TEAR (S)

Tuesday, November 16, 2010

BERKAH MALAPETAKA


                      Hujan air mata nyaris mengalahkan hujan batu kerikil sisa letusan Gunung Merapi, di kala perkembangan terakhir tsunami Kepulauan Mentawai tersiar luas di media. Ada yang kehilangan tempat tinggal dan barang-barang berharga hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Ada yang tercenung sendiri meratapi kehilangan suami, istri, anak-anak mereka tercinta. Ada seorang bayi yang terpaksa menjadi yatim piatu karena orang tuanya terseret gelombang. Ada ratusan mereka yang peduli dan prihatin ramai-ramai membuka pos bantuan dan menggalang dana. Ada jutaan pemirsa televisi yang masih peduli turut mengelus dada. Kaum pejabat terbelah dua, sebagian melenggang kangkung ke Tuki dan Jerman seperti hendak lari dari keruwetan negeri, sedangkan lainnya menyalahkan sistem peringatan dini tsunami sudah gagal total, entah karena perasaan bersalah ikutan me’makan’ 5 miliar rupiah yang sudah dikeluarkan untuk mengoperasikan perangkat tersebut, ataukah karena arogansinya telah luluh melihat duka para korban. Sementara sebagian yang lainnya terdiam kaku dan bertanya-tanya, apakah Sang Maha Hidup sudah begitu membenci kita, dan menurunkan bencana yang tiada habisnya.
            Seperti kelahiran bayi, bencana dan kematian memang sudah sering kita alami sepanjang hidup kita. Coba saja Anda hitung sudah berapa kali bencana alam terjadi dimulai sejak tahun pertama kali Anda lahir sampai saat ini. Ratusan, bahkan ribuan ( barang )kali. Artinya, ini adalah fenomena alias kejadian alam biasa. Mungkin lantaran saking terlalu biasanya bagi saya sampai-sampai khilaf bicara dan mengatakan solusi terbaik, tercepat dan termudah untuk mengatasi bencana adalah pindah dari motherland sejauh mungkin. Saya sadar itu mungkin menyakitkan bagi mereka para korban maupun yang sedang terancam bencana berikut. Tapi, empati yang muncul sudah terlampau dalam dan menyakitkan rasanya diam saja tanpa bisa berbuat banyak menolong mereka yang merana. Karena yang saya bisa lakukan adalah dan hanyalah omdo ( omong doang ), nah maka itulah wujud kepedulian saya.

Nerakanya Surga
            Mudah-mudahan Anda belum bosan kalau kembali saya tekankan pada coretan kali ini, bahwa Indonesia kita ini adalah sungguh sebuah syurga. Pemandangannya elok, cuacanya pun bersahabat. Belum lagi tanah suburnya ialah berkah tak ternilai. Kita taruh biji salak, tumbuh pohon salak. Kita semai benih padi, jadilah nasi. Kita buang benih kerusuhan, yang muncul kedamaian. Alam yang memanjakan dan terlalu mencintai kita, kadang membuat manusia terlena dan lupa darimana semua kenikmatan dunia itu berasal. Sama saja dengan seorang anak ABG ndeleleng yang keinginannya selalu dituruti orang tua. Enteng tangannya menunjuk ingin punya ini itu, tanpa mau tahu  lelah ayah ibu membanting tulang di belakangnya.
            Kita adalah generasi yang beruntung, karena tidak sempat mengalami dan menyaksikan kesulitan-kesulitan para penghuni perintis pertama Nusantara ini. Kita tidak pernah tahu bagaimana repotnya hidup di rimba belantara tanpa listrik, jejaring twitter, fesbuk dan ponsel, makan sayuran hutan tanpa MSG, tidur-tidur ayam mewaspadai bermacam-macam bencana alam, berkelahi melawan binatang buas dan penjajah, maupun berjalan kaki berpuluh kilometer untukl bersilaturahmi dengan sanak saudara. Sejuta kemudahan dan keberuntungan itu ampuh membikin kita terlena berleha-leha.
            Jadi, menggelikan juga melihat kejanggalan alamiah sebahagian manusia yang nglali itu tadi tiba-tiba berlomba bersujud di hadapan Tuhannya masing-masing, mengucapkan sebaris permohonan ampun dan selamat dan ramai-ramai menyebarluaskan himbauan agar semua orang juga bertaubat. Dan itulah yang terjadi setiap dan nyaris selalu sesudah bencana alam skala nasional dan mengundang iba hati masyarakat internasional menghantam Nusantara untuk kesekian kalinya. Bukankah Alam, sebagaimana juga Gusti, tidak pernah sare ( bobo’ ) ? Alam mengitari kita tiada lelah tumbuh, bersinergi dan berproses mencari bentuk-bentuknya yang paling ideal, agar terus mampu berfungsi sebagai pelengkap kebutuhan hidup makhluk hidup seisinya. Dan karena pergerakan sesuatu atau sesosok manusia atau seonggok gunung berapi adalah tanda kehidupan, maka kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa, tsunami dan wedhus gembel adalah memang bencana, hanya bagi mereka yang kurang ingat dan waspada. Sejatinya kaum yang masih ber-Tuhan musti menerima segala kemungkinan terburuk, karena bumi seperti roda, manusia berbangga jumawa menjadi si nomor satu tetapi mekanisme alam tidak pernah memberitahu tanggal, bulan, jam dan pukul berapa kita akan terlempar ke dalam jurang derita.
           
Ready, Get Set, Go … !
            Kecopetan uang gaji jatah hidup satu bulan, pengambilan paksa sepeda motor pretelan kesayangan karena nekat melaju di jalan raya tengah kota tanpa SIM dan STNK, rumah tempat berteduh hangus terbakar berikut seluruh perabotan yang belum lunas cicilannya, tertangkap basah membawa barang narkoba, ditinggal pergi orang tua ke alam baka, diputus pacar setelah dicurinya hati berikut keperjakaan/ keperawanan anda, serta berderet-deret kesialan lain yang menampakkan gejala entah kapan akan berakhir. Kenyamanan dan kemapanan hidup kadang membuat kita lengah akan eksistensi bencana-bencana kecil yang selalu kerja lembur, mengintai dan siap menerkam sewaktu-waktu.
            Maka janganlah panik dan gagap menghadapi serbuan wabah penyakit trendy bernama depresi, tidak menular namun lebih ganas daripada AIDS dan flu burung. Berlandaskan asas menyelesaikan masalah tanpa masalah lebih cepat lebih baik, maka mereka yang kelelahan memforsir otaknya untuk berpikir melampaui apa yang bisa dikerjakan oleh raganya memilih terjun bebas dari tower berlantai 111, gantung diri atau minum racun. Sementara sebagian streswan dan streswati yang masih sayang nyawa namun ciut nyali menantang depresi melarikan diri kepada pelukan hura-hura narkoba, miras, meja judi dan kekasih nomer dua atau sebelas…
Ibarat anjing menggonggong, kafilah berkepala dingin pun berlalu dan bukannya melempar batu untuk mengusir si pengganggu. Maka, tsunami maupun Merapi aftermath adalah berdiri selekas-lekasnya, menyembuhkan luka hingga tak terasa pedihnya lalu mencuri start dan berlari kembali membangun hari-hari. Dalam teorinya memang mudah, namun kita tidak punya pilihan lain. Marah, menjerit, memaki dan menangis hanya orang sakit jiwa yang berkuasa melarang. Manakala cadangan energi akhirnya terbuang percuma untuk meratapi nasib dan menunggu mukjizat untuk mengentaskan duka lara, ah betapa meruginya !