MEMBANGUNKAN SI PUTRI SALJU

Friday, December 31, 2010

"Sejarah akan menang. Dunia akan diangkat ke tempat yang lebih baik. Akankah kita bertahan? Itu tergantung pada Anda "  (WikiLeaks Inggris,situs AFP)

Di penghujung tahun ketenangan rimba politik internasional mendadak diceraiberaikan oleh insiden bocornya dokumen-dokumen rahasia Amerika Serikat dan beberapa negara lain termasuk Indonesia,  yang diprakarsai oleh situs Wikileaks mencuat ke publik beberapa waktu yang lalu. Serangan balik bertubi-tubi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan pun membombardir Wikileaks. Mulai dari penutupan domain servernya di Amerika, penutupan sejumlah rekening milik situs tersebut, sampai penangkapan sang juragan ;sekaligus pendiri, Julian Assange ( yang kemudian dibebaskan dengan jaminan lalu dikenakan wajib lapor kemudian dipasangi semacam chip di tubuhnya agar yang berwajib mengetahui kemana ia pergi, siapa yang ditemuinya dan jam berapa ia pergi ke WC ), atas tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada dua mantan stafnya.  Namun, simpati dan dukungan terhadap lembaga misterius yang bermisi membocorkan informasi rahasia negara demi memerangi korupsi pemerintah dan korporasi tersebut malah mengalir deras. Jumlah pendukung WikiLeaks di Facebook naik dari 500.000 menjadi hampir 960.000 orang hanya dalam waktu tiga hari dari tanggal 3/12 sampai 7/12 lalu, dan sampai tulisan ini dibuat sudah mencapai 1.490.133 orang , dan diperkirakan masih akan merangsek naik.
Bersiap-siaplah, Anak Muda, perang  (ter) baru akan dimulai … katanya sih begitu.

Jangan buru-buru mencurigai kami-kami yang kebetulan berusia muda, sudah dewasa dan atau menjelang sepertiga abad ini. Bukan karena kami maniak setengah mati kerusuhan ala hooligan, gonjang ganjing, chaos, sorak sorai keributan laiknya pekikan sekian desibel dari lantai rumah disko, parade hardcore 17-an atau konser Trio Macan edisi spesial tahun baru. Bukan pula karena kami anggota dari skuad sakit hati yang lapar dan iri hati memandang nanar kepada Anda yang berkantong tebal. Bukan juga karena kami sekelompok preman pengangguran kurang kerjaan, pemabuk dan pezina paruh waktu maupun makhluk-makhluk renta yang menolak jadi dewasa.  Darah muda yang tak kenal kata mengalah adalah bukan 100 %  kesalahan  kami yang secara sah dan meyakinkan telah dengan sengaja memeliharanya. Itu semua adalah semata ‘ kutukan ‘ yang harus kami terima dengan lapang dada karena menjalani nasib menjadi orang muda, dan jangan katakan Anda tidak pernah mengalaminya.

Seperti lautan yang tak pernah bisa diam. Dan udara yang bergerak mengisi ruang-ruang kosong. Juga cahaya yang menembus relung-relung sempit dan kegelapan. Demikianlah, tiada sesuatupun di dunia ini yang mampu menahan, membujuk dan meramalkan ke arah mana alam bergerak. Peradaban manusia memang melaju kencang dan menggila, namun toh manusia belum mampu menciptakan alat pendeteksi kapan gempa bumi akan terjadi. Penguasa dan penentangnya adalah seteru abadi. Seberapa keras dan kejamnya tekanan serta pengawasan, toh penguasa bukanlah paranormal dan ahli spiritual yang mampu membaca pikiran dan menebak reaksi para anak nakal itu selanjutnya. Jikalau Anda para penguasa tidak ingin dianggap super diktator yang anti arif dan bijaksana,  tanggalkanlah sebentar sombongisme jubah kebesaran dan selamilah benak para pembangkang demi mengetahui alasan sekaligus raut muka si akar jahanamnya.

Semasa para nenek moyang kita masih berjaya, mereka membangun dan menegakkan budaya, adat istiadat, peraturan-peraturan, sistem kepercayaan, etika-etika dan norma yang mungkin merupakan hasil kesepakatan bersama ( namun juga tidak menutup kemungkinan semuanya dibuat dan dirancang oleh mereka yang berkuasa dan bermodalkan harta berlebih, alias si nomor satu pada masa itu ). Sebagai dampak dari berjalannya waktu, seperangkat tatanan itu kemudian menjulang ke awang-awang, meninggalkan para anak cucu cicit canggah pendirinya jauh di ketinggian. Melambung nun jauh kesana bagaikan duduk di atas singgasana, sementara mereka yang di bawah tak jemu menatap bercampur iri dengki, merana, tanpa daya ataupun menjilat. Serta merta mendewalah dia tanpa rasa bersalah semena-mena menyogok-nyogok ke atas dan menginjak-injak ke bawah.

Karena kaki sudah lama tidak menjejak tanah, wajarlah jika ia kehilangan sense untuk mendengar bisik-bisik kegelisahan di bawahnya. Kalaulah memang norma, budaya, adat istiadat dan aliran politik dirancang para nenek moyang untuk mengatur hidup agar menjadi lebih baik, lalu mengapa diantara sekian hal tersebut punah merana karena dilupakan, ditinggalkan dan disepelekan ? Penyebabnya bukan 100 % kesalahan era globalisasi, modernisasi, internet, instant messenger, You Tube, dll yang membikin anak-anak kemarin sore gagap, shock lalu bertingkah aneh-aneh. Melainkan karena semua codex tersebut sudah berusia lanjut, mengepala batu karena ngotot mempertahankan kemapanan pribadi, sehingga dengan sendirinya berhenti berpetualang serta berhenti memberikan jawaban, apalagi ketentraman.

Lho, bukannya peraturan dan tata krama ( lama ) diciptakan untuk memberikan ketentraman ? ‘. Lha siapa sih elu kok mau-maunya memberi ketentraman dengan cuma-cuma ?  Bukankah ketentraman adalah buah dari proses panjang, lurus, berliku, berkerikil, menukik tajam, mendaki peluh, tergantung dari jalan mana yang kita pilih untuk meraihnya ? Kita tidak bisa memapankan ketentraman elok rupawan Putri Salju dengan sekedar menaruh rambu-rambu di sepanjang jalan trabasan tikus maupun gang buntu, tanpa mempresentasikan kepada publik dan anak muda tentang alasan dibuatnya rambu-rambu, dan mengapa pula harus diletakkan di situ. Dan yang paling utama, sekuat mana kita berhasil mengukuhkan hukum, norma, etika dan peraturan untuk tegak berdiri dan tak silau terbeli oleh sejumlah kecil dan besar uang.

Kita menginginkan perubahan nasib, betul ?  Kadang kala, angan-angan akan perubahan di masa mendatang terbang secepat kilat mendahului  kemampuan daya upaya tiap-tiap individu itu sendiri untuk berbuat. Kita mengangankan orde reformasi merubah segalanya yang buruk-buruk di orde lampau, termasuk menurunkan harga sembako, bahan bakar, dsb. Kenyataannya ? Yah, you know … Kita mengangankan hujaman bencana alam bertubi-tubi semenjak tahun 2004 yang dimulai dari tsunami Atjeh hingga letusan Bromo di penghujung 2010 ini mampu membuka mata dan mengetuk nurani mereka untuk berhenti berkorupsi, berobral janji dan segera menjual bukti. Apa daya, telenovela kisah sedih kaum tak berpunya belum akan berakhir dan masih kejar tayang. Itulah mengapa perubahan terasa menyakitkan untuk sebagian orang. Karena kita tidak siap menghadapi dan menerima betapa bertolak belakangnya ketentraman versi angan-angan dengan kegetiran realita. So, kesengsaraan dan penderitaan tidak selamanya merupakan hukuman yang diberikan Maha Hidup atas kenakalan kita. Melainkan karena kesalahan cara pandang dan reaksi kita sendiri dalam menyikapi setiap perubahan yang mampir minum di teras rumah kita.

Perubahan apakah yang kita tunggu ? Yaitu perubahan tatanan baru. Tatanan yang bukan sekedar fashion yang sengaja dibuat selalu berubah-ubah ( yang padahal hanya merupakan pengulangan-pengulangan trend di tahun-tahun sebelumnya , 50-an, 60-an, 70-an, dst. ) demi menguntungkan industrialis pakaian jadi. Bukan penampakan luar yang bisa digonta-ganti secepat Superman atau Zorro menukar kostum, demi menciptakan kesan seolah-olah alias pencitraan belaka guna mendongkrak popularitas seleb kemarin sore. Bukan sekedar dogma rekayasa untuk menakut-nakuti penduduk sipil yang tak punya kuasa dan uang untuk menawar maupun menyuap. Bukan konsep idealis nan indah-indah dan tak kenal lelah  merayukan janji-janji kesejahteraan. Bukan mekso mengada-adakan sesuatu yang belum ada. Melainkan gabungan yang indah dari semua yang sudah dan pernah ada. Dari yang lama dilupakan atau sedang digandrungi. Dari yang lama dan yang baru. Dari jauh di masa lalu dan rencana masa depan, bertemu kangen di masa kini.

Meski demikian, di tengah derasnya arus perubahan ada satu hal yang setia untuk tidak berubah. Ia setia tegak diam dan berdiri, tidak terseret tidak juga melawan arus. Ia tidak peduli dikata-katai ketinggalan jaman, kuno maupun anti mainstream. Ia disebut Hidup, yang bersemayam dalam tubuh kita masing-masing. Tak peduli puluhan, ratusan bahkan jutaan kali kita mencederainya dengan perkataan dan perbuatan yang melenceng dari benar, Ia tidak sontak meninggalkan kita mati sendirian. Malahan tak jemu-jemu mengingatkan untuk kembali sadar dan kembali ke jalur, meski  polisi lalu lintas sedang tidak hadir disana.

