

“ Lalu, mengapa kita duduk diam disini dan tak berbuat apa-apa,” sahut seseorang diantara mereka, jengkel.

“ Ya,ya. Band dangdut kedengarannya menarik,” timpal yang lain.

Bermula dari kongkow-kongkow di pagi hari itu disertai kehausan akan keakuan diri, sebuah band terbentuk. Para penjaga gawangnya adalah Billy- drummer, Dude- tamborin, Febby- bassis, Andi- gitaris melodi, Jo- penabuh ketipung, Dilan- gitaris ritem dan Let- vokalis. Untuk menghindari persaingan dengan para senior, mereka menganut genre dangdut yang sedikit berbeda, yaitu pop melayu. Dengan kata lain, mereka tidak akan memainkan lagu-lagu Rhoma seperti para senior. Lagu-lagu pop melayu lama ciptaan Koes Plus, Eddy Silitonga dan Pancaran Cahaya Lampu Aladin lah yang jadi pilihan mereka.

“ Nama kita kepanjangan,tidak komersil,“ komentar Let, beberapa minggu setelah mereka menetapkan nama ‘Biar Melayu Asal Selamat Daripada Rok Berbulu Domba’ sebagai identitas band.

“ Kita butuh sesuatu yang aneh,gila dan gampang diingat,” tambah Dude.

“ Ya. Sesuatu yang bikin orang ingat selamanya,” kata Andi sambil melap gitar bolong tuanya.

“ Bombastis dan melegenda,” celetuk Jo.

“ Aku tahu ! Gestapu !,” seru Billy yang pemuda asli kelahiran Madiun.

“ Ih, takut,“ sahut Dilan sambil mengerutkan tubuhnya.

“ Iya, kok seram banget sih,“ tambah Andi tidak senang.

“ Apa pula hubungannya itu dengan musik kita ? “ Let mengernyitkan kening.

“ Lho,lho,lho tenang, tenang. Sik to. Ini bukan Gestapu yang itu. Gestapu kita ini singkatan dari Gerombolan Mahasiswa Pecinta Pop Melayu,” jelas Billy. “ Gimana ?” Semua mengangguk setuju, nama yang bagus.

Setelah beberapa kali latihan dan pentas kecil-kecilan, mereka berhasil tampil di panggung sesungguhnya. Nun jauh di Kota Kembang dalam sebuah acara kampus yang mengundang banyak bintang tamu profesional semacam Netral dan Coklat. Atas bantuan beberapa teman mereka juga tampil di Magelang, Salatiga dan Semarang. Satu tahun setelah berdirinya orang mulai ngeh dan bergosip.

Namun, semua itu sebenarnya tak lepas dari bantuan para penggemar setia, yang menamakan diri mereka ‘Pasukan Joget’ . Mereka itu terdiri dari teman-teman kuliah, pacar-pacar, tetangga-tetangga kos anak-anak Gestapu. Suatu trik cespleng warisan para senior mengajarkan, sebelum penonton mencibir, meludahi atau melempari pentas kalian dengan botol, bawalah penonton sendiri dari rumah. Dengan atraksi tambahan berupa joget massal senggol bacoknya ‘ Pasukan Joget’ berhasil memancing dan memaksa para penonton yang tidak suka dangdut untuk menggoyangkan pinggulnya. Tak pelak lagi, Gestapu yang di masa lalu menegakkan bulu kuduk dan menjadi perdebatan, kini selalu ditunggu-tunggu penampilannya di setiap pertunjukan.

Rockstar era 60,70,80 dan 90an kondang dengan kebiasaan menenggak minuman keras dan narkoba, di atas maupun di luar panggung. Anak-anak Gestapu, walaupun belum punya album dan sedikit jam manggung, rupanya mendapat inspirasi dari kisah para idola. Sulit untuk mencegah mereka dari kebiasaan buruk itu, karena dalam kehidupan sehari-hari mereka sudah akrab dengan alkohol dan cannabis sativa. Ketukan drum melambat, kunci bas dan gitar selip atau berkejaran dan tarikan vokal sumbang nyaris selalu menghiasi setiap penampilan. Anehnya, para penonton tak peduli ( mungkin tidak tahu, karena mereka mabuk juga ), larut dalam musik dan berjoget ria.

Suatu malam, seusai pentas seorang kawan lama datang menyalami mereka.

“ Kalian hebat. Pertunjukan yang bagus.” Wawan menjabat tangan Let erat-erat. Mereka pulang, dan Wawan mengajak Billy pulang naik sepeda motornya. Dalam perjalanan ia berkata, “ Gestapu sudah punya banyak penggemar ya.“

“ Mungkin. Kenapa kamu bilang begitu ?“ tanya Billy sambil menarik nafas panjang yang berbau naga.

“ Aku sudah lihat tadi,Bil. Mereka suka kalian.“

“ Yah, kami ini kan cuma mahasiswa yang haus hiburan tapi nggak punya uang untuk ke kafe atau diskotek. Kami cuma ingin senang-senang, titik.“

“ Jangan senang dulu,“ ujar Wawan ketus. “ Kalian tahu nggak, kalian terlalu mabuk dan pentas tadi sama sekali nggak enak didengar. Nadanya nggak harmonis sama sekali. Itu yang kalian sebut pop melayu ? Yang benar saja. Pengamen Malioboro malah lebih bagus dari pentas kalian.“

“ Nah, lalu kenapa kau puji dan menyalami kami ?“ tanya Billy sedikit tersinggung.

Aku kan nggak mau dipukulin rame-rame.“

“ Terus apa maksudmu mengajak aku pulang ? Kamu nggak takut aku pukulin sekarang ?”

Wawan terbahak.

“ Gimana caramu berkelahi ? Kamu aja nggak sadar sepatumu sudah hilang sebelah. Gini lho, aku sebenarnya senang punya teman-teman kreatif. Aku juga suka minum, suka ganja. Mau minum satu galon kek itu terserah kalian. Tapi kalian sadar nggak kalau Gestapu sebenarnya punya beban berat dan tidak main-main.“

“ Jadi, apa kami sebaiknya bubar aja ? Buat apa, wong jalan lurus aja nggak bisa, apalagi main musik.“

“ Malah mutung. Piye to ? Berikan aku kesempatan dan akan kutunjukkan bagaimana seharusnya.”

