Kiamat atau Revolusi ?

Saturday, November 28, 2009

    ' 2012 ' yang banjir visual efek super canggih  benar-benar sukses memancing reaksi jutaan penduduk Bumi. Ada yang mengatakan, bukan seperti itu kiamat menurut agama. Ada yang mengatakan, terlalu mengada-ada dari sisi ilmiah. Ada yang mengatakan, bagus untuk referensi sebelum kiamat betul-betul terjadi Tak sedikit yang cuek kehabisan tiket bioskop mencari DVD bajakannya.

   Kiamat, atau paling tidak penggambaran hari kiamat dalam film itu, memang berhasil sedikit menyadarkan kita. Bahwa ada kekuatan lebih besar di luar kita  yang tak dapat ditolak, dinego, disogok  atau  dikibuli dengan  janji-janji  manis.Kita tidak bisa meramalkan kedatangannya. Tak ada seorang ilmuwan pun yang bisa menjelaskan darimana kekuatan itu datang. Dan tak ada senjata pemusnah massal jenis apapun juga yang bisa membasminya.

   Selama ini kita masih mengasosiasikan kiamat itu berupa bencana alam yang datang bersamaan semacam tsunami raksasa, badai listrik, gempa bumi atau banjir lahar vulkanik. Namun kita meng-underestimate kan kemungkinan lain yang bisa menjelma jadi malaikat maut. Yaitu, manusia dan tingkah lakunya.

    Menurut sebuah ajaran agama, ada 3 macam doa yang cepat dan pasti terkabul. Pertama, doa seorang ibu dari anak durhaka. Kedua, doa seorang anak yang tidak punya ayah, ibu atau keduanya. Ketiga, doa seorang manusia yang mengalami ketertindasan. Perasaan  sakit, marah dan menolak atas penindasan bukan hanya dialami oleh para korban perang atau warga sebuah negara yang menerapkan diktatorisme absolut semata. Penindasan dalam arti sempit juga dialami oleh mereka, orang-orang yang perutnya merasa lapar tapi tidak punya cukup uang untuk membeli makanan.

   Kita yang belum pernah berada dalam posisi mereka mungkin akan dengan entengnya mengatakan, salah dia sendiri mengapa tidak bekerja ? Cara pandang kita yang sempit menafikan hal-hal lain di baliknya. Seperti misalnya, bagaimana jika dia sudah bekerja tapi uangnya tetap tidak cukup untuk mengenyangkan perutnya dan keluarganya ? Bagaimana jika dia sudah bekerja cukup lama, tiba-tiba dipecat dan tidak menerima pesangon karena perusahaan menyatakan diri bangkrut sehingga tidak wajib membayar pesangon para mantan karyawannya ?

    Para pekerja berdemo menuntut pesangon. Mahasiswa berdemo menuntut keadilan bagi orang2 yang tak bersalah namun didakwa bersalah. Ibu-ibu rumah tangga berdemo menuntut pembatalan kenaikan tarif dasar listrik. Ketidakpuasan terhadap pemerintah merebak dimana-mana. Investor asing lari karena takut bisnisnya dirusak orang pribumi. Mata uang negara jatuh ke level terendah. Harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali. Biasanya  begitulah awal cerita sebuah  perubahan  besar, alias revolusi, dimulai  di sebuah  negara. Mirip-mirip Mei 1998 lah. Banyak orang merinding mendengar kata ' revolusi '. Karena selalu diidentikkan dengan kerusuhan massal, pembantaian, penjarahan dan kekerasan sipil melawan militer ( Padahal tidak selalu begitu, karena ada revolusi budaya, revolusi hijau dan revolusi facebook ). Sebaliknya, ada juga sebagian orang yang diam-diam memimpikan datangnya revolusi sebagai jalan cepat nan terbaik untuk mengakhiri semua kebuntuan, kemandekan pembangunan, kerusakan alam, krisis kepercayaan diri dan kemerosotan nilai-nilai sosial budaya dalam negeri yang tak ada tanda-tanda kapan berakhirnya. Karena memperbaiki nampaknya sudah terlalu terlambat maka lebih baik hancurkan saja semua, dan kita bangun yang baru di atasnya. Ngeri, deh !

    Persamaan antara kiamat dan revolusi adalah, dipastikan ada sesuatu yang hancur saat salah satu dari peristiwa itu terjadi ( atau malah bebarengan ?!). Perbedaannya, dengan kiamat kita tidak punya pilihan selain menghadapi kematian. Revolusi, seandainya terjadi dan entah apa pun bentuknya, masih memberi kita pilihan untuk ikut serta, abstain, atau melarikan diri. Kita juga masih punya kesempatan untuk mengendalikan kemana arahnya. Kita juga berkesempatan untuk menentukan bibit apa yang akan kita tanam supaya kita menuai hasil terbaik dan tidak lagi menuai badai.

   

     Yah, saya disini hanya mengutarakan kemungkinan-kemungkinan. Bisa saja terjadi, tidak juga bisa. Karena pada dasarnya kita hidup di dunia ini punya satu tujuan yang sama, yaitu untuk dapat merasa tentram. Kalau kita bisa merasa tentram dengan berbuat kebaikan pada sesama, ya lakukan saja. Kalau kita dapat merasa tentram dengan bekerja sesuai porsi dan kewajiban kita, ya lakukan saja. Kalau kita baru bisa tentram dengan memegang banyak uang, ya lakukan saja. ( Tapi apa kita masih bisa tentram kalau uang itu hasil manipulasi laporan keuangan kantor ? ) Kalau kita baru bisa tentram setelah mengatakan, menyatakan, menuliskan, menggambarkan, mengekspresikan  semua hal yang tidak bisa  membuat  kita merasa  tentram, sepanjang  tidak mengganggu dan merugikan orang  lain,  mengapa musti dilarang ?