EMO(NA)SIONALISTIS

Friday, December 3, 2010

TEAR (S)

Tuesday, November 16, 2010

BERKAH MALAPETAKA


                      Hujan air mata nyaris mengalahkan hujan batu kerikil sisa letusan Gunung Merapi, di kala perkembangan terakhir tsunami Kepulauan Mentawai tersiar luas di media. Ada yang kehilangan tempat tinggal dan barang-barang berharga hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Ada yang tercenung sendiri meratapi kehilangan suami, istri, anak-anak mereka tercinta. Ada seorang bayi yang terpaksa menjadi yatim piatu karena orang tuanya terseret gelombang. Ada ratusan mereka yang peduli dan prihatin ramai-ramai membuka pos bantuan dan menggalang dana. Ada jutaan pemirsa televisi yang masih peduli turut mengelus dada. Kaum pejabat terbelah dua, sebagian melenggang kangkung ke Tuki dan Jerman seperti hendak lari dari keruwetan negeri, sedangkan lainnya menyalahkan sistem peringatan dini tsunami sudah gagal total, entah karena perasaan bersalah ikutan me’makan’ 5 miliar rupiah yang sudah dikeluarkan untuk mengoperasikan perangkat tersebut, ataukah karena arogansinya telah luluh melihat duka para korban. Sementara sebagian yang lainnya terdiam kaku dan bertanya-tanya, apakah Sang Maha Hidup sudah begitu membenci kita, dan menurunkan bencana yang tiada habisnya.
            Seperti kelahiran bayi, bencana dan kematian memang sudah sering kita alami sepanjang hidup kita. Coba saja Anda hitung sudah berapa kali bencana alam terjadi dimulai sejak tahun pertama kali Anda lahir sampai saat ini. Ratusan, bahkan ribuan ( barang )kali. Artinya, ini adalah fenomena alias kejadian alam biasa. Mungkin lantaran saking terlalu biasanya bagi saya sampai-sampai khilaf bicara dan mengatakan solusi terbaik, tercepat dan termudah untuk mengatasi bencana adalah pindah dari motherland sejauh mungkin. Saya sadar itu mungkin menyakitkan bagi mereka para korban maupun yang sedang terancam bencana berikut. Tapi, empati yang muncul sudah terlampau dalam dan menyakitkan rasanya diam saja tanpa bisa berbuat banyak menolong mereka yang merana. Karena yang saya bisa lakukan adalah dan hanyalah omdo ( omong doang ), nah maka itulah wujud kepedulian saya.

Nerakanya Surga
            Mudah-mudahan Anda belum bosan kalau kembali saya tekankan pada coretan kali ini, bahwa Indonesia kita ini adalah sungguh sebuah syurga. Pemandangannya elok, cuacanya pun bersahabat. Belum lagi tanah suburnya ialah berkah tak ternilai. Kita taruh biji salak, tumbuh pohon salak. Kita semai benih padi, jadilah nasi. Kita buang benih kerusuhan, yang muncul kedamaian. Alam yang memanjakan dan terlalu mencintai kita, kadang membuat manusia terlena dan lupa darimana semua kenikmatan dunia itu berasal. Sama saja dengan seorang anak ABG ndeleleng yang keinginannya selalu dituruti orang tua. Enteng tangannya menunjuk ingin punya ini itu, tanpa mau tahu  lelah ayah ibu membanting tulang di belakangnya.
            Kita adalah generasi yang beruntung, karena tidak sempat mengalami dan menyaksikan kesulitan-kesulitan para penghuni perintis pertama Nusantara ini. Kita tidak pernah tahu bagaimana repotnya hidup di rimba belantara tanpa listrik, jejaring twitter, fesbuk dan ponsel, makan sayuran hutan tanpa MSG, tidur-tidur ayam mewaspadai bermacam-macam bencana alam, berkelahi melawan binatang buas dan penjajah, maupun berjalan kaki berpuluh kilometer untukl bersilaturahmi dengan sanak saudara. Sejuta kemudahan dan keberuntungan itu ampuh membikin kita terlena berleha-leha.
            Jadi, menggelikan juga melihat kejanggalan alamiah sebahagian manusia yang nglali itu tadi tiba-tiba berlomba bersujud di hadapan Tuhannya masing-masing, mengucapkan sebaris permohonan ampun dan selamat dan ramai-ramai menyebarluaskan himbauan agar semua orang juga bertaubat. Dan itulah yang terjadi setiap dan nyaris selalu sesudah bencana alam skala nasional dan mengundang iba hati masyarakat internasional menghantam Nusantara untuk kesekian kalinya. Bukankah Alam, sebagaimana juga Gusti, tidak pernah sare ( bobo’ ) ? Alam mengitari kita tiada lelah tumbuh, bersinergi dan berproses mencari bentuk-bentuknya yang paling ideal, agar terus mampu berfungsi sebagai pelengkap kebutuhan hidup makhluk hidup seisinya. Dan karena pergerakan sesuatu atau sesosok manusia atau seonggok gunung berapi adalah tanda kehidupan, maka kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa, tsunami dan wedhus gembel adalah memang bencana, hanya bagi mereka yang kurang ingat dan waspada. Sejatinya kaum yang masih ber-Tuhan musti menerima segala kemungkinan terburuk, karena bumi seperti roda, manusia berbangga jumawa menjadi si nomor satu tetapi mekanisme alam tidak pernah memberitahu tanggal, bulan, jam dan pukul berapa kita akan terlempar ke dalam jurang derita.
           
Ready, Get Set, Go … !
            Kecopetan uang gaji jatah hidup satu bulan, pengambilan paksa sepeda motor pretelan kesayangan karena nekat melaju di jalan raya tengah kota tanpa SIM dan STNK, rumah tempat berteduh hangus terbakar berikut seluruh perabotan yang belum lunas cicilannya, tertangkap basah membawa barang narkoba, ditinggal pergi orang tua ke alam baka, diputus pacar setelah dicurinya hati berikut keperjakaan/ keperawanan anda, serta berderet-deret kesialan lain yang menampakkan gejala entah kapan akan berakhir. Kenyamanan dan kemapanan hidup kadang membuat kita lengah akan eksistensi bencana-bencana kecil yang selalu kerja lembur, mengintai dan siap menerkam sewaktu-waktu.
            Maka janganlah panik dan gagap menghadapi serbuan wabah penyakit trendy bernama depresi, tidak menular namun lebih ganas daripada AIDS dan flu burung. Berlandaskan asas menyelesaikan masalah tanpa masalah lebih cepat lebih baik, maka mereka yang kelelahan memforsir otaknya untuk berpikir melampaui apa yang bisa dikerjakan oleh raganya memilih terjun bebas dari tower berlantai 111, gantung diri atau minum racun. Sementara sebagian streswan dan streswati yang masih sayang nyawa namun ciut nyali menantang depresi melarikan diri kepada pelukan hura-hura narkoba, miras, meja judi dan kekasih nomer dua atau sebelas…
Ibarat anjing menggonggong, kafilah berkepala dingin pun berlalu dan bukannya melempar batu untuk mengusir si pengganggu. Maka, tsunami maupun Merapi aftermath adalah berdiri selekas-lekasnya, menyembuhkan luka hingga tak terasa pedihnya lalu mencuri start dan berlari kembali membangun hari-hari. Dalam teorinya memang mudah, namun kita tidak punya pilihan lain. Marah, menjerit, memaki dan menangis hanya orang sakit jiwa yang berkuasa melarang. Manakala cadangan energi akhirnya terbuang percuma untuk meratapi nasib dan menunggu mukjizat untuk mengentaskan duka lara, ah betapa meruginya ! 

WHATT A .... ?!

Thursday, October 28, 2010

SAKITNYA SAKIT oleh : Dyah Mahasasi Swastantika

Thursday, October 14, 2010


            Bulan suci Ramadhan baru saja berlalu. Setelah para kerabat pulang ke rumah masing-masing, kue Lebaran dan kantong kembali menipis kita kembali kepada kehidupan seperti biasa. Sebagian kecil yang sukses mendapatkan berkah Lailatul Qadr mungkin akan merubah pola pikir dan tindak tanduk tanpa disuruh-suruh, lebih positif dan progresif daripada sebelumnya. Sedangkan sebagian lainnya yang belum mendapat berkah harus sabar menunggu hingga Ramadhan berikutnya. Anyway, yang jelas, semua Muslim kini bebas untuk makan dan minum di siang hari. Bebas dari teriakan protes keroncongan di perut selama sebulan kemarin. Bebas dari rasa sakit yang dengan sengaja disongsong guna meraih kepuasan spiritual dalam rangka mengenal sifat-sifat Dia dan menjadi kekasihNya.
            Sejak kanak-kanak kita sudah diajarkan bahwa sakit dan rasa sakit itu sama sekali tidak menyenangkan. Penderitaan datang daripadanya, dan kita harus menjauhinya sedapat mungkin. Apabila suatu saat terjatuh dan menangis kesakitan maka ayah dan ibu tercinta akan cepat-cepat datang menolong. Bermaksud menenangkan tangisan kita beliau memukul lantai atau batu kerikil yang menyebabkan kita terpelanting. Maka semenjak detik itu juga terbentuk pemahaman dalam benak kita mengenai rasa sakit dan penderitaan,  semuanya disebabkan oleh hal-hal yang berada di luar diri kita. Artinya, kalau kita tersandung batu manakala mata terlalu serius memperhatikan sosok bahenol di seberang jalan, maka si batulah yang salah, ngapain juga dia harus menghalangi jalan kita.
            Bukan maksud saya menyalahkan sikap para orang tua kita. Namun, zaman beliau-beliau lahir dan dibesarkan tidak serumit era cyber goro-goro saat ini. Jadi, kita harus menerima dengan dada lapang apabila ‘menyalahkan si batu’ tadi ternyata menyesatkan perjalanan kita di masa dewasa. Entah sudah berpuluh ribu kali kita harus berjalan, tersandung, terjatuh, terperosok bahkan tenggelam karena silau akan gemerlap surga dunia. Memang akhirnya mau tak mau kita akan bangkit dan berjalan kembali. Namun, sosok tersebut bukanlah seorang suciwan atau suciwati yang akan dengan mudah memaafkan diri sendiri apalagi orang-orang lain. Pada suatu masa ia berjalan ke depan tanpa menoleh ke kanan kiri belakang, namun rasa pahit yang dipelihara membuat ia lagi-lagi tersesat.

Si Tamu Tidak Diundang
            Seorang teman pernah bercerita tentang betapa sakti mandragunanya seorang tamu tak diundang yang mampir ke rumahnya beberapa waktu yang lalu. Pagar rumahnya tinggi meruncing, gembok rangkap 3, alarm anti maling selalu on dan cctv standby di sudut-sudut rumah, toh teman ybs akhirnya menangisi kepergian mobil sedan barunya yang raib digondol si ‘ tamu ‘. ‘ Mungkin si penggondol itu punya aji sirep kali ya ? ‘ keluh teman saya. ‘ Oo ya bisa juga, ‘ timpal saya. ‘ Mungkin dia juga punya ilmu pelet, ilmu meringankan tubuh, ilmu menghilang dan kebal peluru dan kebal polisi, otot kawat, tulang jemuran …’
            Pencuri, apapun jenis kelaminnya, tak peduli dia bercadar ninja atau berkerah putih, entah mencuri hati Anda ataupun uang negara, memang begundal yang layak untuk dimaki-maki. Si tamu tak diundang itu bukan saja mengambil barang kesayangan yang dibeli oleh butir keringat kerja keras. Namun juga memberi kita sebuah hadiah istimewa bernama marah, sedih dan sumpah serapah kebun binatang. Harga barang yang hilang mungkin sangat mahal, namun emosi lebih mahal lagi karena tidak ada obatnya di apotik terdekat.
            Ia membikin otak panas seperti mau meledak. Seperti sebuah luka yang belum lama mengering, tiba-tiba terbuka karena siraman air garam, diiris-iris sembilu untuk kemudian digoreng di wajan nafsu duniawi. Kemudian ia menjelma merasuk ke dalam kerusuhan, tawuran, kekerasan, permusuhan, syak wasangka berskala internasional, nasional, daerah, RT RW maupun rumah tangga. Tumpahan lahar gunung api memang sangat mengerikan, apalagi yang sudah tersimpan begitu lama. Karena ia tidak ragu lagi untuk menerjang membinasakan apa dan siapa saja yang berdiri di depannya. Saat si bijak berusaha membunuh perasaan ini, yang didapat hanyalah menggiring angin. Ibarat suporter bonex, semakin diusir, semakin liar pula serangan baliknya.
            Emosi tidak bisa dienyahkan, kecuali kita menghembuskan nafas terakhir. Hanyalah ingatan dan kewaspadaan kelas tinggi manusialah yang bisa menaklukkannya. Seandainya kita belum cukup punya kemampuan untuk itu, mari membuat sebuah keranjang sampah. Letakkanlah sebentar logika dan berpalinglah pada aktivitas yang menguras isi perasaan Anda. Misalnya, memutar piringan hitam lagu-lagu rohani, menggambar pemandangan, memberi makan ikan-ikan dan burung peliharaan, memainkan senar ukulele atau mengencani seniman/seniwati ganteng/ ayu,  kaya dan terkenal.

