KETAHANAN SIPIL

Friday, April 2, 2010

Revolt against destiny ( Bad Religion )

Mari kita coba menghitung, dengan uang sepuluh ribu rupiah, apa saja yang dapat kita beli dalam satu hari. Beras 1 kg 7 ribu, gula ¼ kg 4 ribu, uang jajan anak-anak ?, uang belanja ?, uang sumbangan RT ?, uang arisan ?, uang cicilan sepeda motor ?...
Di sela-sela keruwetan otak itu, apa hiburan kita ? Beruntunglah mereka yang tidak atau berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap rokok. Meski dianalogikan sama dengan membakar uang, buat sebagian orang merokok adalah teman di kala badan sudah kelelahan menolak untuk digerakkan, menemani otak yang berjalan-jalan mengembara mencari lubang-lubang penghasil uang entah kemana.
Pihak-pihak yang memutuskan rokok tidak baik untuk kesehatan itu mengatakan, rokok atau membeli rokok juga akan menambah kemiskinan, sekaligus cerminan tiadanya kasih sayang dan penghargaan terhadap diri sendiri. Bahkan seorang ahli motivasi kondang pernah menandaskan, perempuan perokok tidak layak untuk dinikahi. Sayangnya oknum-oknum di atas bukanlah pecinta sepak bola lokal, yang tanpa sponsor dari pabrik-pabrik rokok tidak akan seheboh sekarang. Mereka juga tidak punya anak, sepupu atau keponakan berprestasi yang mendapat beasiswa pendidikan dari pabrik rokok. Mereka sudah terlalu nyaman di dalam rumah mewah, mobil mewah dan posisi mewah, sehingga tidak menghitung, atau mungkin lupa, ada ratusan ribu pekerja yang memberi makan keluarganya dengan bekerja sebagai buruh pabrik rokok.
Kita adalah manusia, yang by accident dilahirkan dan dibesarkan di sebuah Negara yang bernama Indonesia ini. Kita lahir membawa hak-hak yang harus kita dapatkan entah bagaimana dan kapan. Sekaligus diikat dengan kewajiban-kewajiban yang juga harus kita patuhi tanpa tawar menawar. Buku pelajaran PPKN telah mendogmakan, laksanakanlah kewajiban terlebih dahulu sebelum menuntut hak. Demikianlah seharusnya sikap warga Negara yang baik serta teladan.

Warga Negara Yatim Piatu
Tidak hendak mengeluh atas bertambahnya beban hidup, atau praktek ekonomi biaya tinggi yang harus kita telan mentah-mentah dewasa ini. Kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, pembohongan publik, korupsi, kerusakan alam karena kerakusan manusia, dll., dll… Bagaikan anak yatim piatu, tidak punya orang tua tempat bersandar dan tidak punya saudara tempat berkeluh kesah. Padahal sebuah Negara tanpa keberadaan warga Negara, apakah masih bisa disebut Negara ? Semisal semua warga Negara tua muda, dewasa dan anak-anak tanpa terkecuali mati mendadak karena serangan penyakit atau bencana alam dan meninggalkan seluruh gugusan pulau besar dan kecil Indonesia kosong melompong, apakah sanggup penguasa Negara mengatur semuanya sendiri saja ? Bisakah sang majikan yang biasa duduk santai menunggu uang datang mengerjakan pekerjaan kasar para pembantunya ?
JF. Kennedy mengatakan ‘ jangan tanyakan apa yang sudah diberikan Negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang sudah kau berikan kepada Negara ‘. Sir, kami sudah berikan kepatuhan kami kepada Negara. BBM naik sekian, listrik naik sekian, beras, gula, minyak, sabun, dll naik sekian tetap menerima dengan lapang dada. Ada protes kecil-kecil itu pun hanya sebagian kecil yang sudah tak kuat menahan amarah. Korban bencana alam tidak ditangani tuntas dan terkatung-katung kleleran bertahun-tahun, tidak apa-apa. Ada yang mengancam mau mendirikan Negara sendiri, pelan-pelan melunak dan bergabung kembali dengan Jakarta, Timor Leste sebagai pengecualiannya, tentu saja. Singkatnya, seharusnya Negara bersyukur memiliki warga Negara sebaik dan setabah kita, meski kadang sedikit bebal dan tidak tahu aturan. Dan seyuogyanya membalas kepatuhan kita itu dengan kebijakan-kebijakan plus tindakan-tindakan yang 99,9% berpihak kepada kemakmuran rakyat.