Wawan tak perlu menunggu lama untuk membuktikan maksud perkataannya. Dua minggu kemudian Gestapu mendapat undangan pentas di sebuah pertunjukan musik yang disponsori soft drink merek terkenal. Undangan itu bukannya nyasar begitu saja ke alamat markas Gestapu. Sebulan sebelumnya Billy sudah mengirimkan proposal band, berikut CD berisi rekaman pertunjukan mereka yang terbaik.

“ Hari ini aku akan naik ke panggung bersama kalian,” ujar Wawan beberapa jam sebelum pentas dimulai.

“ Apa kau akan mengisi vokal latar ?” tanya Let sambil menyisir rambut ikalnya dengan tangan. “ Kenapa nggak pernah datang latihan ?”

“ Yah, bisa dibilang ini nggak terlalu membutuhkan latihan,” jawab Wawan. “ Tapi aku minta nanti kalian jangan memainkan alat musik dulu sebelum aku selesai.“

“ Jadi, kamu mau performance art juga di panggung ? Bagus itu,“ komentar Dilan.

“ Pokoknya kalian lihat saja nanti.“ Wawan menyeringaikan senyumnya. “ Dijamin cihui.“

“ Baiklah, langsung saja kita panggil penampil berikutnya...“ seru sang MC yang dahinya sudah bermandikan keringat. Acara itu diadakan di tengah hari bolong di sebuah lapangan sepak bola. Nama band yang disebut berikut ini bisa jadi akan menambah gerahnya suasana. “ Ges-ta-puuu...!!!”

Para penonton menyambut gegap gempita para personil Gestapu memasuki panggung satu per satu. Yang pertama kali muncul adalah Jo, penabuh ketipung bertubuh mungil. Kemudian Dude, yang saat itu mengenakan setelan jas licin dipadu sepatu but hitam. Febby muncul membiarkan rambut kriwilnya yang mirip Slash berkibar tertiup angin. Andi mengikat rapi rambut gimbalnya. Dilan memakai kemeja ketat berwarna ungu bergaris. Para penonton perempuan histeris saat Billy tampil dan hanya menutupi tubuhnya dengan selembar celana plus topi dan kacamata renang.

Sesi setem menyetem adalah saat yang paling menjemukan, terutama bagi penonton. Dan anak-anak Gestapu seakan tidak menyadari hal itu. Nada gitar Dilan dan Andi lama sekali untuk bisa ‘ketemu’. Belum lagi nada gitar basnya Febby yang masih ngalor ngidul. MC acara yang berdiri di bawah panggung samar-samar mencium bau alkohol. Pantas saja. Sudah mabuk duluan. Kok bisa ya panitia dapet band macam ini ? Dari planet mana sih mereka berasal ? gerutunya dalam hati. Let sedang berdiri di bawah panggung. Ia berpenampilan hippie abis siang itu, celana cut bray, kemeja ketat dan sepatu but berhak tinggi. Dari balik kacamatanya yang super besar memandang rekan-rekannya prihatin.

“ Duh, lama banget sih,” keluhnya.

“ Tenang, Let. Akan kusuruh mereka bergegas.“ Wawan melangkah maju ke atas panggung. Ia mengenakan celana kulit, sepatu but hitam dan t-shirt hitam. Disambarnya sebuah mik dan berkoar,

“ Oke, selamat berjumpa kembali dengan kami, Gestapu, Gerombolan Mahasiswa Pecinta Pop Melayu !“ Para penonton membalasnya dengan seruan dan siutan riuh. “ Ada yang menderita sakit jantung disini ? Sebaiknya pulang saja daripada kumat. Ada penggemar Sheila On 7 ? Atau Ungu, mungkin ? Kalo penggemar Dewi Persik, ada nggak ya ? Ayo,ayo maju kesini semua. Jangan takut, kami nggak nggigit, sudah jinak kok. Hei, aku dengar ada yang bilang kampungan. Memang benar, kami ini kampungan. Memang benar juga kalau kalian bilang kami nggak bisa maen lagu Inggris. Kalian pikir, apa istimewanya orang Amerika ? Selebritis Amerika itu sama saja dengan selebritisnya kita, tukang kisruh, jorok, saru ...Pantesan presidennya dulu dilempari sepatu. Ngapain musti kita puja-puja, ‘tul nggak ?” Billy memukul simbalnya keras. Cesss! Dan penonton menjawabnya dengan suara berdengung seperti tawon.

“ Nggak ada yang ngelarang kita nge-punk, jadi hippies seperti Let temanku ini, atau pergi ke disko. Juga nggak ada yang ngelarang kita punya hape, keluar masuk warnet, kemana-mana bawa laptop, atau kawin sama bule. Mau mabuk-mabukan ? Silakan saja asal nggak ketangkap polisi. Tapi ingat-ingat darimana kita ini berasal. Kita boleh saja kecewa lahir di negara ini. Mau gimana lagi ? Daripada lahir jadi kodok atau munyuk, masih mending lahir jadi manusia meski ndeso. Toh nggak selamanya orang ndeso dan budayanya yang ndeso jadi jongos dan peminta-minta. Kok bisa ya ? Hahaha... Kita sebagai orang Indonesia harus bangga dulu dengan ... dangdut ! Hidup budaya Indonesia ! Dangdut terus pantang mundur !”

Kali ini dengungan penonton berubah menjadi seruan riuh rendah. Seekor merpati berwarna abu-abu tersentak ngeri saat melintas di atas kepala mereka. Belum pernah ia mendengar sekumpulan manusia mampu berteriak sekeras itu. Begitu kerasnya, seakan mampu mengguncang langit dan meruntuhkan matahari, bulan, bintang dan seluruh isinya. Dilan mencium bau semangat penonton sedang memanas, segera memetik senar gitarnya dan memainkan sebuah intro, yang segera disusul oleh rekan-rekannya. Tak lama kemudian Let mendekati bibir panggung dan mulai bernyanyi

Ada yang asiknya berdansa

Ada yang sukanya berjoget

Ada yang melompat pogo

Ada penggemar disko

Terserah Anda silakan saja

Kita manusia memang beda

Asal jangan mati rasa

Apalagi angkat senjata...