Masokis rasa Kismis ?
            Mendengar kata yang satu ini mungkin lamunan Anda akan melayang-layang kepada sesuatu kejanggalan seseorang ketika berkencan dengan kekasihnya, cokot mencokot, cambuk kuda lumping, rantai kapal, dll ( Kalau sudah cukup umur Anda bisa menyaksikan contoh-contohnya di website Hentai ). Konon kabarnya, sindrom ini menjangkiti mereka-mereka yang mengalami depresi akibat pengalaman kontak fisik yang mengerikan di usia dini. Mereka, kaum masokis ini, diberi berkah berupa semacam perasaan bahagia melimpah ruah di kala berhasil menyakiti dirinya sendiri baik physically maupuan sexually.  Namun pada perkembangannya, masokis bukan hanya menjadi momok peraduan hasrat Anda. Ia, tanpa kita sadari, ternyata sudah melebarkan sayapnya ke dalam segala macam aspek kehidupan sosial kemasyarakatan manusia.
            Apabila tujuan hidup manusia di dunia ini adalah untuk mencari ketentraman ( yang entah betah bersembunyi di relung hati sebelah mana ), dan bukan hanya sekedar kesejahteraan materi belaka, maka sudah seharusnyalah kita mencari dimana ia berada. Namun apa daya, semakin dikejar semakin menjauhlah dia. Jangankan untuk mencari, ada juga sebagian kaum yang kurang beruntung dalam mendefinisikan makna di balik ketentraman. Telah dicari ke ujung dunia, bahkan di sela-sela tumpukan jerami, tiada jua bersua. Manakala kita sudah lelah dan kehabisan tenaga untuk meneriaki dan menyalahkan dunia atas kegagalan mendapatkan ketentraman sejati, marilah berhenti berlari dan mengambil nafas panjang sejenak.
            Tanpa kita sadari, entah sudah puluhan, ratusan, jutaan kali kita menyakiti hati sendiri dalam satu hari, satu tahun, dua dasawarsa maupun seumur hidup kita. Kita tahu bahwa berkata bohong itu salah, namun di masa sekolah dasar entah sudah berapa kali kita membohongi orang tua guna mencari alasan pulang terlambat. Kita tahu menyiksa binatang itu dilarang agama, namun kita berseru kegirangan saat jangkrik aduan kita menang. Kita tahu mengutil itu dipotong tangan hukumannya, namun sembari berlagak klepto kita sering merasa tak berdosa saat mengutil di swalayan terdekat. Kita tahu selingkuh itu sadis, namun lagu-lagu cinta bertemakan salah satu penyakit cinta kronis manusia sejak zaman sepur lempung itu nyaris selalu disukai anak-anak muda. Kita tahu merokok itu tidak baik untuk kesehatan, tapi kalau pabrik rokok ditutup semua lalu kemanakah para pekerjanya dan petani tembakau mencari makan ? Kita tahu korupsi itu merugikan banyak sekali orang, namun toh masih ada juga kaum sesat yang membanggakan hasil kekayaan yang diperoleh berkat tipu muslihat. Kita tahu pembantaian massal itu bukan saja keji - hati pelakunya mungkin terbuat dari batu kali, namun tahun demi tahun berjalan tanpa secuil penjelasan pun tentang tragedi A, B, G, F, S dan Z.
            Anda boleh-boleh saja menghakimi gerombolan pecinta tatoisme dan piercingisme sebagai masokis maniak dan kurang normal. Tapi toh hanya 0,99 % dari mereka tidak siap dengan resiko sakit dan tjap buruk dari para tetangga. Hanya mereka yang kurang makan bangku sekolahan tidak dapat menjelaskan arti di balik sebuah tato di hidung dan tindik di tenggorokan. Mengapa harus oknum-oknum misterius menghabisi nyawa mereka satu per satu di era 1980-an ? Toh mereka cuma mengekspresikan rasa sakitnya dan berjuang sekuat tenaga untuk menempatkannya setara selilit kismis di sela-sela gigi,  tak pernah berniat menyakiti orang lain kecuali tubuh milik pribadi.
Idealnya sih, menjalani dan menghabiskan waktu menghirup udara di Bumi ini dengan normal-normal saja, tanpa perlu harakiri menjemput rasa sakit di dalam hati maupun di sekujur badan. Akan tetapi, hidup ini pun menyuguhkan sekian banyak pilihan, pula sekian ribu resiko yang harus ditanggung penumpang sendiri-sendiri. Selanjutnya terserah Anda …
           

           

           
           
           

THE BLACKNYAN TREE

Thursday, October 7, 2010

PERTEMUAN

Tuesday, September 7, 2010


Saya pegang ajaran Multatuli bahwa kewajiban manusia adalah menjadi manusia
( Pramudya Ananta Toer )

            Saat manusia mini berbentuk jabang bayi dipaksa keluar dari rahim hangat ibundanya, ia menangis tersedu-sedu. Selama ini kita mengira dia menangis karena kedinginan, atau terkejut matanya mendadak silau oleh cahaya. Kepercayaan tradisional Jawa mengatakan, bayi yang baru lahir menangis karena harus berpisah dengan ‘ saudara-saudaranya ‘, kakang ( kakak ) kawah ( ketuban ), adhi ( adik ) ari-ari ( plasenta ) dan sedulur papat ( saudara empat lainnya, yaitu darah dan tali pusar ), yang selama 9 bulan sudah setia menemaninya. Dan karenanya jabang bayi sadar musti menjalani hidup sendiri saja.
            Seiring dengan berjalannya waktu, manusia kecil itu pun mengetahui, ternyata ia tidak benar-benar sendiri di dunia ini. Ada keluarga, teman-teman, saudara-saudara, kolega, tetangga-tetangga, dan masih banyak lagi, tergantung kepada seberapa jauh dia menceburkan diri ke dalam jejaring pergaulan sosial. Di tengah-tengah mereka ia mendapatkan kasih sayang, perhatian, nasihat dan saran-saran, serta uang jajan. Semua tercipta dan tersedia begitu sempurna,  untuk dirinya seorang. Lama-lama tubuh yang dulu mungil kini tinggi menjulang. Dan tiba saatnya ia melangkahkan kaki keluar rumah.
            Ketika anak-anak tumbuh dewasa dan mengenal dunia luar, maka sadarlah ia hanya sebiji kuku hitam. Alam raya ternyata menawarkan kebebasan untuk memilih antara jalan gelap dan terang. Namun, karena ia anak kemarin sore yang imut dan lugu, maka sebersit keraguan merongrong dirinya. Jalan mana yang musti dipilih ? Jalan terang yang sesuai dengan norma-norma dan nasihat orang tua, ataukah jalan gelap yang ( mungkin ) menyimpan misteri dan maksiat ?  
            Di sekelilingnya ia dikepung teman sebaya yang sama-sama kebingungan, dan juga ketakutan. Takut tidak memperoleh pengakuan atas keberadaan mereka sebagai manusia setengah anak-anak, ataukah manusia setengah dewasa, atau malah setengah manusia sama sekali. Sekelompok ABG gagal mengatasi ketakutannya sendiri dan imbas langsungnya adalah kehilangan keyakinan atas kemampuannya untuk meraih pengakuan dari teman sekelas, teman satu geng dan pacar teman. Mereka yang meratapi kegagalannya menanam, memupuk dan bahkan berburu untuk menemukan bibit pohon jati diri untuk tumbuh dewasa akhirnya memilih jalan pintas destruktif berupa narkobis, balapan liar, tawuran massal, penggerebekan ini itu, kalau tidak membunuhi sesama makhluk hidup yang tak berbicara dengan bahasa manusia, misalnya hutan hujan atau lumba-lumba Kalderon ( seperti yang dilakukan ABG laki-laki setiap tahun di Denmark dalam rangka mendemonstrasikan kejantanan mereka ).
           
Us ( are not ) Vs Them
Mantan presiden RI pertama, Soekarno, tercatat dalam sejarah dunia sebagai pemimpin pemberani meskipun ngluruk tanpo bolo ( menyerang sendirian ), saat beliau menyatakan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965.  Pemerintah Soekarno menganggap PBB telah menjadi boneka Imperialisme dan neo-kolonialisme Amerika dan sekutunya.  Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, yang mana adalah posisi incaran hampir setiap negara di dunia hingga saat ini. Bung Karno berasumsi bahwa Malaysia adalah negara boneka bikinan negara-negara Barat yang hendak memecah belah persatuan orang-orang Asia Tenggara, untuk kemudian menguasai tanah milik kaum bumiputra dan mengambil alih kekayaan alamnya. Bung Karno berkata, "PBB dalam susunannya yang sekarang tidak mungkin dipertahankan lagi. Dengan menguntungkan Taiwan dan merugikan RRC (waktu itu Cina diwakili oleh Taiwan), menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab, PBB nyata-nyata menguntungkan imperialisme dan merugikan kemerdekaan bangsa-bangsa.” Tapi itu kan dulu …
Entah karena aus termakan waktu atau mungkin ada faktor x lain, keberanian setinggi langit itu menurun sedikit demi sedikit tergerus waktu. Mungkin akan lenyap sama sekali sebelum salah satu pemimpin dan calon pemimpin kita tertular ‘ virus Soekarno ‘ yang pernah sangat menegakkan bulu kuduk pemimpin-pemimpin negara Barat. Jangan kita salah mempersepsikan keberanian dengan bondo ( modal ) nekat, haus darah dan kekerasan, karena waktu berjalan ke depan, wajah dunia berubah dan kalau untuk sekedar main tembak-tembakan bisa kita main airsoft gun atau Point Blank.
Dalam bidang pelestarian lingkungan hidup keberanian adalah menindak tegas industri milik pengusaha lokal maupun  asing yang terbukti mencemari lingkungan dan melanggar AMDAL. Dalam bidang industri, keberanian adalah membela nasib kaum pekerja di industri milik investor asing, diantaranya adalah dengan memastikan apakah mereka menerima upah sesuai UU atau malah kurang. Dalam bidang hukum, keberanian adalah menghukum seberat-beratnya para koruptor sebelum tiang devisa, APBN, APBD dan sejenisnya rontok dimakan rayap.
Maka, bukanlah semata-mata kesalahan negara tetangga melecehkan eksistensi kita. Mungkin dalam benak mereka berpikir, Indonesia nyaris abai terhadap nasib pekerja migran, apalagi kepada hal-hal besar lainnya seperti batas wilayah, sumber daya alam, penegakan hukum dll. Jadi tidak masalah semisal mereka hendak mencuri-curi ikan di laut kita sedikit-sedikit, atau bermain tangan sedikit kasar kepada pekerja rumah tangga yang berasal dari Indonesia, atau menjiplak sedikit dari karya-karya peninggalan leluhur kita yang sudah terlupakan. Ingat, maling amatiran tidak memulai aksi perdana mereka di tempat-tempat berkeamanan maksimum seperti bank maupun toko perhiasan, melainkan barang-barang dan tempat sepele yang nyaris luput dari perhatian misalnya jemuran, sandal dan kotak amal di tempat ibadah.  Mencuri memang haram hukumnya. Tapi  lebih celaka lagi tuan rumah yang sering tidak ingat dan waspada.

