FASIS SANGAT NARSIS

Monday, January 25, 2010


fasis yang baik adalah fasis yang mati ...( by Homicide )


Pernahkan Anda mendengar tentang sindrom anak bungsu adalah pemenang ? Atau mungkin kebalikannya, anak sulung adalah pemenang ? Sindrom yang biasanya diderita oleh anak-anak yang lahir dan dibesarkan di tengah keluarga dengan situasi spesial, seperti : lama mengharapkan adanya keturunan, lahir dalam kondisi tidak normal ( melalui operasi caesar, lahir prematur, sakit2an sejak lahir, dsb.), anak-anak dari golongan berpunya, dsb dll. Memang tidak semua anak yang dilahirkan dalam situasi serupa terjangkit virus ini. Namun mereka belum bisa dikatakan aman dari ancamannya.

Penyebabnya simpel : karena pola asuh yang memanjakan. Karena semua keinginan terpenuhi dengan mudah, maka untuk apa bersusah payah. Karena semua kehendak dituruti tanpa syarat, maka kesenangan harus selalu bersama dan milik dia seorang. Karena diri sendiri sudah merasa senang, untuk apa pula peduli saat orang lain sedih atau menderita. Maka, dia pun selalu memendam hasrat untuk selalu menjadi pusat perhatian, focus of interest seluruh dunia kalau perlu.

Namun karena di masa kecil tidak pernah diajari bagaimana urut-urutan atau proses mewujudkan sebuah keinginan, maka diambilah jalan pintas. Seperti misalnya : korupsi. Dan segala macam cara ditempuh untuk mencapai tujuan. Semua yang tak mungkin menjadi mungkin. Semua yang ilegal menjadi legal. Semua yang haram menjadi halal. Mencuri, membunuh, meneror tiada hukumannya apabila dilakukan atas nama negara. Contohnya :..ah sudah bosan saya menyebutnya...

Dalam Di Bawah Bendera Revolusi jilid 2 Ir.Soekarno menyatakan, fasisme adalah buah kapitalisme yang sudah tua dan penyakitan. Jerman, Italia dan Jepang – ketiga negara ini, setelah Perang Dunia I jatuh ke dalam krisis mencekam. Demi bangkit dari krisis maka dikobarkanlah semangat nasionalisme yang, singkat cerita, berhasil mendongkrak industrialisasi Jerman. Namun, karena barang hasil produksi lama kelamaan menumpuk di dalam negeri, otomatis harga barang jatuh. Pabrik-pabrik merugi dan para karyawan di-PHK. Adolf Hitler yang jenius itu menyebarkan ideologi nationalsozialismus dengan menaklukkan Austria, Cekoslowakia, Polandia, Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia, Luksemburg, Prancis, Yunani,Yugoslavia dan beberapa negara Afrika Utara. Untuk satu tujuan, yaitu meluaskan area pemasaran barang hasil produksinya.

Fasisme, antara lain mengandung unsur-unsur ketidakpercayaan pada kemampuan nalar, pengingkaran derajat kemanusiaan, perilaku atau kebijakan yang didasarkan pada kekerasan dan atau kebohongan, pemerintahan oleh kelompok elit, totaliterisme, rasialisme dan imperialisme, menentang hukum dan ketertiban internasional. Semuanya berujung dari satu pangkal, nasionalisme berlebihan ( ultra nasionalis ). Nasionalisme memang mengandung kecintaan terhadap negara yang kuat. Namun karena terlalu kuat, terlalu cinta maka akal sehat dikebelakangkan. Di dalamnya tersirat keyakinan hanya satu bangsa/ ras saja yang layak hidup dan meraih kejayaan. Hanya satu jenis bangsa saja yang terbaik, terkuat dan berhak memerintah dunia.

Menjadi fasis ( gerakan sosial politik anti marxis, menolak demokrasi dan kebebasan, serta mendewakan negara sebagai alat kekuasaan ), narsis ( obsesi dan ketertarikan berlebih kepada diri sendiri ), atau keduanya, terletak kepada kesalahan menempatkan sudut pandang ( point of view ). Kesalahan menempatkan cara melihat dan merasakan. Karena tidak pernah keluar dari belenggu kepuasan terhadap diri sendiri dan cukup yakin 1000 % atas apa yang diyakininya, mereka jadi tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana penampakan suatu persoalan dari sisi-sisi yang berdekatan atau berseberangan. Cermin harus selalu mengatakan merekalah yang terindah. Mereka tidak peduli kaki siapa yang akan sakit kalau mereka injak. Selogis apapun sebuah saran, tetap dipandangnya sebagai alasan untuk menjatuhkan dan cikal bakal bibit kebencian terhadapnya. Tidak ada kebenaran selain dia seorang.

Kenyataannya, selalu ada tiga macam sisi atau sudut untuk memaknai keberlangsungan segala bentuk kehidupan di muka Bumi ini. Three sides of every story. Berdasarkan kata ganti orang dalam pelajaran Bahasa Indonesia: aku, kamu, dia/mereka. Berdasarkan umurnya manusia dibedakan menjadi tiga : anak-anak, dewasa dan manula. Berdasarkan jenis kelamin : laki-laki, perempuan dan waria. Menjalani urutan waktu : masa lalu, masa kini dan masa depan. Berdasarkan hirarki kenegaraan : rakyat, aparat dan penguasa. Sedangkan negara-negara penguasa dunia adalah : Amerika Serikat, Cina, Israel. Brahma, Wisnu, Syiwa. Atas nama Bapa, Putra, Roh Kudus. Ingsun, Kakang Kawah, Adhi Ari-ari.