Pertahanan
Lalu, apa yang tersisa pada kita di tengah gempuran tekanan dan beban hidup yang menggila ini ? Dulu memang tanah air kita ini kaya raya dengan hasil alam, pertanian dan rempah-rempah. Memang sangat menguntungkan dari segi ekonomi. Namun mental kita menjadi lemah, karena tak perlu bersusah payah mengisi perut. Mau makan ikan tinggal mancing, makan daging rusa tinggal pasang jerat, mau makan sayur tinggal ambil di pelataran rumah. Ambil, ambil, ambil … Mari kita persalahkan diri sendiri karena menguasai sedikit sekali pengetahuan untuk menghemat dan memenej sumber daya kita. Semua makhluk hidup di dalam siklus yang senantiasa berputar. Apa yang dulu hidup, suatu saat mati. Apa yang dulu di atas, sekarang di bawah. Siapa yang dulunya kaya, bisa saja menjadi papa. Apa yang dulunya berlimpah lama-lama habis.
Sebagian orang mempercayai kiamat, bencana alam dan atau revolusi sebagai jalan keluar mengakhiri semua permasalahan global maupun nasional. Sekilas seperti hendak membunuh diri sendiri, dengan meminjam tangan Waktu untuk melakukannya. Saya tidak menyalahkan mereka yang meyakininya. Apa boleh buat, ketahanan dalam diri setiap orang berbeda-beda ketebalannya. Maka sudah menjadi tugas kitalah, yang masih sanggup menegakkan kepala ini, untuk membangkitkan semangat untuk bertahan itu kepada mereka yang membutuhkan.
Yakinlah bahwa kita, warga Negara keras kepala ini, adalah orang-orang kuat dibandingkan sesama kita di Negara-negara lain. Coba hitung saja, sudah berapa puluh tahun terlewat semenjak kedatangan krisis ekonomi 1997 lalu ? Di kala Negara-negara Eropa dan Amerika kelimpungan didera krisis finansial global dan para ahli meyakinkan dengan susah payah bahwa imbasnya tidak akan sampai kemari, masih bisa kita duduk merokok berkata ‘ krisis yang mana, Gan…‘ Boleh-boleh saja orang mengatakan bangsa kita bermental tempe : lemah, bodoh, norak dan jorok. Tapi ingat lho, justru karena makan tempe maka sebagian dari kita bisa menjaga perut dari rasa lapar. Orang bisa disebut pandai setelah merasakan pahitnya menjadi orang bodoh. Karena tidak pernah menjadi lemah, maka seseorang tidak akan bisa menghargai yang namanya kekuatan. Benar kita menghirup udara di abad instant, yang dipenuhi perangkat untuk memutus jeda waktu. Namun, sebelum ada Pentium 4 ada yang namanya Pentium 1. Sebelum menjelma super canggih ternyata si perangkat teknologi pun harus melewati babak demi tahap. Jadi siapa bilang proses tidak penting, yang penting hasil akhir ?
Instead of meneriaki Negara atas kurang beruntungnya nasib, dan toh kita masih selalu akan melawan tembok yang sama, lebih baik kita gulung saja lembaran suram ini dengan tangan kita sendiri. Sejarah menulis dan mendokumentasikan kenyataan bahwa manusia sudah berhasil memapankan diri sendiri dan beranak pinak selama berpuluh tahun sebelum berdirinya Negara. Ratusan tahun yang lalu nenek moyang kita berjaya meski tanpa diurusi Negara. Namun dalam perkembangannya manusia dibikin manja oleh bujuk rayuan Negara. Saya tidak menentang eksistensi Negara. Namun, mengapa dia selalu gagal memenuhi kewajibannya pada kita ?
Anda semua adalah manusia-manusia berharga yang, meski kekurangan kasih sayang dari Negara, masih bisa hidup, berkarya dan bekerja. Maka, biarkan saja Negara tercekik dengan masalah-masalah yang disemainya sendiri. Mari kita duduk manis di depan siaran berita televisi dan menertawakan dia. Hahaha….

0 comments:

Post a Comment