Tidak Hilang, Tetapi Belum Bertemu
            Televisi, radio dan internet sering dipersalahkan oleh kaum pendidik dan orang tua atas perilaku menyimpang anak-anak dan remaja. Mereka bilang betapa liarnya anak-anak zaman sekarang dibandingkan zaman mereka dulu. Dan betapa sudah bergesernya nilai-nilai kesopanan dan tata krama dari perilaku mereka. Sangat tidak mencerminkan sosok manusia Indonesia yang berbudaya, padahal mereka adalah generasi penerus bangsa. ( Nggak gitu-gitu amat kali, Pak, Bu. Coba bayangkan kalau Mark Zuckerberg, perancang Facebook itu ternyata lahir 10-20 tahun lebih awal, yaitu di masa Anda-anda jadi ABG. Apa iya masih terkendalikah kelakuan Anda ? ).
            Pertanyaannya sekarang orang Indonesia yang benar tindak tanduknya harus bagaimana ? Budaya Indonesia itu yang seperti apa sih ? Lalu, mengapa bahasa ibu kita berbeda ? Leluhur orang Indonesia datang dari mana ? Apa ajaran peninggalan leluhur kita ? Kira-kira bagaimana wujud kepulauan ini pada zaman dahulu kala, zaman sebelum berdirinya kerajaan pertama, Kutai dan Tarumanegara ? Apa benar penghuninya adalah meganthropus paleojavanicus, pithecantropus erectus, homo soloensis dan homo wajakensis ? Kalau memang ya jawabannya, pantaslah susah diatur orang-orang Indonesia ini. Lha wong keturunan munyuk …
            See, betapa tipisnya dinding pembatas antara manusia, yang belum berhasil mengenali dan menemui jati dirinya, dengan binatang. Anda boleh berlega hati karena volume otak bintang lebih kecil daripada manusia, sehingga mereka tidak punya alternatif teknis untuk bertindak selain daripada dorongan nalurinya. Sedangkan Anda manusia punya dua pilihan, yang mana satu sama lain bertentangan (  ya atau tidak, jujur atau bohong, dst. ) dan masing-masing meminta konsekuensi yang berbeda pula.  Orang jujur memang tidak selalu mujur. Namun kedok si pembohong lama-lama menumpuk sehingga ia lama-lama lupa bagaimana wajah aslinya. Anda boleh mengatakan si tetangga itu Malingsia, namun toh mereka  ‘ jujur ‘ menuliskan sejarah kelam yang pernah terjadi disana, antara lain kerusuhan rasial 13 Mei 1969, berikut faktor pemicu, jumlah korban jiwa dan harta benda, dan pihak mana saja yang terlibat. Sedangkan hingga 10 tahun ini kita masih belum bisa mengakses secara terperinci topik Insiden Mei 1998 dari Wikipedia. Di situs ensiklopedia bebas itu tertulis ‘ Masalah sensitif tanpa referensi ‘ .
             Mengapa harus kita menyalahkan anak-anak remaja atas hilangnya identitas kebangsaan mereka, sedangkan kita kaum terdahulu belum juga bisa menemukan, bahkan mencari identitas kebangsaan itu yang seperti apa wujud dan baunya ?  Kita terlalu takut untuk berhenti berbohong, dan mengakui kalau kita sudah berbohong.    Topeng kewibawaan, norma-norma dan doktrin-doktrin tiada jemu-jemunya kita pasang sebagai perisai agar konsekuensi kejujuran tidak bisa melukai kita. Ok, dalih keamanan dan stabilitas nasional adalah argumen paling masuk akal untuk menjawab ketidakperluan pengungkapan kebohongan publik dan sejarah , dan dikhawatirkan memicu gonjang ganjing nasional suatu masa nanti. Jadi mau berbohong sampai mati, begitu ?
            Ajaran Islam mengatakan, di hari Idul Fitri manusia akan terlahir kembali, suci seperti bayi karena sudah di ‘putihkan’ dari dosa-dosa selama hidup di Bumi. Nah lalu siapa yang bisa mengatakan perbuatan A itu berpahala/ benar dan perbuatan B itu berdosa/ salah ? Kitab suci Al Qur’an tidak akan bisa mengatakan apa-apa kecuali kita yang bersuara membaca isinya, dan memahami maknamya. Dalam artian, pertama-tama adalah suara hati Andalah yang akan menuntun jiwa berketurunan kera itu untuk mengerti dan mengakui kebenaran dan kesalahan. Untuk melepas kedok dan kemudian membukakan mata untuk melihat cahaya. Untuk berjalan dalam terang dan meraih cita-cita. Untuk akhirnya menemui siapa Anda-anda sesungguhnya.
           
            Selamat Mencari !

PILIHAN

Thursday, August 12, 2010

PERTANYAAN-PERTANYAAN PASCA LIBERTY, EQUALITY,FRATERNI TY

Monday, August 2, 2010

14 Juli lalu genap 211 tahun sudah Revolusi Prancis diperingati sebagai tonggak yang menginspirasi perjuangan melawan imperialisme di benua Amerika, Afrika dan Asia. Pekik Liberty, Equality, Fratenity ( Kemerdekaan, Kesetaraan, Persaudaraan ) telah dua abad lebih menggema hingga ke pelosok muka bumi. Harapan untuk perubahan social, ekonomi, budaya dan segala aspek kehidupan tumbuh dewasa di belakangnya. Bersamaan dengan itu, adalah teguran dan kritikan penuh kasih sayang dari mereka yang masih setia kepada para penguasa dunia yang sedang terlena dalam pelukan harta untuk mengingat kembali komitmen menegakkan kebenaran dan kesejahteraan seluruh warga.

Bukan berarti mereka masih menginginkan revolusi, kata terlarang yang membikin semua diktator lalim merinding, berdarah-darah membasahi ibu pertiwi masing-masing. Namun kelaparan akibat menurunnya daya beli masyarakat, faktor pemicu gegap gempita Prancis ratusan tahun lampau, masih dijumpai beberapa tempat. Pula, masih ada bom-bom meledak atas nama agama, peluru berdesingan mencacatkan anak-anak tanpa dosa dan agresi militer untuk menyelubungi persaingan tidak sehat memperebutkan sumber daya alam milik tetangga. Sementara para pengusaha berpikir keras bagaimana meraup untung banyak dengan sedikit pengeluaran, para pekerja yang lelah memeras keringat bergantian menuntut perbaikan upah. Apakah memang sudah gawan bayi ataukah takdir, bahwa perjuangan menegakkan kebenaran tiada akan pernah berakhir ?

Kemerdekaan
Kemerdekaan sebenarnya merupakan istilah yang di ‘hiperbola’kan dari kebebasan. Anak buyutnya kebebasan, kurang lebih. Sedangkan kebebasan sendiri mengandung arti semacam perasaan lega, lepas, karena hilangnya tekanan, belenggu, ancaman dan terror. Semacam perasaan ingin terbang melayang di hampa udara. Seupama layang-layang putus, berputar-putar kemana tiupan angin membawa. Ibarat seekor kuda, berlari kemana kakinya ingin pergi. Layaknya ABG, berbuat dan berucap sesuai kehendak hati.

Semua manusia pada awalnya lahir bersama perasaan itu. Manusia lahir tanpa membawa apa-apa, termasuk pakaian yang melekat di badan. Tidak juga beban dosa maupun masalah para orang tua. Suci, murni, polos, kadang sedikit naïf. Keluarga, masyarakat dan Negara bertanggung jawab memberikan pengetahuan kepada si manusia baru bagaimana menjaga, mengarahkan dan menggunakan kebebasannya. Namun di tengah jalan dan di suatu saat dan tempat, mereka pernah mengalami saat-saat dimana kebebasannya terampas dan harga diri sebagai manusia pun terhempas. Dan hanya sedikit sekali diantara mereka yang beruntung menyadari bahwa keterampasan serta keterhempasan itu penyebabnya 90% berasal dari kegagalan di dalam dirinya untuk mengambil alih kendali dan mempertahankan kebebasan.

Mengapa demikian ?

Manusia memang keluar dari rahim bunda bersama kebebasan, hak asasi, absolute freedom, dsb,dst… dan sendirian ( kecuali anak kembar 2, 3, 4, dll. ). Semasa kanak-kanak adalah bapak, ibu, saudara-saudara, kakek, nenek, paman dan bibi menjadi teman yang mengasuh, memberi makan, nasihat, menyekolahkan dan memberi uang jajan. Lalu tibalah masa ketika ia harus melangkahkan kaki ke luar rumah dan mendapatkan kebebasannya, adalah ia dan hanya dia seorang yang berhak dan bertanggung jawab memutuskan segalanya. Kadang-kadang rasa ingin tahu yang terlampau liar memaksanya menyerah mencoba melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum, ajaran agama maupun norma-norma sosial. Saat konsekuensi menagih pembayaran berupa kebebasan yang dimilikinya, barulah ia menyesal mengapa terlambat memutar haluan.

Warga pribumi Indonesia sudah sejak ribuan tahun lampau menjadi pusat pelampiasan iri hati warga belahan dunia lain. Betapa tidak, warga pribumi hidup berkecukupan sandang, pangan, papan, gemah ripah loh jinawi. Malangnya, warga pribumi tidak tahu menahu tentang potensi yang terpendam di dalam tanah dan laut. Sedangkan para raja penguasa tanah pribumi pada saat itu terlampau sibuk berperang memperluas wilayah kekuasaan, bersengketa dengan kerabat-kerabat yang tergiur empuknya kursi istana dan mencari selir-selir baru. Para pedagang, tamu kerajaan yang berkulit putih dan bermata biru melihatnya sebagai kelemahan. Dan karena mereka pada saat itu juga sangat membutuhkan hasil bumi dan sumber daya alam lain yang murah, cepat dan tepat untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya sendiri, maka terjadilah apa yang kita sebut sekarang sebagai penjajahan alias imperialisme.