Anak-anak Gestapu tidak bisa melupakan hari itu.Belum pernah mereka memainkan musik sesempurna dan sambutan se ‘anarkis’ saat itu. ‘ Pasukan Joget’ meng komandoi anak-anak ABG, pedagang kaki lima, panitia, sopir, sekuriti dan pejalan kaki yang kebetulan lewat. Mereka berduyun-duyun mendesak ke arah panggung, terhipnotis lengkingan suara Let dan solo gitar Vai-nya Andi. Mata mereka tak berkedip dan nafas seperti tertahan di kerongkongan. Dan dada mereka berdegup kencang saat Let berteriak:

Jangan menangis, Kawanku

Biar mereka membatu

Disini kita memegang palu

Menahan sembilu jadi satu

Pada bait ini para penonton memekik sambil mengepalkan tangan tinggi-tinggi ke udara. Seakan hendak meninju habis mendung-mendung yang membikin mereka sedih, bingung, kecewa, marah, putus harapan, putus cinta, putus sekolah, kena PHK dan tak punya uang. Hadirin laksana air pasang laut yang bergelora. Bebas lepas bergerak tak putus-putusnya. Berenang-renang riang dalam kolam tanpa air. Asyik mengecap manisnya madu tanpa gula. Hanyut dalam trance tanpa narkoba. Semua menyunggingkan senyum lebar dan tertawa gembira seperti anak-anak autis yang baru saja menemukan dunianya. Sayang, hari sempurna itu tak pernah terjadi untuk kedua kalinya.

Febby memutuskan hengkang dari Gestapu setelah diterima bekerja di sebuah perusahaan film animasi di Malaysia. Posisinya digantikan Rizal, si kurus berambut kriwul, yang sedikit jazzy. Bersamanya, Gestapu kebanjiran banyak order, termasuk sebuah pentas perpisahan mahasiswa KKN di Gunung Kidul yang hanya mampu menyediakan sound system tahlilan. Dan mereka pun tak gentar ketika harus menghibur anak-anak punx Malang. Kenekatan dan keisengan mereka akhirnya berhasil membuat Gestapu dan musik pop melayu berkibar untuk sementara.

Kemudian datanglah tsunami itu.

Bencana pertama datang dari barisan ’Pasukan Joget’. Usia dan darah muda telah memicu keributan antara Ivan, salah seorang anggota ‘Pasukan Joget’, dengan seorang dosen kampus. Bapak dosen yth. sedang mengendarai mobil dan tak sengaja melindas anjing kesayangan Ivan. Bukannya simpati dan minta maaf, pak dosen malah menyalahkan Ivan karena peraturan kampus tidak memperbolehkan mahasiswa membawa binatang peliharaan saat kuliah. Ivan masih berkelit karena merasa tidak membawa anjingnya ke ruang kelas. Untung seorang pembantu dekan melihat pertengkaran itu dan berusaha mendamaikan. Mengira permasalahan selesai dengan permintaan maaf dari kedua belah pihak, anak-anak Gestapu tak menyangka bahwa sang dosen ternyata berhubungan erat dengan jaringan gangster terkuat di kota Jogja. Mereka hanya bisa mematung di kala sang dosen beserta gerombolannya meluluhlantakkan markas besar mereka di pojok parkiran kampus ke dalam kobaran api.

Bencana kedua, Let tertangkap basah sedang membawa satu ons ganja di dalam tasnya saat mengendarai sepeda motor sepulang kuliah. Seorang polisi kenalan Wawan membisikkan kabar, Let sudah lama menempati daftar top ten orang-orang yang paling dicari Polda Jogja.Nyaris tak ada celah untuk meringankan hukumannya, meski keluarga sudah mengeluarkan uang puluhan juta. Meski terguncang, Let merelakan dirinya menjadi penghuni LP Wirogunan. Disana ia terkenal sebagai tukang tato langganan para napi. Dan karya terbaiknya adalah palu dan arit berwarna biru dan merah yang dirajahkan di paha kanannya sendiri. Dukungan rekan-rekan sejawat di Gestapu membuatnya mampu bertahan dan melewatkan waktu tanpa terasa.

Let menghirup udara bebas dua tahun kemudian. Anak-anak Gestapu menghujaninya dengan pelukan dan ucapan selamat datang. Ardin, memperkenalkan diri sebagai vokalis pengganti selama Let tidak ada.

“ Tapi, teman-teman kita ini berpendapat pentas kami tak kan sama tanpa kehadiranmu,” ujar Ardin.

“ Jangan begitu. Kehadiranmu juga bisa bikin pentas kita makin seru !” sambut Let dengan mata berbinar.

Namun, pentas yang diharapkan tak pernah terjadi. Let tiba-tiba jatuh sakit dan terbaring koma tanpa diketahui jelas apa penyebabnya. Dokter mengatakan Let mengidap virus HIV yang menyerang dan melumpuhkan seluruh saraf otaknya. Tak ada yang tahu kapan, bagaimana dan darimana Let mendapatkan virus tersebut. Ada yang menduga Let tertular salah satu penghuni LP melalui pemakaian jarum tato yang tak steril.

Dua bulan kemudian Let menyerah dan menghembuskan nafas terakhirnya. Hujan gerimis dan air mata kawan-kawan seperjuangan mengiringi pemakamannya, sekaligus mengubur band pop melayu Gestapu untuk selama-lamanya.

Singosari, Desember 2008

ANARKI, SIAPA TAKUT ?

