BROKER

Friday, December 4, 2009


        Pernah Anda dengar nama ‘ Amengtawe ‘ ? Belum ? Yah maklumlah, karena nama itu terdampar  nun jauh di ujung barat negara bernama Republik Paniang.  Pantai-pantai pasir putih, rimbunan hutan kelapa, angin sepoi-sepoi beraroma ikan segar, birunya air laut dan deburan ombak  tiada henti. Bagi kita itu pemandangan surga, namun anak-anak muda Amengtawe bilang, membosankan. Impian mereka cuma satu, pergi ke kota dan meninggalkan kampung  selamanya.
        Dulu, ikan-ikan dan makhluk laut di perairan kepulauan ini berlimpah. Selain tuna, paus dan lumba-lumba, ada juga  penyu dan lobster. Semua orang berlomba menangkap dua  makhluk laut ini sebanyak mungkin, setelah tersiar kabar  harga tinggi diberikan kepada siapa saja yang berhasil menjalanya. 1 kilogram lobster setara dengan 150 ribu belly. Misalnya  dalam sehari Anda berhasil menjala dua puluh kilogram lobster. Lalu dikalikan 30 hari, atau 365 hari, bayangkan berapa belly yang Anda bawa pulang. Alam yang dermawan mendatangkan zaman keemasan orang-orang Amengtawe. Semua orang kaya mendadak dan berlomba merenovasi rumah kayu mereka dengan bata dan semen, membeli perahu besar, mengadakan pesta makan-makan  tiap hari dan istri-istri mereka memakai emas kemana-mana.
        Sampai tiba-tiba penyu, lobster dan ikan tongkol menghilang dari lautan. Dicari ke dasar laut pun tak nampak barang seekor. Tinggallah ikan-ikan kecil yang tak laku dijual. Dimakan pun tak membikin kenyang. Perahu-perahu besar menganggur karena sudah lama tak ada orang berlayar menangkap ikan.  Rumah-rumah bagus penduduk Amengtawe dibiarkan tak terawat. Catnya mengelupas dan gentingnya bocor. Jangankan untuk memperbaiki rumah, untuk makan saja sudah sulit. Kejayaan Amengtawe pun  berakhir ketika para perempuan melucuti satu per satu emas yang mereka kenakan.
Para pemuda Amengtawe tak mengerti, mengapa alam yang pemurah mendadak jadi pelit. Mereka mengira makhluk-makhluk itu mungkin bersembunyi  di bawah palung samudra. Dan suatu hari akan muncul ke hadapan mereka lagi. Namun saat yang dinanti tak kunjung tiba. Sebagian besar pemuda jadi bosan karena terlalu lama menunggu. Kemudian mereka melarikan diri ke pulau besar di seberang, Pulau Mandala, mencari pekerjaan sebagai kuli bangunan, buruh pabrik, tukang parkir, preman atau apa saja yang menghasilkan uang.
        Termasuk diantaranya ayah kandung Malino, yang merantau ke Mandala sejak berusia 17 tahun. Malino dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu kandung keturunan asli pulau Mandala, berteman dan berpacaran juga dengan orang Mandala. Wajar jika  tak secuil pun  yang ia tahu tentang Amengtawe. Sehingga ia pun tak  merasa bersalah, ketika lulus SMA,  di tengah-tengah kekacauan pikiran karena  kuliah di perguruan tinggi terkemuka tak mungkin bisa dibiayai ayahnya yang hanya seorang pekerja pabrik dan lamaran pekerjaan berkali-kali ditolak, Malino memutuskan  untuk memanfaatkan tanah nenek moyang demi kesejahteraan diri sendiri.
        Berkat kemurahan hati seorang teman koresponden majalah wisata, yang mengklaim ‘menemukan’ pulau bernama Karang Mayat saat melakukan pemotretan bawah laut, Malino berhasil mengetahui detil luas pulau, letak geografis dan demografisnya plus foto terbaru. Sedikit copy dan paste,  hujan kata-kata  salesman obat dan akses net super cepat, dan … Voila ! Pulau Karang Mayat, surga pengejar ombak, ditawarkan seharga dua triliun belly di situs  Islands For Sale.
        Malino tak perlu menunggu lama karena dalam waktu singkat, lusinan email  menjejali inboxnya. Semua memposting pertanyaan, apakah harga pulau ini tidak bisa diturunkan sedikit ? Sang broker pemula itu kukuh menjawab, tidak. Malino tahu para penawar pulau itu ialah sekelompok surfer internasional yang sudah jenuh bermain ombak di pulau Hula, Batu Merah, Pundut, bahkan di Keyshia, negerinya sendiri. Pulau-pulau itu sudah terlampau padat dan pengap. Naluri penakluk menghimbau mereka  keluar dari hiruk pikuk kota, mencari tantangan baru.
Dan begitulah. Orang-orang asing itu jatuh cinta pada kecantikan Karang Mayat dalam foto polesan photoshop  amatiran Malino dan bersedia membayar berapapun asalkan beroleh kesempatan menjajal ombaknya. Entah siapa yang memulai, yang jelas mereka membelinya secara patungan. Mereka berencana mendirikan resor di Karang Mayat dan menyerahkan semua urusan kepada yth Mr. Malino. Malino terlompat kegirangan dari kursinya sewaktu membaca email itu.
*
        “ Apa kau sudah gila ?” Kakek-kakek itu menatap tajam kepada Malino. Kata-katanya datar dan lemah, namun Malino merasakan sorot kebencian di kedua matanya. Nama kakek itu Davu. Dia adalah sesepuh sebuah perkampungan nelayan di pulau Bila, yang letaknya berhadapan dengan pulau Karang Mayat. “ Kau ini anak tak tahu adat. Aku tahu kau lahir di perantauan.   Ayahmu tak pernah ceritakan apa-apa tentang kepulauan ini ya ?  Huh, orang bodoh !”
         Sontak mendidih darah Malino mendengar orang tuanya dihina begitu rupa.
        “ Kau tahu tidak mengapa pulau itu disebut Karang Mayat ? “ lanjut Davu tenang mengacuhkan muka Malino yang merah padam. “ Kesitulah kakek-kakekku dan kakek-kakek dari kakekmu pergi untuk mencari jalan keluar masalah-masalah pria yang hanya bisa selesai jika salah satu atau dua atau lebih dari mereka mati. Lalu mayat mereka akan dibiarkan sampai busuk dimakan ulat dan kerangkanya membeku menjadi karang. Itulah mengapa pulau yang hendak kau jual itu dinamai Karang Mayat.”
        “ Jadi ?”
        “ ’Jadi ‘ ?! Jadi, pulau itu berhantu, Anak Kota. Para arwah itu tidak akan senang. Jangan tanya padaku apa yang bisa dilakukan para arwah untuk mengganggu kau dan teman-temanmu. Sesuatu yang buruk pasti terjadi.”