350 tahun ? Yah, bukannya saya mau menjelek-jelekkan nenek moyang kita yang sudah beristirahat dengan tenang dan merdeka di ‘ dunia ‘nya sendiri, namun, seperti yang sudah saya kemukakan di tulisan terdahulu, keadaan alam yang kaya raya kadang terlampau memanjakan sehingga manusia cenderung lekas berpuas diri dan malas mencari pengetahuan lebih di luar lingkungan yang serba enak. Para pendahulu kita terlambat menyadari bahwa mereka tidak hidup sendirian di luasnya Nusantara. Mereka berjuang sendiri-sendiri bersama golongannya sendiri serta belum memiliki pengetahuan tentang teknologi persenjataan terbaru. Mengira bahwa keris sudah cukup sakti mandraguna, satu demi satu pahlawan lokal menemui ajal di penghujung bedil.

Kesetaraan

Semua manusia, kecuali mereka yang kebetulan mendapat anugerah terselubung berupa cacat fisik, dilahirkan dengan satu kepala, dua tangan dan kaki, dua mata, satu hidung dan satu mulut. Sepintas terlihat sama. Selain nama, apa yang membuat mereka berbeda dan dibedakan antara satu dengan lainnya ? Warna dan jenis rambut ( hitam lurus atau kribo coklat ) ? Warna mata ( biru, hijau, coklat, hitam ) ? Warna kulit ( hitam, coklat, putih, kuning, merah )? Golongan ( atas, menengah, bawah ) ? Asal usul/ leluhur ( bangsawan, rakyat jelata, blasteran antara bangsawan dan rakyat jelata ) ? Pekerjaan ( direktur, manajer, karyawan ) ? Jenis kelamin ( laki-laki, perempuan, setengah laki-laki dan atau setengah perempuan ) ? Umur ( anak-anak, dewasa, lansia ) ? Jumlah materi ( kaya, miskin, setengah miskin ) ? Kepercayaan ( Anda sebut sendiri lah please ) ?

Sejumlah perbedaan tersebut ternyata melatar belakangi sebagian kecil orang untuk merasa lebih, yakin bahwa dirinya/ mereka adalah numero uno, the chosen one, satria pinilih. Dan oleh karenanya merasa berhak untuk memberikan perlakuan tak sederajat kepada golongan lain yang tidak seperti dirinya. Anda bisa mengatakan penindasan sudah jadi sejarah yang penuh sarang laba-laba. Namun di beberapa tempat masih dapat dengan mudah kita temui sekelompok manusia yang masih harus memeras peluh untuk mendapat pengakuan atas keberadaannya dan kesamaan hak untuk mempertahankan hidup.

Apa sih kira-kira yang terlintas di benak kita ketika melihat, menemui atau mengenal seseorang yang berbeda fisik dan non fisik dengan kita ? Ah, jangan-jangan dia maling. Jangan-jangan dia maniak. Jangan-jangan dia pengintip. Jangan-jangan… jangan-jangan …Takut kah ? Itu jelas sekali terang benderang. Entah siapa yang memulai, namun paranoia terhadap sesuatu yang asing, lain, aneh dan tidak mainstream sudah ditanamkan sejak masa ingusan kakek nenek kita. Tujuan awalnya sih sebenarnya untuk menumbuhkan pertahanan swadaya seorang anak kala ia harus menempuh perjalanan seorang diri. Dilemanya, sangat jarang ditemui orang-orang yang mampu menganalisa masalah dan mengambil keputusan secepat kilat namun cermat dalam situasi genting. Yang diingat dan terngiang senantiasa hanyalah doktrin-doktrin sempit semisal : ‘ hitam jahat ‘, ‘ merah liar ‘, ‘ putih malaikat ‘. Sehingga keminderan individu berbenturan dengan ketidakpercayaan berlebih terhadap liyan sukses menumbuhkembangkan ledakan rasisme, fasisme, terorisme, seniorisme serta bullyingisme.

Persaudaraan

Beda Bapak beda Ibu tetapi bersaudara ? Kok bisa ? Tentu bisa. Buktinya frase’ persaudaraan ‘, ‘ ikatan ‘, ‘ persatuan ‘ dan ‘ perkumpulan ‘ dan sejenisnya sebagai bagian nama organisasi, yayasan, lembaga, perkumpulan, perserikatan yang dibentuk berdasarkan kesamaan minat/ hobi, tujuan dan asal muasal. Diantaranya meliputi kesamaan perguruan tinggi, ketrampilan kerja, etika, etnisitas, agama, politik, kontribusi amal dan sosial, nilai-nilai tradisional, asetisme, pelayanan publik, seni budaya, garis keturunan/ marga dan bahkan criminal. Artinya, sekumpulan orang tersebut tidak mendadak sontak bersedia menyatakan diri sebagai saudara satu sama lain tanpa alasan, yaitu kesamaan kepentingan dan nasib.

Di masa perjuangan kemerdekaan RI, beberapa kelompok generasi muda yaitu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon berhasil menyatukan visi dan mendeklarasikan Sumpah Pemuda, dan dilestarikan hingga sekarang sebagai simbol pernyataan persatuan seluruh rakyat Indonesia pada saat itu. 5 tahun kemudian setelah RI memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, persatuan itu sedikit demi sedikit terkikis akibat meletusnya pemberontakan bersenjata di beberapa daerah. Sebut saja pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) ( 23 Januari 1950, Bandung ), pemberontakan Andi Azis ( 5 April 1950, Makassar ), pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) ( 25 April 1950, Maluku ), pemberontakan PRRI/Permesta ( 15 Februari 1958, Sumatra Barat dan Sulawesi Utara ), pemberontakan DI/ TII ( 7 Agustus 1949-3 Februari 1965, tersebar di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan ).

Sesudah menelaah beberapa sumber saya simpulkan ada satu factor tunggal yang memicu radikalisme daerah tersebut. Yaitu, tuntutan agar otonomi daerah segera direalisasikan pemerintah saat itu. Agar hasil daerah dikembalikan lagi ke daerah, karena sebelumnya terjadinya kesepakatan hasil bumi daerah dikuasai secara penuh oleh pemerintah pusat.
Perjuangan itu dilakukan sebagai bentuk pengambilan kembali hak-hak daerah. Dikatakan oleh Bakhtiar Ngunguah ( salah satu mantan anggota PRRI Sumatra Barat yang masih hidup ) bahwa hasil daerah yang diharapkan kembali lagi ke daerah antara lain beberapa hasil bumi seperti terung, sayur mayur, tambang emas, tambang tembaga dan hasil lainnya. "Jika masalah tersebut diselesaikan dan hasil tersebut dikembalikan, kami akan akan kembali ke pangkuan ibu pertiwi yang artinya pusat tidak menang dan daerah tidak kalah, “ ( situs Padang Today, 15 Agustus 2009 ).

Manakala cita-cita sudah tergenggam erat di tangan, kita kadang terlena dan melupakan sekeliling. Dunia milik kita, yang lain penumpang gelap, begitulah kira-kira. Status bangsa terjajah ternyata ampuh menumbuhkan keinginan untuk bersatu dengan sesama warga, dengan tak memandang suku, ras, golongan maupun agama. Jadi, apakah wajib menyandang status bangsa budak belian selamanya agar tak ada perpecahan diantara kita ? Sebuah surat kabar ibu kota ternama baru-baru ini menurunkan sebuah tulisan mengenai kebiasaan-kebiasaan buruk manusia. Berada di urutan pertama adalah gossip/ menggosip. Ironisnya, kebiasaan membicarakan keburukan orang lain itu ternyata terbukti sah dan meyakinkan mampu mendekatkan hubungan dua pihak yang awalnya tak saling kenal. Persaudaraan, apakah harus diciptakan dengan mengada-adakan kambing hitam ?

Pernahkah Anda memikirkan kemungkinan Sang Maha Hidup sengaja menciptakan manusia dengan ketidaksempurnaannya agar mereka belajar, berpikir dan berbuat untuk menjadi sempurna ?

Kebenaran mutlak ? Alam bakalah tempatnya. Namun, selagi masih bernafas mengapa tidak kita berusaha semampunya untuk menjadi benar ?

AN NATURAL SELECTION

Monday, June 28, 2010

BELENGGU CITRA

Bagi Anda yang tidak suka sepak bola, tabahkanlah hati sepanjang bulan Juni hingga awal Juli mendatang, apabila terpaksa melewatkan siaran berita, pentas musik menye-menye ataupun sinetron penguras air mata. Ada yang mengidentikkan rimba persepakbolaan berikut ajang Piala Dunia kali ini dengan kapitalisme ( karena lingkaran setannya adalah pemain bagus, klub menangan, banyak penonton dan tentu saja banyak uang ), selebritas ( karena mayoritas kekasih para pemain sepak bola adalah model dan seleb hot di negaranya ), tragedi ( karena kesebelasan-kesebelasan besar, diantaranya Prancis dan Italy harus angkat koper pagi-pagi sekali. Kabar terakhir disusul Inggris ), gengsi ( jelas, apalagi jika pemenangnya nanti adalah kesebelasan Negara berkembang yang tidak punya gigi sama sekali di kompetisi besar lain seperti WTO atau G-8 ). But, whatever, it’s just a game to?

Kita tidak perlu kecewa karena kesebelasan Indonesia belum berhasil menembus tempat terhormat sebagai finalisnya, atau iri hati menyaksikan perayaan di kesebelasan Negara pemenang. ‘Kan Liga Indonesia yang barusan lewat juga menyuguhkan pemandangan yang mirip-mirip. Seandainya Anda berada di kota Malang di awal Juni lalu tentu akan ikut terpana sekaligus bangga dapat ambil bagian dalam selebrasi kemenangan dan keberhasilan Arema, klub pujaan tua muda, dewasa anak-anak, laki-laki perempuan, pribumi pendatang, pada Liga Indonesia tahun ini. Adalah konvoi sepeda motor, karnaval dan pentas musik rakyat yang memacetkan jalan-jalan utama hingga tiga hari lamanya, kurang lebih tiga minggu sebelum penduduk Brasil, Slovakia dan Korea Selatan bersuka ria menyambut keberhasilan kesebelasan mereka lolos ke babak 16 besar Piala Dunia.