Wednesday, December 16, 2009

Presiden kita tercinta sempat mengumumkan, ada rencana besar untuk menggulingkan pemerintah yang sah menyusupi gerakan moral 9 Desember 2009 lalu. Gerakan ini dihelat dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, dan dipusatkan di Lapangan Monas DKI Jakarta.
Beberapa pejabat tinggi membenarkan pernyataan Presiden tersebut, dan sama-sama mengkhawatirkan potensi ‘ anarki ‘, yang tidak hanya akan merusak nama bangsa namun juga akan membawa akibat yang akan menyengsarakan rakyat. Entah bagaimana raut wajah mereka sekarang, karena aksi berjalan lancar-lancar saja, dan paranoia yang mengusik banyak orang itu belakangan ternyata isapan jempol belaka.

Anarki, atau anarchy, dalam kamus Wikipedia dijabarkan, 1.’absence of government, a state of lawlessness due to the absence or inefficiency of the supreme power, political disorder. (= kekosongan kekuasaan, suatu kondisi ketiadaan hukum akibat dari ketidakmampuan atau inefisiensi kekuasaan, gangguan politik). 2. ‘ a social state in which there is no governing person or group of people, but each individual has absolute liberty ( without the implication of disorder ).’ (= sebuah kondisi sosial dimana tidak ada seseorang atau sekelompok orang yang berkuasa, namun tiap individu mempunyai kebebasan absolut, tanpa melakukan gangguan/ kekerasan ).

Media dan para tokoh menerjemahkan anarki sebagai suatu kondisi dimana rakyat, atau sejumlah besar orang, menolak pemerintahan atau pihak yang berkuasa secara sah di suatu negara atau wilayah. Penolakan terjadi akibat ketidakpuasan masyarakat terlanjur meluas terhadap kebijakan pemerintah yang tidak kunjung membawa perubahan dalam hidup mereka. Namun salah besar kalau kita membayangkan kerusuhan dalam skala besar, penjarahan, pemerkosaan massal, perusakan, dll., seperti Mei 1998 silam, adalah manifestasi tunggal dari anarki.

Rakyat kita bukanlah sekumpulan orang bodoh yang tidak pernah belajar seperti para pemimpin mereka. Mereka sudah kenyang dengan penderitaan dari peristiwa masa lalu yang tak hendak diungkapkan, cukup kuat menahan rasa lapar, muak dengan budaya tontonan seremonialisme dan tahan banting di tengah alam porak poranda dan rentan bencana. Lambat laun mereka pun menghendaki perubahan dan sadar sesadar-sadarnya bahwa perubahan mutlak dilakukan dari diri sendiri. Mereka mengubah pola pikir dan cara menyalurkan emosi. Daripada marah-marah terhadap ketidakberuntungan hidup dan merugikan banyak orang, lebih baik menabahkan hati. Daripada menyesali nasib sendirian, lebih baik mengungkapkannya bebarengan. Itulah sebabnya dukungan publik meluas dalam kasus-kasus semacam Prita, Bibit-Chandra dan Bank Century.
Ibarat seorang ABG dihukum guru di sekolah. Mereka patuh disuruh membersihkan WC, sembari berkata dalam hati ‘ kita lihat saja nanti, Pak’. Alam bawah sadar mereka menolak untuk patuh, tapi tidak punya pilihan selain tunduk. Mereka tidak puas, tapi tidak melawan. Bukan karena tidak punya keberanian, melainkan demi ketenangan orang-orang di sekitarnya. Inilah anarki yang sesungguhnya dalam bentuk sederhana.

Lalu ada beberapa orang yang terlampau lama memendam emosi, sehingga sel-sel otak mereka karatan dan tak mampu berpikir jernih. Dan gumpalan emosi itu meluap tumpah. Ia mencemari darah. Darah yang menggerakkan tangan dan kaki untuk bergerak cepat, melindas dan menghancurkan apa saja yang menghalangi. Semua hal menjadi halal asalkan rasa marah tak lagi menyesakkan dada. Inilah chaos, riot. Siapapun, tak pandang ia penganut anarkisme atau nasionalis atau paham apapun juga, punya kelemahan untuk melakukan chaos. Tak peduli setinggi apa jabatan, pendidikan, berjuta-juta jumlah simpanannya di bank, seganteng atau secantik apapun dia, tetaplah binatang buas jika terlanjur gelap mata ditelan chaos. Sekarang, sudah bisa kah kita bedakan antara chaos dan anarki ?

APA ITU 'ANARKI ' ?
Kebanyakan antropolog sepakat bahwa sebelum sejarah dunia dituliskan, manusia hidup bersama di bawah prinsip-prinsip anarkisme. Menurut Harold Barclay, jauh sebelum anarkisme dikenal sebagai salah satu ideologi, selama ribuan tahun manusia hidup, berkembang biak dan bersosialisasi tanpa ada campur tangan pemerintah atau negara ( karena negara belum terbentuk pada masa itu ). Seluruh anggota kelompok mempunyai posisi yang sama. Tidak ada seseorang yang menempati posisi lebih tinggi, misalnya pemimpin kelompok atau raja. Semua keputusan dibuat berdasarkan kesepakatan kelompok. Posisi kaum tua dipandang sebagai penasehat dan tidak wajib bertanggung jawab atas akibat atau konsekuensi implikasi keputusan bersama.