        “ Tapi, kepulauan kita ini sekarat, Kakek,” cetus Malino tak sabar. “ Lihatlah anak-anak muda itu ! Badan mereka kuat, sehat. Tapi apa kerja mereka ? Makan tidur, makan tidur. Sia-sia saja Kakek suruh mereka menangkap ikan. Ikan disini sudah habis. Kalau teman-temanku kemari dan membangun hotel, anak-anak Kakek bisa kerja dan punya uang banyak.”
          Uang ?” dengus Davu sinis. “ Untuk apa uang ?”
        “ Yah untuk …” Malino menggaruk kepalanya kehabisan kata-kata menghadapi kakek keras kepala itu. “ … beli beras, roti, baju. Istri kakek bisa pakai emas lagi .Cucu kakek bisa sekolah di kota, cari ilmu untuk bangun pulau ini.”
        “ Hah ! Untuk apa pula sekolah di kota, kalau pulang-pulang malah jadi budak orang asing seperti dirimu !”
        Sadar usahanya gagal, Malino pun mengganti taktik. Kalau orang tua sudah kepala batu, siapa tahu anak-anaknya masih lembek dan gampang diatur, pikirnya.
        “ Kami mau saja kerja di tempat teman-teman Abang , “ ujar Reno, seorang pemuda lokal yang ditemui Malino keesokan harinya. “ Tapi kami ini orang dusun, sekolah cuma sampai SD. Mana  kami tahu mau mereka apa ? “
        “ Ah, jangan khawatir. Itu bisa diatur. Saya nanti jadi penerjemah kalian. Sekarang coba kumpulkan teman-temanmu yang mau kerja sama kita.”
         Bos-bos pemilik Karang Mayat langsung menentangnya.
        “ Apa maksudmu mengajak orang-orang dusun itu kerja di tempat kami ?” hardik Siro, salah seorang pembeli pulau yang bermata biru. “Bukankah sudah saya bilang di email, urus masalah dengan orang lokal secepatnya. Saya kan sudah keluar uang banyak.”
        “ Sabar dulu, Tuan, “ bujuk Malino. “ Kalau mereka kita kasih uang supaya mau pergi dari daerah ini, sulit. Mereka itu orang bodoh yang tetap ingin bertahan di tanah nenek moyangnya biarpun melarat sampai mati. Diusir paksa  percuma. Kalau mereka panggil bala bantuan dari pulau-pulau lain, kita bisa apa ? “
        Kan bisa minta bantuan polisi Republik.”
        “ Tidak bisa, Tuan. Nanti Tuan malah keluar uang lagi. Pokoknya, Tuan percaya sajalah sama saya.”
*
        Malino tak perlu bersusah payah mengumpulkan 10  pemuda setempat, karena hanya merekalah pemuda pulau Bila. Pada hari yang disetujui, mereka berkumpul di Karang Mayat dengan membawa peralatan seadanya. Malino memerintahkan anak-anak muda itu menurunkan kayu dari kapal yang baru saja bersandar dan membangun beberapa rumah kayu kecil di tempat-tempat yang sudah ditandainya.
        Setelah dua hari pekerjaan itu berlangsung, Siro datang menghampirinya dengan raut muka kusut. Apa lagi sekarang, keluh Malino dalam hati.
        “ Anak buahmu pemalas, Malino,” gusar Siro. “ Lihat, ini belum lagi tengah hari, mereka sudah duduk-duduk. Kalau begini terus, kapan hotel saya selesai ?!”
        Lalu Malino mendatangi Reno.
        “ Tidak bisakah kalian bekerja lebih keras ? “
        “ Tapi Bang, pekerjaan seperti ini terlalu berat buat kami. Kami ini kan nelayan, bukan kuli bangunan. Kalau Abang tidak puas, ya sudah, Abang cari orang lain saja.” Malino tidak bisa membayangkan dirinya mondar mandir di tengah samudera hanya untuk mengumpulkan orang baru demi menyelesaikan proyek ambisiusnya. Dia terlalu malas berpayah-payah. Termasuk untuk urusan perijinan. Semua ia serahkan pada seorang kenalan berikut beberapa juta belly dalam sebuah amplop besar. Malino mendesah panjang. Yah, sudahlah. Lagipula tak ada kuli bangunan dari kota yang mau dibayar dua puluh ribu belly sehari seperti orang-orang dusun ini.
          Begini saja, kalau kalian bisa menyelesaikan seluruh bangunan resor dalam dua minggu, gaji kunaikkan lima puluh ribu belly sehari. Dan aku akan pinjamkan perahu motor untuk pergi ke Mandala melihat kota. Setuju ?”
            Dua minggu berikutnya, Malino bernafas lega.  Resor nan megah tegak berdiri di pantai pulau Karang Mayat. Siro  tertawa lebar. Bersama para kolega, dirayakanlah hari itu dengan minum-minum bir dan menghisap kokain. Di ujung sana, Reno, para pekerja beserta keluarga besar mereka berbondong-bondong masuk ke puluhan perahu motor yang akan membawa mereka ke kota. Sayup-sayup terdengar suara tawa. Semua orang bersuka ria. Pulau yang sekarat kini hidup kembali. 
Salah satu perahu motor itu menuju Karang Mayat.
        “ Kau licik, Anak Kota !!” seru Davu sambil mengacungkan kepalan tangannya.
        “ Sudahlah, Kek. Pergi sana senang-senang di kota ! “ balas Malino. Ia tertawa kecil, lalu melambaikan tangan, memerintah juru mudi perahu motor untuk lekas menyingkir.
        Di dalam kamar, yang dipesan dan didesain khusus  sebagai hadiah atas keberhasilannya mendirikan resor, Malino berbaring di kasur sambil tersenyum-senyum sendiri. Telah terbayang di benaknya, puluhan juta belly akan membanjiri saldo rekening bank yang nyaris nol. Untuk apa ya uang sebanyak itu ? Beli rumah ? Mobil ? Ah, buat modal kawin saja. Mana mungkin ada gadis yang menolakku sekarang, gumam Malino dalam hati.
        Angannya menembus langit-langit kamar. Malino merasa seperti berayun-ayun di angkasa. Lamat-lamat didengarnya Siro dan para koleganya berteriak-teriak. Entah apa yang mereka teriakkan. Mereka sudah ‘ tinggi ‘ rupanya, pikir Malino. Aku juga lagi mabuk tinggi, Teman-teman. Mabuk uang… Lalu ia tertawa terbahak-bahak. Di pelupuk matanya ia melihat dirinya sedang berenang di sebuah lautan tenang. Lalu ia menyelam ke dasarnya. Disana ia merasa melihat peti teronggok diantara bangkai kapal. Mungkin peti harta karun, pikirnya.  Karena penasaran, Malino menggerakkan kaki kesana. Namun ia tak jua berhasil menggapai peti itu. Semakin didekati, semakin menjauh. Sampai akhirnya ia kehabisan tenaga dan mengapung tak berdaya. Air di sekelilingnya tiba-tiba menjadi gelap.