Kota Malang di masa kolonial terkenal dengan sebutan Paris Van East Java, karena kemolekan alam, tata kota dan arsitekturnya. Namun generasi yang lahir belakangan ragu-ragu atas kesahihan julukan itu. Mereka lebih mengenal Malang sebagai kota mikrolet ( karena menjamurnya jumlah angkot jenis itu di setiap jalur ), kota mall dan ruko ( karena di awal 2000 mall dan ruko tiba-tiba muncul mak bedunduk menggantikan ruang terbuka hijau seperti bangkit dari kubur ), kota banjir ( karena jalan-jalan protokol selalu tergenang air di kala hujan turun lebat ) dan kota panas ( jam 9 pagi panasnya seperti jam 12 siang ). Mustahil ‘kan, bangga menjadi warga sebuah kota dengan julukan-julukan semacam ini.

Kemenangan klub yang didirikan Acub Zaenal dan Dirk Sutrisno pada 11 Agustus 1987 itu membuat mereka tidak menyesal lahir dan dibesarkan di kota Malang. Dan akhirnya bisa menegakkan kepala meski bukan termasuk warga kota metropolis yang berkulit putih, pergi kemana-mana naik mobil mewah, gaya bicara dan pakaian modisnya sering tampil di televisi. Mendadak membangkitkan kembali perasaan bangga, besar dan percaya diri di dalam benak mereka, yang sudah puluhan tahun tenggelam, atau bahkan belum pernah lahir sama sekali.
Hiperbola ? Apa sekarang yang bisa kita banggakan dalam nama Indonesia ? Bukannya menafikan arti kecintaan pada tanah air dan bangsa. Haruskah kita berbangga hati atas peringkat 3 besar korupsi se-Asia, 10 besar sedunia, tercepat dalam menggersangkan hutan, keselamatan kerja buruh migrant dicuekin, dan lain-lain, dan lain sebagainya, dan masih banyak lagi. Seperti kain lap dilemparkan di gudang, terkulai bersama debu dan kotoran di tubuhnya. Anda para orang tua bernasib baik karena tidak lama lagi meninggalkan dunia fana berikut pahit getirnya. Namun, betapa malang para pemuda, tunas kelapa dan taruna yang pasrah dan menyerah kepada ketidakberuntungan dan kebelumberhasilan di usia belia. Apalah artinya darah muda tanpa semangat, kebanggaan dan keinginan membangun masa depan ?

Bangga Atas Nama Citra
Citra yang saya maksud disini bukan merk sejenis alat kosmetika. Bukan pula nama seorang gadis jelita. Penampakan, atau kelihatannya, begitulah makna citra, kurang lebih.. Sesuatu yang kelihatan dan ingin ditunjukkan di luar. Membuat penafsiran dan opini merata mengenai sesuatu, atau seseorang. Supaya orang menyukai, menghormati, mengagumi, menyanjung atau bahkan membenci.. Mutlak dibutuhkan orang-orang yang sedang berusaha membangun kepercayaan publik, klien, konsumen, investor maupun calon mertua. Tidak itu saja, dalam kehidupan sehari-hari orang masih membutuhkan citra guna melindungi mereka dari celaan dan bisik-bisik tetangga, menerbitkan rasa hormat dari bawahan dan kolega, mengundang kepatuhan peserta didik atau warga Negara biasa, dan tentu saja simpati lawan jenis.
Tidak masalah seandainya citra atau imaji itu difungsikan sebagai stimulus, atau semacam bensin untuk melaju kencang mewujudkan mimpi-mimpinya. Sebagai cambuk agar tak mudah puas dan lebih berhati-hati berkata, berbuat dan bertindak agar imaji yang dibangun dengan susah payah tidak menjadi muspro, alias sia-sia. Namun, yang sering terjadi adalah, kepuasan dini, kadang-kadang sedikit narsis, cenderung dialami mereka yang menderita ketergantungan terhadap citra.

Manakala dihadapkan pada perbedaan yang amat besar antara angan-angan dan kenyataan, orang cenderung akan memilih potong kompas untuk bertindak dan atau menganalisa permasalahan. Konon kabarnya orang-orang yang tidak beruntung telah tersesat dan memilih kriminalitas sebagai jalan keluar. Namun segolongan lain lebih tidak beruntung. Mereka tahu sedang bermimpi, namun dipaksakannya akal sehat menerima dengan bangga dan kepala tegak kejayaan dan kegemilangan dan keanggunan simbol-simbol, seremoni, upacara-upacara, topeng-topeng norma dan kedok-kedok moralitas. Mereka meyakini ke ‘ini aku’-annya telah berhasil memanipulasi lingkungan sekitar dan tak lagi disiksa rasa putus asa. Puas sudah dipercaya, ditakuti dan disanjung orang dengan hanya menelorkan kesan dan seolah-olah, sebelum atau bahkan tanpa tindakan sama sekali.

Membalik Seolah-olah
Masyarakat mensyukuri, bersimpati dan prihatin penetapan status tersangka kepada vokalis tersohor ARL atas beredarnya rekaman mesranya dengan sesama seleb, LM dan CT. Mereka berharap vonis segera dijatuhkan seberat-beratnya, sebagai harga mahal yang wajib dibayar atas perilaku amoral dan merusak generasi muda. Para orang tua, terutama yang memiliki anak gadis, menarik nafas lega, dan menganggap selesailah sudah masalah yang mengganggu tidur mereka siang dan malam. Namun, apakah benar permasalahan kita selesai sampai disini saja ? Apakah memang benar seorang playboy cap sandal jepit pantas mendapat hukuman lebih berat daripada koruptor ? Memang sungguh tak masuk di logika dan sama sekali tak berkonsep jelas manakala seseorang merekam kemesraannya dengan kekasih A sampai Z dengan kamera video. Namun, atas dasar izin siapakah Negara merasa perlu mengatur kapan, dimana dan bagaimana warga negara melampiaskan nafsu syahwatnya ?

Kita ingin menjadi bangsa yang sempurna meraih cita-cita setinggi langit dengan membanggakan keadiluhungan budaya dan kepatuhan kita terhadap perintah agama masing-masing. Dan meyakini bahwa kemerosotan moral dan perilaku adalah penyebab utama Tuhan tidak menurunkan rejeki dan kesejahteraan merata, sebaliknya hujaman bencana alam dan kesulitan hidup pada kita. Lantas, mengapa orang-orang bule yang perilakunya lebih bejat, sangat tidak bersusila dan menjijikkan itu lebih makmur daripada kita ?

Semua tak lepas dari pola pikir nasional kita yang mengagungkan semua kegemerlapan, kebaikan, kesucian perilaku artifisial, alias seolah-olah, alias di mukanya saja. Apakah di kemudian hari benar terbukti suci murni atau berekor serigala atau menohokkan keris di belakangnya, itu urusan nomor ke seribu sekian ratus. Seorang pejabat koruptor yang beberapa kali naik haji seribu kali lebih berharga di mata masyarakat daripada seorang pemuda putus sekolah peminum yang mengamen di jalan untuk memberi makan keluarganya. Seorang raja feudal berselir tujuh yang hidup di istana bergelimang harta benda mutu manikam jauh lebih mulia daripada pria pribumi bertato yang hidup di pedalaman tengah rimba belantara. Seorang diva tersohor berkerudung yang enam kali kawin dan cerai lebih dipuji orang daripada seorang mantan seleb muda yang khilaf dan ditinggalkan pacar yang sudah menghamilinya namun kukuh menolak aborsi dan memutuskan menjadi single parent.

Secara tidak kita sadari pola pikir semacam ini telah memenjarakan kita selamanya. Raga, selama tidak melanggar hukum, bebas bepergian kemana saja. Akan tetapi, pikiran alias isi kepala kita tidak akan bisa melangkah kemana-mana. Stuck, stagnan, tidak berkembang. Menutup pintu untuk segala macam dan bentuk dialog, wacana dan strategi baru. Menyirnakan tanpa bekas jejak rintisan para pendahulu untuk memulai perubahan. Memutus harapan mereka yang selalu berpikiran positif akan tercapainya ketentraman, dan dengan sendirinya tertundalah kesejahteraan hidup.

Mengapa tidak bisa kita kedepankan kejujuran dan ketidakpura-puraan sebagai modal dan langkah awal untuk me-restart perubahan di negeri ini ? Okelah seandainya hal-hal rumit semacam pelurusan sejarah dan penegakan hukum terlampau berat untuk tulang uzur kita. Untuk menghemat waktu dan energi, ada baiknya kita mengubah strategi yang lebih sederhana. Warga asli kota Malang memakai bahasa walikan ( terbalik ) dalam percakapan sehari-hari dengan rekan sebaya. Misalnya, kata singo ( singa ) dibalik menjadi ‘ongis ‘. Edan menjadi ‘ nade ‘, dll. Terminologi walikan itu saya sarankan menjadi bahan pertimbangan kita semua dalam memandang sekaligus menyelesaikan masalah. Masalah A muncul berulang kali. Diatasi dengan berbagai macam cara halus hingga kasar tetap tidak tuntas. Ada apa gerangan ? Siapa yang salah ? Kalau biasanya kita menganggap ‘ mereka ‘ yang bersalah, mari sekarang kita balik arahnya. Bagaimana kalau ternyata kitalah yang salah ?

Begitulah. Kejadian video vulgar semestinya tidak perlu sampai membuat kita kebingungan dan cemas, seandainya sejak dini kita sudah menegaskan dan memperkenalkan secara terbuka permasalahan hubungan intim dan dunia orang dewasa berikut segala dampaknya kepada putra putri kita. Lagipula, menjadi orang tua dan ubanan bukan berarti kita harus jadul, apalagi gaptek. Kenalilah dunia anak-anak dan remaja itu supaya kita bisa memahami jalan pikiran, keinginan dan kenakalan mereka.

FIRST WARNING

Thursday, May 20, 2010

NOSTALGILA MEI 1998

Wednesday, May 19, 2010


Mei 1998 dalam ingatan sebagian orang adalah legenda yang tragis, irasional, gila, mencekam dan menguras air mata. Berapa usia Anda  15, 17, 20 tahun ? Bersyukurlah mereka yang berusia muda saat itu. Hanya di tahun itu bolos sekolah atau kuliah disunahkan. Tiada hari tanpa demonstrasi. Berkenalan dengan sesama muda dan mabuk bersama candu darah muda meletup-letup, menghimbau untuk turun ke jalan. Politik tidak mengerikan lagi saat anak-anak muda pemberani meneriakkan unek-uneknya. Sementara para orang tua membiarkan televisi menyala 24 jam, berharap-harap cemas putra putri mereka tidak menjadi korban peluru nyasar. Semacam hiburan miris di hati orang-orang yang hendak beristirahat sejenak dari beban ekonomi yang mencekik kantong dan leher.
            Saat Kakek Yang Mulia mengumumkan pemberhentian dirinya sebagai raja 21 Mei tahun itu, sorak sorai gegap gempita menyambutnya. Ibarat kuda lepas dari kandang, mayoritas penduduk Indonesia saat itu larut dalam eforia. Belenggu 32 tahun usai sudah. Kekhawatiran akan penculikan dan pembunuhan aktivis berakhir. Gembira menyambut datangnya kebebasan yang diimpikan sekian lama. Adalah positive minded dan pengharapan, perubahan akan menyusul segera. Dalam pikiran semua orang, termasuk saya, yang namanya perubahan adalah harga barang kebutuhan pokok menurun drastis, tak ada lagi kemelaratan, kekerasan fisik akan tinggal menjadi cerita, sejarah hitam akan terbuka tabirnya, dsb., dsb.
            Setelah 5, 10 dan 12 tahun kemudian memang ada perubahan. Yaitu : harga bahan pokok yang semakin mahal, pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang kian tak terjangkau, hutan rimba menjadi hutan ruko dan perumahan, perkebunan atau ladang tandus, pengangguran melesat tak terkendali, korupsi dan nafsu berkuasa menjadi legal karena diundang-undangkan, para pekerja kian merana dengan munculnya peraturan outsourcing, penegakan hukum menjadi milik mereka yang berduit, kenaikan rekening tarif listrik dan air susul menyusul, demikian pula masyarakat adat harus bertekuk lutut di bawah kaki pemilik modal, berikut tersingkirnya budaya tradisional dan nilai-nilai kearifan lokal. Lagu-lagu lama kemasan baru yang sama sekali tak merdu  mengiringi pupusnya harapan rakyat akan kehidupan tentram, sejahtera, gemah ripah loh jinawi. 
           