Kebanyakan anarkis percaya kalau masyarakat seperti ini harus berbasis komunitas lokal yang cukup kecil agar orang-orang saling mengenal, atau setidaknya orang-orang akan menjalin pertalian seperti keluarga, persahabatan, dan berbagi pandangan maupun kepentingan satu sama lain. Karena ini adalah sebuah komunitas lokal, masyarakat akan memiliki pengetahuan bersama atas komunitas dan lingkungan mereka. Mereka akan menyadari bahwa mereka harus hidup dengan konsekuensi atas keputusan yang mereka buat.
Para anarkis percaya bahwa keputusan harus selalu dibuat di dalam level sekecil mungkin. Setiap keputusan dimana para individu bisa memutuskannya untuk diri mereka sendiri, tanpa mencampuri keputusan individu lainnya, yang juga harus membuat keputusan mereka sendiri. Setiap keputusan yang dibuat oleh kelompok kecil ( seperti keluarga, kongregasi relijius, organ-pekerja, etc ) sekali lagi adalah keputusan mereka sendiri dan tidak diperkenankan mencampuri keputusan kelompok yang lain. Keputusan-keputusan antar kelompok yang menyebabkan benturan yang signifikan, jika benar-benar dikhawatirkan oleh semuanya, dapat membentuk sebuah dewan ekstra untuk bertemu dan menangani masalah.
Dewan komunitas semacam ini bukanlah legislator. Tidak ada satupun yang dipilih, jadi mereka harus mengajukan diri atau diputuskan melalui mufakat untuk mewakili komunitasnya masing-masing. Karena masyarakat harus berbicara untuk diri mereka sendiri. Dan ketika mereka akan membicarakan isu lebih spesifik disitu, mereka cukup sadar bahwa bagi mereka, menang bukanlah, yang dikatakan oleh pelatih grup sepak bola Vince Lombardi, “segala-galanya.” Mereka menginginkan semua orang untuk menang. Mereka menghargai pertemanan dengan tetangga. Yang harus mereka lakukan, pertama, mereduksi kesalahpahaman yang ada dan mengklarifikasikan isu. Seringkali tindakan semacam ini sudah cukup untuk menghasilkan persetujuan. Jika itu memang tidak cukup, mereka dapat melakukan kompromi. Namun seringkali tindakan pertama sudah cukup. Jika memang tidak dapat berjalan sama sekali, dewan dapat menunda isu, selama isu ini tidak membutuhkan keputusan yang cepat, agar keseluruhan komunitas dapat merefleksikannya dan mendiskusikan masalah tersebut di pertemuan selanjutnya. Jika benar-benar gagal, komunitas yang berselisih pandangan terpaksa harus berpisah sementara waktu. Kedua pihak di kemudian hari akan dipertemukan kembali dan harus mengajukan apa yang mereka inginkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

KEHIDUPAN MASYARAKAT ANARKIS SEKARANG
Singkat kata, anarkisme sudah dianut masyarakat primitif yang hidup berabad silam. Para pemikir diantaranya Diogenes kaum Cynic pada peradaban Yunani Kuno dan Lao Tse di era China Kuno. Negara baru berumur beberapa ribu tahun, dan memakan waktu cukup lama bagi Negara untuk menyingkirkan ‘masyarakat anarkis yang terakhir,’ seperti para San ( Bushmen ), para orang-orang kerdil dan suku Aborigin Australia. Pada skala lokal, suku-suku minoritas di Indonesia pernah, dan sebagian masih, menerapkan anarkisme dalam kehidupan mereka. Diantaranya suku Anak Dalam, suku Baduy dan suku Mentawai. Proses alienasi terhadap mereka pun sudah dan masih berlangsung sampai sekarang.
Beberapa waktu lalu ada sebuah berita di surat kabar nasional tentang suku Anak Dalam yang kian merana. Karena hutan rimba tempat hidup dan mencari makan mereka telah habis dibabat untuk keperluan industri kayu dan perkebunan sawit. Padahal mereka sudah menghuni kawasan hutan sejak lahir, dan tak pernah mencederai barang sebatang pohonpun, karena ajaran yang diwariskan leluhur mereka, hutan adalah tempat menyandarkan hidup, maka kalau hutan rusak, mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Apa mau dikata, tidak hanya bahaya kelaparan yang mengancam, bahkan mereka terusir dari ‘ rumah ‘ yang sudah dihuni berpuluh tahun , dan sebagai gantinya terpaksa menempati perkebunan dan ladang milik warga dengan mendirikan tenda-tenda plastik sekedar untuk berteduh dari panas dan hujan.

Tahun 1950-an pemerintah daerah setempat mengadakan Rapat Tiga Agama di pulau Siberut, Kep.Mentawai. Pada rapat itu diputuskan, orang-orang Mentawai harus meninggalkan kepercayaan asli mereka, Arat Sabulungan ( atau adat daun-daunan, yaitu sebuah kepercayaan yang mengajarkan bagaimana orang Mentawai hidup seimbang dengan daun-daunan, pralambang dari pepohonan dan alam sekitar ). Mereka harus memilih diantara tiga agama ‘ resmi ‘, Islam, Kristen Katolik atau Kristen Protestan. Bersamaan, rumah-rumah adat hasil karya nenek moyang mereka dibakar. Tradisi tato dan meruncing gigi dilarang. Demikian pula profesi Sikerei ( tabib, penasehat suku ). Sebagian kecil orang Mentawai yang kecewa dengan keputusan tersebut memilih menyingkir ke dalam hutan, sembari mempertahankan tradisi dengan susah payah. Dan menelan pil pahit berupa penyakit malaria yang kerap menelan korban jiwa, kesulitan mengenyam pendidikan tinggi bagi anak-anak mereka, dan cap ‘ orang aneh ‘ mengikuti mereka yang turun ke perumahan pendatang. Sulit dipercaya, keputusan yang demikian mengejutkan dan memalukan pernah dibuat oleh sebuah negara bernama Indonesia yang katanya menjunjung tinggi penegakan Hak Asasi Manusia. Adakah media kita yang berani mengungkap tragedi ini seheboh Bank Century ?

'ANARKI' DI DALAM HATI KITA
Bangsa Indonesia dikenal dengan tenggang rasa dan toleransinya yang kuat. Selalu menyambut dengan tangan terbuka kepada siapa saja dan bersedia berkompromi demi menjaga ketenangan suasana. Tetapi, di masa lalu pihak luar atau pendatang telah secara semena-mena memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri. Maka seperti inilah wajah bangsa kita sekarang. Menelan mentah-mentah semua paham, ideologi, gaya hidup bahkan agama. Dan kehilangan jati diri karena tidak bisa berkata ‘ tidak ‘. Kompromi untuk ‘ menjaga ketenangan ‘ telah bergeser menjadi ‘ ketertiban dan keamanan ‘. Perbedaannya ‘ ketenangan ‘ tercipta dari kesadaran tiap individu. Sedangkan ‘ ketertiban ‘ adalah sesuatu yang mengandung unsur memaksa, datang dari seseorang yang memosisikan dirinya jauh di atas tiap individu di wilayah tersebut.