*

        Betapa gembira hati Reno beserta teman-teman dan sanak saudaranya menginjakkan kaki  di kota. Tapi baru dua malam mereka menginap di losmen dan berjalan-jalan, sudah rindu suasana kampung. Lama-lama kota jadi tidak menarik. Terlalu ramai, banyak asap dan orang-orang tidak saling mengenal. Baik, kata Reno. Besok kita pulang ke Bila.
        “ Tidak bisa, Bang,” ujar juru mudi perahu motor.
        “ Kenapa ? Apa uang kami kurang ? “ heran Reno. “ Lagipula langit cerah. Tidak mungkin ada badai.”
        “ Abang tidak tahu ada gempa ?”
        “ Gempa ?”
        “ Iya, Bang. Dua hari kemarin. Sudah itu air laut naik tinggi sekali. Itu, tsunami, Bang. Pulau apa Abang bilang tadi ? Bila ? Yah, sudah tidak ada lagi, Bang. Tenggelam. Ini kata orang-orang di kapal besar itu.” Juru mudi menunjuk sebuah kapal perang berbendera garis-garis merah dan putih yang sedang bersandar. “ Itu kapal dari Keyshia  Mereka mencari orang-orangnya. Kabarnya mereka pergi ke Karang Mayat.”

Catatan :
Belly : sejenis mata uang internasional yang dalam cerita ini nominalnya setara dengan dolar Amerika            

0 comments:

Post a Comment