Salah Strategi
            Kekayaan alam berlimpah ruah, iklim yang bersahabat ( kemarau dan hujan, hanya 2 musim. Sementara negara-negara lain dianugerahi 4 musim.  Bahkan ada juga yang satu musim, Antartika misalnya. Musim dingin terus ), penduduk yang ramah tamah dan selalu tersenyum. Kemudahan-kemudahan yang mestinya kita syukuri setiap hari. Namun, sesuatu yang berlebihan tidak akan membawa kebaikan. Begitu pula kekayaan alam di tanah air kita,  adalah mixed blessing karena ( selain mengundang kaum imperialis dan kapitalis mengeruknya dengan cara-cara halus maupun kasar ) semua itu juga memupuk kemalasan, keputusasaan,  kemanjaan dan keminderan kita dalam bersaing dan berjuang, baik di arena pasar bebas maupun olah raga.
            Para aktivis 1998 mungkin lupa bahwa mereka tidak akan selamanya menantang pemerintah dengan turun ke jalan. Ada kehidupan pribadi, skripsi, kewajiban menafkahi anak istri serta memenuhi harapan orang tua yang sudah mengucurkan subsidi sekian rupiah untuk sekolah mereka. Saat kewajiban-kewajiban itu memanggil, segera mereka beranjak dari jalanan, tanpa pesan dan warisan, selain pekerjaan rumah reformasi yang belum selesai.
            Kaum muda pergerakan yang masih kritis dan menyimpan sisa-sisa tenaga memang tidak apatis dan berpangku tangan.  Musuh baru mereka adalah pembatasan masa studi dan pencabutan subsidi pendidikan, yang sukses  gemilang melenyapkan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dari otak mahasiswa-mahasiswa muda. Sebaliknya, mereka malah membuka mata dan telinga lebar-lebar kepada kemilau hedonisme dan konsumerisme yang sengaja digelontorkan oleh industri secara besar-besaran. Sebagian mahasiswa ‘ baik-baik ‘ yang tak terpengaruh dugem terkotak-kotak dalam visi dan misinya sendiri-sendiri. Aktivis kanan ogah dekat-dekat aktivis kiri. Larut dalam debat kusir tanpa akhir mana yang lebih dulu, kodok atau telur kodok. Mencari kemenangan di medan perang ideologi, dan tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya memiliki tujuan yang sama. Semakin mengucilkan mereka jauh dari rakyat yang dahulu mereka perjuangkan nasibnya, karena kerusuhan dan kontak fisik yang mewarnai beberapa aksi unjuk rasa, entah sengaja atau tidak,  di-blow up  oleh media. Ujung-ujungnya mengikis simpati masyarakat kepada mahasiswa sedikit demi sedikit.

 Lawan Jadi Kawan
Di seluruh Negara penjuru dunia dan dalam kurun waktu yang mungkin akan selamanya, yang namanya pemerintah/ penguasa tidak akan dengan sabar hati mengalah dan menuruti semua suara hati dan keinginan rakyatnya. Meskipun akhirnya mengiyakan, itu pun tidak gratis dan selalu ada syarat tersembul di belakangnya. Bukan mereka tidak mengerti atau menderita amnesia temporer akan kewajiban menyejahterakan rakyatnya. Melainkan jatuhnya imej dan kewibawaan, dan rentetan permintaan-permintaan kita yang selanjutnyalah yang mereka takutkan.
Okelah kita berpikir positif dengan beranggapan tidak semua penguasa itu haus darah dan uang dan kekuasaan. Mungkin di awal masa jabatannya semua pemimpin bercita-cita luhur membawa bangsa ini ke arah kemajuan.  Pedih hati mereka melihat penderitaan rakyat, dan terpanggil untuk menegakkan kebenaran. Saat terjun ke dunia politik mereka terperangah dan mendapati dirinya melawan arus. Alih-alih merombak sistem, mereka menanggalkan idealisme dan kembali memakai sistem, doktrin dan tata cara lama untuk menjalankan tugas. Jadilah pergantian presiden demi presiden nyaris tak ada perubahan berarti. Meskipun para ahli statistik bersepakat mengatakan angka kemiskinan dan pengangguran menurun, kenyataan di lapangan adalah berbeda 180 derajat. Bagaimana mungkin perubahan akan tercapai sementara kaidah-kaidah peninggalan rezim terdahulu  dipertahankan ? Seperti jalan-jalan menuju Roma menunggang onta, kapan sampainya…
            Daripada menambah dosa dengan memposisikan penguasa sebagai musuh bebuyutan, mari kita coba strategi baru dengan menempatkan mereka sebagai partner alias mitra kerja. Tugas penguasa adalah memimpin, itu sudah  dipahami, diketahui dan dihafalkan bersama. Karena yang dipimpin ini adalah sekumpulan manusia dan bukannya monyet atau anjing, maka bisa bersuara, berpikir dan melawan. Manusia ngeyel dan mengatakan tidak bukan karena mereka tidak senang atau benci kepada sesosok figur A, B, C atau M. Karena pernah makan sekolahan, maka punya kesadaran tinggi dan penuh tentang bagaimana seharusnya mereka dipimpin dan diarahkan. Indoktrinasi bisa dan pernah berhasil. Tapi sampai kapan manusia akan menerima nasib melulu dibodohi ? Doktrin bisa saja gagal total apabila Sang Tukang Doktrin tidak konsisten dengan janji-janji mereka. Akankah bertahan demi mengukuhkan keakuan otoritas dan menghabiskan waktu untuk menghipnotis, menyeragamkan, membuat peraturan demi peraturan, menebar pesona melalui seremoni-seremoni belaka ?
            Berikanlah kepada rakyat apa yang mereka butuhkan. Keamanan dan stabilitas ? Bukan. Kalau perut orang sudah tidak ada yang kelaparan maka yang namanya keamanan adalah ekornya, Bos. Mudah kan ?
           

MENUNGGUI RUANG TUNGGU

Saturday, April 17, 2010



Pernahkah Anda menghitung, berapa kali dalam sehari Anda dipaksa untuk diam sejenak, namun bukan untuk istirahat. Untuk tidak melakukan apa-apa, tapi bukan untuk berhenti. Disuruh tidak memikirkan apa-apa, tapi otak tidak boleh tidur. Diikat pada kebekuan sesaat seperti seabad, yang namanya menunggu ?

Antrean panjang pom bensin, antrean para pensiunan mengambil bayaran di bank atau kantor pos, menunggu lampu hijau di perempatan jalan, menunggu usainya jam kantor/ kuliah/ sekolah, menunggu air mendidih, menunggu tempe matang digoreng, menunggu suami dan anak pulang, menunggu datangnya tanggal gajian, menunggu giliran membayar di kasir, antrean panjang para pelanggan listrik di PLN, menunggu loading Facebook di hari Minggu, menunggu selesainya iklan di tengah-tengah berita markus palsu, menunggu satu putaran gelas anggur berikut , menunggu, menunggu, menunggu …

Ia menguras habis tenaga, kita tidak pernah tahu dengan persis dalam hitungan menit ke berapa akan berakhir. Ada beberapa antrian yang diberi nomer urut supaya para penunggu yang kurang disiplin tidak berebut berdesakan. Tapi apakah waktu yang dihabiskan untuk melayani satu orang dan lainnya itu sama persis, sehingga para penunggu bisa tahu pasti pada detik ke berapa tibanya giliran mereka ? Posisi dan lokasi ruang tunggu sudah dibuat senyaman mungkin, sofa dan kursi empuk plus pendingin udara. Ada yang dilengkapi dengan air minum gratis, majalah-majalah kuno atau surat kabar terbaru. Tetap saja para penunggu merasa gerah, kelelahan dan frustasi. Satu detik seperti seminggu. Satu menit seperti setahun. Satu jam seperti sepuluh tahun.

Jeda koma panjang tanpa mengetahui kapan akan menemui titik di ujung jalan. Di tengah kebosanan menunggu, kadang muncul rasa was-was, akankah mendapat seperti yang sudah kita inginkan selama ini. Bagaimana kalau yang kita tunggu ternyata bom waktu yang setiap saat siap meledakkan diri kita berkeping-keping ? Bagaimana kalau ternyata bom waktu itu bukan hanya satu ? Apakah rela kita mati di dalam ruang tunggu ini, dan belum merasakan sedikitpun buah dari penantian kita ? Padahal bukan kita pelopor penyemai bom waktu. Karena kita bukanlah orang penting, pejabat, anggota dewan, apalagi presiden, hanyalah penunggu di depan layar televisi sembari berharap tidak ada lagi bom waktu keluar dari situ. Namun apa daya, satu demi satu bom waktu telah dan masih akan meledak. Kita melihatnya di dalam Mbah Priuk, koin Prita M., Munir, Ahmad Tajudin ( petugas Pol PP yang diduga tewas dimassa ), Mei 98, Sambas, Petrus, September 65-66, Century, Santa Cruz, DOM Aceh-Papua, Boneks,… tinggal pilih !

Sabar Menanti
Tak seorang manusia pun di masa kecilnya bercita-cita menjadi kaum frustasi, pengidap depresi, atau penggemar klub bunuh diri massal. Boleh saja Anda berpendapat mereka kurang keras memelihara kesabaran, menafikan ketangguhan proses dan terperangkap kehalusan artifisial ( permukaan ) yang menutupi kekerasan di dasar jurang. Terhipnotis sinetron, iklan dan ilusi tentang kesejahteraan, kebahagiaan dan harga diri yang diciptakan oleh pemilik modal dalam rangka mengenyangkan perut segolongan orang fasis nan kapitalis. Lama-lama orang-orang kecil ini merasa tertipu, lalu kecewa membuat pilihan keliru, lalu menyalahkan diri sendiri yang bebal, lalu melukai tubuh dengan kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup yang jauh dari sehat.