Jika kita dapat memutar kembali waktu, semestinya, dahulu saat paham-paham asing beserta anteknya berdatangan, bangsa kita selain menyambut dengan ramah tamah harus mengajukan syarat-syarat yang wajib dipatuhi. Tak luput pula mempertahankan sedikit hal yang diyakininya dan tak boleh dilupakan begitu saja. Seharusnya, bangsa kita pun musti mempelajari semua paham baru yang masuk dengan teliti dan tuntas, jadi tidak ada lagi yang namanya pemahaman setengah-setengah. Pada waktu itu bangsa kita menganggap remeh semua hal yang berasal dari masa lalu. Dianggap kuno, ketinggalan zaman, dsb. Padahal belum tentu semua yang baru itu baik dan cocok. Paham-paham baru tidak pernah menghargai tata cara, sopan santun, adat istiadat dan proses dalam mencapai tujuan. Dan indoktrinasi mereka sudah ‘ memaksa ‘ bangsa kita untuk mematuhinya tanpa memberi kesempatan untuk bertanya atau berbeda pandangan. Maka, seperti inilah wajah bangsa kita sekarang. Kehilangan jati diri dan merangkak pelan menuju jurang kehancuran.

Kaum anarkis tidak biasanya menawarkan cetak biru, tapi mereka menawarkan cara-cara menuju hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa ‘mutual aid’ – kerjasama dan bukannya kompetisi – adalah basis utama dalam kehidupan sosial. Mereka berpendapat bahwa keberadaan masyarakat dipertahankan demi kepentingan setiap individu, dan bukan sebaliknya. Anarkis menentang keras konsep sentralisasi, hirarki atas ke bawah, dimana semakin tinggi pemerintahan semakin tinggi pula kekuasaannya. Semakin besar kekuasaan semakin besar pula kesempatan para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan dan bersikap sewenang-wenang.

Etik D.I.Y –Do It Yourself- lakukan sendiri, disini bukan berarti bebas dari aturan siapapun atau batas apapun. Dalam konteks ini manusia memang diberi kebebasan untuk memilih, berkehendak dan berbuat apa yang diinginkannya. Namun, ia tetap dihadapkan pada segala konsekuensi dari tindakan dan ucapannya. Dengan menjadi anarkis manusia akan belajar dari pengalaman dan menuntun dirinya sendiri kepada suatu kesadaran, ucapan atau perbuatan yang seperti apa yang tidak hanya menguntungkan ia tapi tidak merugikan orang lain di sekitarnya. Itulah kunci dari anarkisme, gabungan dari ‘ rasa ‘ untuk berbagi, menghargai sesama, merdeka sekaligus bertanggung jawab. Tidak sulit ‘kan ?