Lahir, Hidup, Mati.

Boleh-boleh saja kalau seseorang yang setelah jatuh ke dalam jurang, merangkak naik dan menancapkan kembali keyakinan dirinya di puncak gunung eksistensi. Boleh-boleh saja berjuang sekuat tenaga demi perbaikan kualitas hidup dan kesejahteran. Namun, apakah di kanan kiri kita itu batu yang tidak bisa bicara atau merasa ? Apa benar hanya merekalah manusia, yang lain hewan ? Seisi dunia milik kita, yang lain ngontrak ?

BERDAMAI DENGAN MASA LALU

Tuesday, January 5, 2010

Beberapa hari yang lalu sebuah televisi swasta yang gemar sekali menayangkan gosip-gosip terpanas dari panggung politik, menayangkan feature tokoh politik merangkap peramal, Permadi SH. Beliau, dalam terawangannya, mengatakan di tahun 2010 ini Indonesia akan menghadapi guncangan dahsyat. Guncangan yang bukan saja datang dari alam, berupa bencana alam, namun juga dari manusia sendiri. Guncangan itu terjadi karena Negara tidak mampu mengungkap kebenaran di balik peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi di masa lalu. Meskipun tidak dijelaskan oleh Bapak penggemar warna hitam, meski bukan penganut gothic, apalagi rocker ini, kita bisa adakan kuis untuk menebaknya. Mei 1998 kah ? Tanjung Priok ? Malari ? Petrus ? Santa Cruz ? DOM Atjeh dan Papua ? Talangsari ? Atau G30S mungkin ?
Manusia tak pernah luput dari berbuat kesalahan selagi masih bernafas. Termasuk juga sebuah pemerintahan atau negara. Karena alasan stabilitas keamanan dan lain sebagainya, kesalahan negara ( Indonesia ) tidak pernah diakui, apalagi dipertanggungjawabkan. Dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan, seringkali negara enggan membayar kembali rasa keadilan yang telah direnggut dari jutaan korban jiwa di masa lalu.
Bagaimana rasa batin kita saat berbuat salah ? Tentramkah ? Nyamankah ? Meskipun tiada seorang jua yang mengetahui kesalahan itu selain kita sendiri, tetap saja siksaan itu membuntuti, menghantui, menjadi bayangan, kadang-kadang melompat keluar menjadi igauan dalam tidur dan mimpi buruk. Hidup dalam kejaran setan yang, hanya bisa dilihat oleh kita dan bukan orang lain termasuk anak, istri,cucu, tetangga, mertua. Setan jahanam yang tidak bisa dibasmi Buffy, Ghostbuster, Tim Pemburu Hantu, atau tahlilan rutin RT. Setan yang sedang menikmati kenyamanan sarangnya di dalam ingatan kita. Uang, harta, pangkat dan nama besar, tidak ada yang sanggup mengenyahkan setan itu kembali ke neraka.
Karena batin kita emoh mengakui, waktu berhenti mendadak. Kita berlari ke utara, selatan, timur,barat,tengah untuk sembunyi. Namun tak peduli sejauh apa kita berlari, selalu kembali pada titik yang sama. Titik yang selalu bercabang dua dan memberi kita dua pilihan, lurus jalan terus. Artinya kita teruskan saja jalan yang sudah dipilih ini. Tidak mendengarkan nurani, membunuh rasa kemanusiaan sendiri, dan kembali mengulang kesalahan yang sama. Pilihan kedua adalah berhenti. Artinya kita hentikan sama sekali jalan bergelimang dosa ini, dan mengakui kesalahan yang sudah kita perbuat.
Tapi tidak. Negara tidak pernah mengakuinya. Karena pilihan sudah dibuat, tak semestinya kita menolak konsekuensinya. Maka inilah wajah Indonesia sekarang. Batin Negara yang tidak tentram, selalu dibelit masalah demi masalah, selalu bertikai memperebutkan uang dan jabatan, selalu dicerca sana sini, selalu panas bergolak seperti Candradimuka, jauh dan semakin menjauh dari kesentosaan.
Tidak bisa tidak, seandainya menghendaki dan memimpikan ketentraman, akuilah kesalahan itu, wahai Negara. Gejolak ? Itu tidak dapat kita hindari. Anggaplah itu hukuman indisipliner karena sudah menutupi kesalahan sekian lama. Kalau tidak ingin dianggap tidak ksatria, mengapa musti takut menghadapi satu kali lagi goncangan yang mungkin akan sedikit lebih besar dari tsunami Atjeh, gempa Jogjakarta dan gempa Padang. Satu masa kegelapan yang paling gelap dalam sejarah hidup kita. Satu kali kesedihan yang paling menyedihkan, hingga air mata menolak untuk jatuh, dan membangunkan kita dari tidur panjang. Satu gelombang pasang yang belum pernah naik dan tak kan datang lagi untuk kedua kalinya. Once, and for all.
But, nothin last forever. Kegelapan, kesedihan dan gelombang pasang itu akan berakhir jua. Di saat kita, Negara, melakukan apa yang sudah dinanti-nantikan selama ini. Maaf, mengapa, bagaimana, kapan, dimana,apa, berapa..Umumkanlah itu kepada orang banyak. Dicatat dalam buku sejarah supaya dibaca oleh anak-anak muda. Supaya mereka belajar tidak mengulang kesalahan generasi pendahulunya.