Namun bukan berarti tertutup sama sekali pintu harapan bagi mereka yang menolak menjadi penunggu setia di semua ruang tunggu manapun di muka Bumi. Akan tiba saatnya manusia menyadari bahwa ketentraman tidak bisa dibeli, apalagi diraih dengan melakukan hal-hal yang mencederai hati atau perasaan mereka sendiri. Untuk yang satu ini pun memakan beberapa waktu, dan lagi-lagi kita harus menunggu. Tapi apakah harus duduk terbengong-bengong pasrah ? Tidak juga. Karena untuk menaklukkan waktu yang berkepribadian dua, lambat seperti keong cepat seperti kereta ekspres, membutuhkan energi, resistensi, konsentrasi dan konsistensi tinggi.

Maka kita bekerja supaya bisa membeli bahan makanan bekal energi kita dalam perjalanan mengarungi satu ruang tunggu ke ruang tunggu lainnya. Upgrade sebuah piranti/ system lama dengan piranti/ system baru yang larinya lebih kencang ke tujuan, membawa perenungan kita pada realitas-realitas berikut revelasi-revelasinya, menghadirkan hiburan-hiburan musik dan gaya barat, timur, utara, selatan yang anti mainstream alias trend. Menjalin komunikasi yang hangat, akrab dan bersahabat kepada mereka, sesama penunggu di kanan dan di kiri. Membersihkan lingkungan sekitar sehingga tergerak kecintaan dan kepekaan terhadap alam berikut isinya. Mengingat-ingat kisah di masa lalu, berikut kejayaan dan masa tenggelamnya kemudian menyimpulkan dengan tepat dan akurat nilai-nilai mana yang merupakan kebijaksanaan kolektif lokal atau sekedar dogma. Mengharap umur panjang agar bisa menyaksikan wujud akhir perubahan yang sedang kita rintis.

Sebelum bom waktu meledak kita masih punya sedikit waktu, yang bisa kita atur dengan bijaksana untuk mencari cara dan daya upaya untuk menjinakkan bom waktu ini. Dia adalah bom waktu, seperangkat alat bikinan manusia, yang semestinya bisa dijinakkan oleh manusia juga. Gumpalan penolakan-penolakan, bisa dihancurkan oleh penerimaan-penerimaan, yang cukup ditanam dengan sedikit mengalah untuk menang. Kejujuran bisa saja sangat menghancurkan, namun demikian kita tak akan pernah menyesal karena ada ketentraman menunggu di akhir cerita.

KETAHANAN SIPIL

Friday, April 2, 2010

Revolt against destiny ( Bad Religion )

Mari kita coba menghitung, dengan uang sepuluh ribu rupiah, apa saja yang dapat kita beli dalam satu hari. Beras 1 kg 7 ribu, gula ¼ kg 4 ribu, uang jajan anak-anak ?, uang belanja ?, uang sumbangan RT ?, uang arisan ?, uang cicilan sepeda motor ?...
Di sela-sela keruwetan otak itu, apa hiburan kita ? Beruntunglah mereka yang tidak atau berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap rokok. Meski dianalogikan sama dengan membakar uang, buat sebagian orang merokok adalah teman di kala badan sudah kelelahan menolak untuk digerakkan, menemani otak yang berjalan-jalan mengembara mencari lubang-lubang penghasil uang entah kemana.
Pihak-pihak yang memutuskan rokok tidak baik untuk kesehatan itu mengatakan, rokok atau membeli rokok juga akan menambah kemiskinan, sekaligus cerminan tiadanya kasih sayang dan penghargaan terhadap diri sendiri. Bahkan seorang ahli motivasi kondang pernah menandaskan, perempuan perokok tidak layak untuk dinikahi. Sayangnya oknum-oknum di atas bukanlah pecinta sepak bola lokal, yang tanpa sponsor dari pabrik-pabrik rokok tidak akan seheboh sekarang. Mereka juga tidak punya anak, sepupu atau keponakan berprestasi yang mendapat beasiswa pendidikan dari pabrik rokok. Mereka sudah terlalu nyaman di dalam rumah mewah, mobil mewah dan posisi mewah, sehingga tidak menghitung, atau mungkin lupa, ada ratusan ribu pekerja yang memberi makan keluarganya dengan bekerja sebagai buruh pabrik rokok.
Kita adalah manusia, yang by accident dilahirkan dan dibesarkan di sebuah Negara yang bernama Indonesia ini. Kita lahir membawa hak-hak yang harus kita dapatkan entah bagaimana dan kapan. Sekaligus diikat dengan kewajiban-kewajiban yang juga harus kita patuhi tanpa tawar menawar. Buku pelajaran PPKN telah mendogmakan, laksanakanlah kewajiban terlebih dahulu sebelum menuntut hak. Demikianlah seharusnya sikap warga Negara yang baik serta teladan.

Warga Negara Yatim Piatu
Tidak hendak mengeluh atas bertambahnya beban hidup, atau praktek ekonomi biaya tinggi yang harus kita telan mentah-mentah dewasa ini. Kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, pembohongan publik, korupsi, kerusakan alam karena kerakusan manusia, dll., dll… Bagaikan anak yatim piatu, tidak punya orang tua tempat bersandar dan tidak punya saudara tempat berkeluh kesah. Padahal sebuah Negara tanpa keberadaan warga Negara, apakah masih bisa disebut Negara ? Semisal semua warga Negara tua muda, dewasa dan anak-anak tanpa terkecuali mati mendadak karena serangan penyakit atau bencana alam dan meninggalkan seluruh gugusan pulau besar dan kecil Indonesia kosong melompong, apakah sanggup penguasa Negara mengatur semuanya sendiri saja ? Bisakah sang majikan yang biasa duduk santai menunggu uang datang mengerjakan pekerjaan kasar para pembantunya ?
JF. Kennedy mengatakan ‘ jangan tanyakan apa yang sudah diberikan Negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang sudah kau berikan kepada Negara ‘. Sir, kami sudah berikan kepatuhan kami kepada Negara. BBM naik sekian, listrik naik sekian, beras, gula, minyak, sabun, dll naik sekian tetap menerima dengan lapang dada. Ada protes kecil-kecil itu pun hanya sebagian kecil yang sudah tak kuat menahan amarah. Korban bencana alam tidak ditangani tuntas dan terkatung-katung kleleran bertahun-tahun, tidak apa-apa. Ada yang mengancam mau mendirikan Negara sendiri, pelan-pelan melunak dan bergabung kembali dengan Jakarta, Timor Leste sebagai pengecualiannya, tentu saja. Singkatnya, seharusnya Negara bersyukur memiliki warga Negara sebaik dan setabah kita, meski kadang sedikit bebal dan tidak tahu aturan. Dan seyuogyanya membalas kepatuhan kita itu dengan kebijakan-kebijakan plus tindakan-tindakan yang 99,9% berpihak kepada kemakmuran rakyat.

Pertahanan
Lalu, apa yang tersisa pada kita di tengah gempuran tekanan dan beban hidup yang menggila ini ? Dulu memang tanah air kita ini kaya raya dengan hasil alam, pertanian dan rempah-rempah. Memang sangat menguntungkan dari segi ekonomi. Namun mental kita menjadi lemah, karena tak perlu bersusah payah mengisi perut. Mau makan ikan tinggal mancing, makan daging rusa tinggal pasang jerat, mau makan sayur tinggal ambil di pelataran rumah. Ambil, ambil, ambil … Mari kita persalahkan diri sendiri karena menguasai sedikit sekali pengetahuan untuk menghemat dan memenej sumber daya kita. Semua makhluk hidup di dalam siklus yang senantiasa berputar. Apa yang dulu hidup, suatu saat mati. Apa yang dulu di atas, sekarang di bawah. Siapa yang dulunya kaya, bisa saja menjadi papa. Apa yang dulunya berlimpah lama-lama habis.
Sebagian orang mempercayai kiamat, bencana alam dan atau revolusi sebagai jalan keluar mengakhiri semua permasalahan global maupun nasional. Sekilas seperti hendak membunuh diri sendiri, dengan meminjam tangan Waktu untuk melakukannya. Saya tidak menyalahkan mereka yang meyakininya. Apa boleh buat, ketahanan dalam diri setiap orang berbeda-beda ketebalannya. Maka sudah menjadi tugas kitalah, yang masih sanggup menegakkan kepala ini, untuk membangkitkan semangat untuk bertahan itu kepada mereka yang membutuhkan.
Yakinlah bahwa kita, warga Negara keras kepala ini, adalah orang-orang kuat dibandingkan sesama kita di Negara-negara lain. Coba hitung saja, sudah berapa puluh tahun terlewat semenjak kedatangan krisis ekonomi 1997 lalu ? Di kala Negara-negara Eropa dan Amerika kelimpungan didera krisis finansial global dan para ahli meyakinkan dengan susah payah bahwa imbasnya tidak akan sampai kemari, masih bisa kita duduk merokok berkata ‘ krisis yang mana, Gan…‘ Boleh-boleh saja orang mengatakan bangsa kita bermental tempe : lemah, bodoh, norak dan jorok. Tapi ingat lho, justru karena makan tempe maka sebagian dari kita bisa menjaga perut dari rasa lapar. Orang bisa disebut pandai setelah merasakan pahitnya menjadi orang bodoh. Karena tidak pernah menjadi lemah, maka seseorang tidak akan bisa menghargai yang namanya kekuatan. Benar kita menghirup udara di abad instant, yang dipenuhi perangkat untuk memutus jeda waktu. Namun, sebelum ada Pentium 4 ada yang namanya Pentium 1. Sebelum menjelma super canggih ternyata si perangkat teknologi pun harus melewati babak demi tahap. Jadi siapa bilang proses tidak penting, yang penting hasil akhir ?
Instead of meneriaki Negara atas kurang beruntungnya nasib, dan toh kita masih selalu akan melawan tembok yang sama, lebih baik kita gulung saja lembaran suram ini dengan tangan kita sendiri. Sejarah menulis dan mendokumentasikan kenyataan bahwa manusia sudah berhasil memapankan diri sendiri dan beranak pinak selama berpuluh tahun sebelum berdirinya Negara. Ratusan tahun yang lalu nenek moyang kita berjaya meski tanpa diurusi Negara. Namun dalam perkembangannya manusia dibikin manja oleh bujuk rayuan Negara. Saya tidak menentang eksistensi Negara. Namun, mengapa dia selalu gagal memenuhi kewajibannya pada kita ?
Anda semua adalah manusia-manusia berharga yang, meski kekurangan kasih sayang dari Negara, masih bisa hidup, berkarya dan bekerja. Maka, biarkan saja Negara tercekik dengan masalah-masalah yang disemainya sendiri. Mari kita duduk manis di depan siaran berita televisi dan menertawakan dia. Hahaha….