BROKER

Friday, December 4, 2009


        Pernah Anda dengar nama ‘ Amengtawe ‘ ? Belum ? Yah maklumlah, karena nama itu terdampar  nun jauh di ujung barat negara bernama Republik Paniang.  Pantai-pantai pasir putih, rimbunan hutan kelapa, angin sepoi-sepoi beraroma ikan segar, birunya air laut dan deburan ombak  tiada henti. Bagi kita itu pemandangan surga, namun anak-anak muda Amengtawe bilang, membosankan. Impian mereka cuma satu, pergi ke kota dan meninggalkan kampung  selamanya.
        Dulu, ikan-ikan dan makhluk laut di perairan kepulauan ini berlimpah. Selain tuna, paus dan lumba-lumba, ada juga  penyu dan lobster. Semua orang berlomba menangkap dua  makhluk laut ini sebanyak mungkin, setelah tersiar kabar  harga tinggi diberikan kepada siapa saja yang berhasil menjalanya. 1 kilogram lobster setara dengan 150 ribu belly. Misalnya  dalam sehari Anda berhasil menjala dua puluh kilogram lobster. Lalu dikalikan 30 hari, atau 365 hari, bayangkan berapa belly yang Anda bawa pulang. Alam yang dermawan mendatangkan zaman keemasan orang-orang Amengtawe. Semua orang kaya mendadak dan berlomba merenovasi rumah kayu mereka dengan bata dan semen, membeli perahu besar, mengadakan pesta makan-makan  tiap hari dan istri-istri mereka memakai emas kemana-mana.
        Sampai tiba-tiba penyu, lobster dan ikan tongkol menghilang dari lautan. Dicari ke dasar laut pun tak nampak barang seekor. Tinggallah ikan-ikan kecil yang tak laku dijual. Dimakan pun tak membikin kenyang. Perahu-perahu besar menganggur karena sudah lama tak ada orang berlayar menangkap ikan.  Rumah-rumah bagus penduduk Amengtawe dibiarkan tak terawat. Catnya mengelupas dan gentingnya bocor. Jangankan untuk memperbaiki rumah, untuk makan saja sudah sulit. Kejayaan Amengtawe pun  berakhir ketika para perempuan melucuti satu per satu emas yang mereka kenakan.
Para pemuda Amengtawe tak mengerti, mengapa alam yang pemurah mendadak jadi pelit. Mereka mengira makhluk-makhluk itu mungkin bersembunyi  di bawah palung samudra. Dan suatu hari akan muncul ke hadapan mereka lagi. Namun saat yang dinanti tak kunjung tiba. Sebagian besar pemuda jadi bosan karena terlalu lama menunggu. Kemudian mereka melarikan diri ke pulau besar di seberang, Pulau Mandala, mencari pekerjaan sebagai kuli bangunan, buruh pabrik, tukang parkir, preman atau apa saja yang menghasilkan uang.
        Termasuk diantaranya ayah kandung Malino, yang merantau ke Mandala sejak berusia 17 tahun. Malino dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu kandung keturunan asli pulau Mandala, berteman dan berpacaran juga dengan orang Mandala. Wajar jika  tak secuil pun  yang ia tahu tentang Amengtawe. Sehingga ia pun tak  merasa bersalah, ketika lulus SMA,  di tengah-tengah kekacauan pikiran karena  kuliah di perguruan tinggi terkemuka tak mungkin bisa dibiayai ayahnya yang hanya seorang pekerja pabrik dan lamaran pekerjaan berkali-kali ditolak, Malino memutuskan  untuk memanfaatkan tanah nenek moyang demi kesejahteraan diri sendiri.
        Berkat kemurahan hati seorang teman koresponden majalah wisata, yang mengklaim ‘menemukan’ pulau bernama Karang Mayat saat melakukan pemotretan bawah laut, Malino berhasil mengetahui detil luas pulau, letak geografis dan demografisnya plus foto terbaru. Sedikit copy dan paste,  hujan kata-kata  salesman obat dan akses net super cepat, dan … Voila ! Pulau Karang Mayat, surga pengejar ombak, ditawarkan seharga dua triliun belly di situs  Islands For Sale.
        Malino tak perlu menunggu lama karena dalam waktu singkat, lusinan email  menjejali inboxnya. Semua memposting pertanyaan, apakah harga pulau ini tidak bisa diturunkan sedikit ? Sang broker pemula itu kukuh menjawab, tidak. Malino tahu para penawar pulau itu ialah sekelompok surfer internasional yang sudah jenuh bermain ombak di pulau Hula, Batu Merah, Pundut, bahkan di Keyshia, negerinya sendiri. Pulau-pulau itu sudah terlampau padat dan pengap. Naluri penakluk menghimbau mereka  keluar dari hiruk pikuk kota, mencari tantangan baru.
Dan begitulah. Orang-orang asing itu jatuh cinta pada kecantikan Karang Mayat dalam foto polesan photoshop  amatiran Malino dan bersedia membayar berapapun asalkan beroleh kesempatan menjajal ombaknya. Entah siapa yang memulai, yang jelas mereka membelinya secara patungan. Mereka berencana mendirikan resor di Karang Mayat dan menyerahkan semua urusan kepada yth Mr. Malino. Malino terlompat kegirangan dari kursinya sewaktu membaca email itu.
*
        “ Apa kau sudah gila ?” Kakek-kakek itu menatap tajam kepada Malino. Kata-katanya datar dan lemah, namun Malino merasakan sorot kebencian di kedua matanya. Nama kakek itu Davu. Dia adalah sesepuh sebuah perkampungan nelayan di pulau Bila, yang letaknya berhadapan dengan pulau Karang Mayat. “ Kau ini anak tak tahu adat. Aku tahu kau lahir di perantauan.   Ayahmu tak pernah ceritakan apa-apa tentang kepulauan ini ya ?  Huh, orang bodoh !”
         Sontak mendidih darah Malino mendengar orang tuanya dihina begitu rupa.
        “ Kau tahu tidak mengapa pulau itu disebut Karang Mayat ? “ lanjut Davu tenang mengacuhkan muka Malino yang merah padam. “ Kesitulah kakek-kakekku dan kakek-kakek dari kakekmu pergi untuk mencari jalan keluar masalah-masalah pria yang hanya bisa selesai jika salah satu atau dua atau lebih dari mereka mati. Lalu mayat mereka akan dibiarkan sampai busuk dimakan ulat dan kerangkanya membeku menjadi karang. Itulah mengapa pulau yang hendak kau jual itu dinamai Karang Mayat.”
        “ Jadi ?”
        “ ’Jadi ‘ ?! Jadi, pulau itu berhantu, Anak Kota. Para arwah itu tidak akan senang. Jangan tanya padaku apa yang bisa dilakukan para arwah untuk mengganggu kau dan teman-temanmu. Sesuatu yang buruk pasti terjadi.”
        “ Tapi, kepulauan kita ini sekarat, Kakek,” cetus Malino tak sabar. “ Lihatlah anak-anak muda itu ! Badan mereka kuat, sehat. Tapi apa kerja mereka ? Makan tidur, makan tidur. Sia-sia saja Kakek suruh mereka menangkap ikan. Ikan disini sudah habis. Kalau teman-temanku kemari dan membangun hotel, anak-anak Kakek bisa kerja dan punya uang banyak.”
          Uang ?” dengus Davu sinis. “ Untuk apa uang ?”
        “ Yah untuk …” Malino menggaruk kepalanya kehabisan kata-kata menghadapi kakek keras kepala itu. “ … beli beras, roti, baju. Istri kakek bisa pakai emas lagi .Cucu kakek bisa sekolah di kota, cari ilmu untuk bangun pulau ini.”
        “ Hah ! Untuk apa pula sekolah di kota, kalau pulang-pulang malah jadi budak orang asing seperti dirimu !”
        Sadar usahanya gagal, Malino pun mengganti taktik. Kalau orang tua sudah kepala batu, siapa tahu anak-anaknya masih lembek dan gampang diatur, pikirnya.
        “ Kami mau saja kerja di tempat teman-teman Abang , “ ujar Reno, seorang pemuda lokal yang ditemui Malino keesokan harinya. “ Tapi kami ini orang dusun, sekolah cuma sampai SD. Mana  kami tahu mau mereka apa ? “
        “ Ah, jangan khawatir. Itu bisa diatur. Saya nanti jadi penerjemah kalian. Sekarang coba kumpulkan teman-temanmu yang mau kerja sama kita.”
         Bos-bos pemilik Karang Mayat langsung menentangnya.
        “ Apa maksudmu mengajak orang-orang dusun itu kerja di tempat kami ?” hardik Siro, salah seorang pembeli pulau yang bermata biru. “Bukankah sudah saya bilang di email, urus masalah dengan orang lokal secepatnya. Saya kan sudah keluar uang banyak.”
        “ Sabar dulu, Tuan, “ bujuk Malino. “ Kalau mereka kita kasih uang supaya mau pergi dari daerah ini, sulit. Mereka itu orang bodoh yang tetap ingin bertahan di tanah nenek moyangnya biarpun melarat sampai mati. Diusir paksa  percuma. Kalau mereka panggil bala bantuan dari pulau-pulau lain, kita bisa apa ? “
        Kan bisa minta bantuan polisi Republik.”
        “ Tidak bisa, Tuan. Nanti Tuan malah keluar uang lagi. Pokoknya, Tuan percaya sajalah sama saya.”
*
        Malino tak perlu bersusah payah mengumpulkan 10  pemuda setempat, karena hanya merekalah pemuda pulau Bila. Pada hari yang disetujui, mereka berkumpul di Karang Mayat dengan membawa peralatan seadanya. Malino memerintahkan anak-anak muda itu menurunkan kayu dari kapal yang baru saja bersandar dan membangun beberapa rumah kayu kecil di tempat-tempat yang sudah ditandainya.
        Setelah dua hari pekerjaan itu berlangsung, Siro datang menghampirinya dengan raut muka kusut. Apa lagi sekarang, keluh Malino dalam hati.
        “ Anak buahmu pemalas, Malino,” gusar Siro. “ Lihat, ini belum lagi tengah hari, mereka sudah duduk-duduk. Kalau begini terus, kapan hotel saya selesai ?!”
        Lalu Malino mendatangi Reno.
        “ Tidak bisakah kalian bekerja lebih keras ? “
        “ Tapi Bang, pekerjaan seperti ini terlalu berat buat kami. Kami ini kan nelayan, bukan kuli bangunan. Kalau Abang tidak puas, ya sudah, Abang cari orang lain saja.” Malino tidak bisa membayangkan dirinya mondar mandir di tengah samudera hanya untuk mengumpulkan orang baru demi menyelesaikan proyek ambisiusnya. Dia terlalu malas berpayah-payah. Termasuk untuk urusan perijinan. Semua ia serahkan pada seorang kenalan berikut beberapa juta belly dalam sebuah amplop besar. Malino mendesah panjang. Yah, sudahlah. Lagipula tak ada kuli bangunan dari kota yang mau dibayar dua puluh ribu belly sehari seperti orang-orang dusun ini.
          Begini saja, kalau kalian bisa menyelesaikan seluruh bangunan resor dalam dua minggu, gaji kunaikkan lima puluh ribu belly sehari. Dan aku akan pinjamkan perahu motor untuk pergi ke Mandala melihat kota. Setuju ?”
            Dua minggu berikutnya, Malino bernafas lega.  Resor nan megah tegak berdiri di pantai pulau Karang Mayat. Siro  tertawa lebar. Bersama para kolega, dirayakanlah hari itu dengan minum-minum bir dan menghisap kokain. Di ujung sana, Reno, para pekerja beserta keluarga besar mereka berbondong-bondong masuk ke puluhan perahu motor yang akan membawa mereka ke kota. Sayup-sayup terdengar suara tawa. Semua orang bersuka ria. Pulau yang sekarat kini hidup kembali. 
Salah satu perahu motor itu menuju Karang Mayat.
        “ Kau licik, Anak Kota !!” seru Davu sambil mengacungkan kepalan tangannya.
        “ Sudahlah, Kek. Pergi sana senang-senang di kota ! “ balas Malino. Ia tertawa kecil, lalu melambaikan tangan, memerintah juru mudi perahu motor untuk lekas menyingkir.
        Di dalam kamar, yang dipesan dan didesain khusus  sebagai hadiah atas keberhasilannya mendirikan resor, Malino berbaring di kasur sambil tersenyum-senyum sendiri. Telah terbayang di benaknya, puluhan juta belly akan membanjiri saldo rekening bank yang nyaris nol. Untuk apa ya uang sebanyak itu ? Beli rumah ? Mobil ? Ah, buat modal kawin saja. Mana mungkin ada gadis yang menolakku sekarang, gumam Malino dalam hati.
        Angannya menembus langit-langit kamar. Malino merasa seperti berayun-ayun di angkasa. Lamat-lamat didengarnya Siro dan para koleganya berteriak-teriak. Entah apa yang mereka teriakkan. Mereka sudah ‘ tinggi ‘ rupanya, pikir Malino. Aku juga lagi mabuk tinggi, Teman-teman. Mabuk uang… Lalu ia tertawa terbahak-bahak. Di pelupuk matanya ia melihat dirinya sedang berenang di sebuah lautan tenang. Lalu ia menyelam ke dasarnya. Disana ia merasa melihat peti teronggok diantara bangkai kapal. Mungkin peti harta karun, pikirnya.  Karena penasaran, Malino menggerakkan kaki kesana. Namun ia tak jua berhasil menggapai peti itu. Semakin didekati, semakin menjauh. Sampai akhirnya ia kehabisan tenaga dan mengapung tak berdaya. Air di sekelilingnya tiba-tiba menjadi gelap.

*

        Betapa gembira hati Reno beserta teman-teman dan sanak saudaranya menginjakkan kaki  di kota. Tapi baru dua malam mereka menginap di losmen dan berjalan-jalan, sudah rindu suasana kampung. Lama-lama kota jadi tidak menarik. Terlalu ramai, banyak asap dan orang-orang tidak saling mengenal. Baik, kata Reno. Besok kita pulang ke Bila.
        “ Tidak bisa, Bang,” ujar juru mudi perahu motor.
        “ Kenapa ? Apa uang kami kurang ? “ heran Reno. “ Lagipula langit cerah. Tidak mungkin ada badai.”
        “ Abang tidak tahu ada gempa ?”
        “ Gempa ?”
        “ Iya, Bang. Dua hari kemarin. Sudah itu air laut naik tinggi sekali. Itu, tsunami, Bang. Pulau apa Abang bilang tadi ? Bila ? Yah, sudah tidak ada lagi, Bang. Tenggelam. Ini kata orang-orang di kapal besar itu.” Juru mudi menunjuk sebuah kapal perang berbendera garis-garis merah dan putih yang sedang bersandar. “ Itu kapal dari Keyshia  Mereka mencari orang-orangnya. Kabarnya mereka pergi ke Karang Mayat.”

Catatan :
Belly : sejenis mata uang internasional yang dalam cerita ini nominalnya setara dengan dolar Amerika