ADU NASIB

Wednesday, April 13, 2011

“ Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri “ ( QS Ar-Ra'd 13 : 11 )

Zaman ini dari hari ke hari makin ajaib. Untuk bertahan hidup kita tak cukup mengandalkan kekokohan pribadi, ilmu pengetahuan dan teknologi, makanan bergizi, moral dan keimanan setinggi langit, dan, terakhir, ilmu kebal. Ilmu kebal ? Ya, ilmu kebal alias anti terhadap serangan apa saja. Kebal senjata tajam, kebal santet, kebal pelet, kebal api dan kalau bisa kebal hukum sekalian. Agar Anda bisa menjadi despot tersukses, dan meraih segala keinginan dengan banyak perang kata-kata, hujan air ludah dan sedikit kerja keras. Para penonton di pinggir lapangan bertanya-tanya, di perguruan silat manakah sang pendekar mendapatkan ilmu kebal semandraguna itu ? Kalau muridnya saja sudah sehebat ini, apa jadinya jika sang guru turun gunung dan mengobrak-abrik rimba persilatan dengan ilmu kebal versinya yang lebih

Toh demikian, masih ada satu jenis ilmu kebal yang belum dikuasai sang master, yaitu ilmu kebal malu alias rai gedhek. Berhubung master silat kita ini ternyata masih keturunan Jawa, yang tersohor sebagai pejuang wibawa dan harga diri a.k.a gengsi, beliau lebih memilih berkelit kesana-kemari ketimbang mengakui kesalahan. Lebih mudah melempar batu kesalahan kepada bawahan daripada menundukkan tubuh dalam-dalam dan mengundurkan diri secara terhormat ala samurai Jepang. Orde Baru memang sudah lama tumpas. Hanya jejak kakinya sulit dihapus waktu. Orang-orangnya memang sudah dihakimi ajal. Namun doktrin-doktrin mereka masih tertanam subur di benak dan sel-sel kelabu otak kita.

Di masa 80-an para orang tua anak gadis tak rela anaknya dinikahi lelaki biasa-biasa saja. Mereka menginginkan calon menantu dari golongan menengah atas yang bisa dipamerkan ke kolega-koleganya atau di ajang arisan keluarga. Para gadis era 80-an itu kini sudah menjelma jadi ibu-ibu perumahan yang selalu punya waktu luang untuk bergosip di pagi hari, menyelidiki siapa tetangga yang baru beli sepeda motor atau berapa jumlah ponsel yang dimiliki si F. Nah, karena semasa muda sudah didoktrin untuk mendahulukan penampakan luar, maka mereka pun ogah ketinggalan dan kalah bersaing dengan tonggo teparo ( tetangga sebelah menyebelah ) nya yang notabene adalah orang-orang asing yang tinggal dan mengetahui secara terperinci polah tingkahnya sehari-hari. Maka para bapak perumahan adalah korban kekerasan dalam rumah tangga di saat mereka tak berkutik terhadap rengekan kaum ibu yang menginginkan barang-barang tersier. Tak ada pilihan lain, berhutang adalah jalan keluar satu-satunya supaya bisa tetap makan nasi, isi bensin dan kontinuitas uang jajan anak-anak. Pilihan yang mendilematiskan. Mengingat imbas dari berhutang adalah peperangan babak dua selepas pulang kantor : tawar menawar dengan para  debt collector alias penagih utang.

Awal yang Bahagia
Buah jatuh dari pohon tidak akan jauh berbeda dari bibit yang sudah ditanam berpuluh tahun sebelumnya. Itu juga kalau si pohon beruntung tidak kena penyakit, digusur proyek real estate atau kena pelebaran jalan, lolos dari kebakaran hutan, dan cukup kokoh untuk di K.O tsunami. Pada saat sebutir bibit dikubur di tanah, para penanamnya dianjurkan bertafakur mengucapkan doa. Karena dalam kegelapan under ground bibit kecil itu memulai perjalanannya, sendirian. Dalam genggaman Waktu ia berserah diri, kapan dan jam berapa tunasnya boleh memulai mengaktualisasikan eksistensinya. Saatnya kualitas bibit itu mengambil alih kendali. Cukup cerdikkah ia untuk memilah, memilih dan memutuskan cara, metode, jalan mana yang ditempuhnya untuk merambat ke atas mentransformasikan diri sebagai tumbuhan baru gede.

Pada babak ini Anda memerlukan sedikit kerja keras dalam rangka mempraktekkan segala ilmu, pengetahuan, ajaran agama, kepercayaan dan nasehat orang tua yang sekian puluh tahun dijejalkan bulat-bulat. Juga, adalah ajang  trial and error untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri kesahihan teori-teori serta doktrin-doktrin tersebut. Jikalau Anda tak sempat meraih gelar sarjana di perguruan tinggi ternama, masih ada sebuah kampus kehidupan lain yang menerima Anda dengan tangan terbuka. Anda tak perlu khawatir adanya kenaikan SPP maupun SKS, karena disini semuanya tinggal ambil. Anda tinggal memikirkan bagaimana agar kaki tidak keliru mengambil langkah. Karena tiap jalan yang Anda pilih menuntut pembayaran tunai yang disebut konsekuensi.

Sepanjang hayat kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dan Anda bebas pergi jika jalan pilihan Anda itu ternyata keliru, atau terhalang galian kabel telepon di tengah-tengahnya. Ketika memutar arah, terbitlah penyesalan : membuang waktu demi menempuh jalan buntu. Namun kiamat ( mungkin ) masih jauh dan selagi masih mampu bernafas dan bercinta hidup belumlah berakhir. Mari merunut ke titik awal sebelum kita melangkah. Disini kompas kita rusak, dan tak seorangpun yang bisa dimintakan nasehat dan petunjuknya musti lewat jalan yang mana lagi kita lanjutkan perjalanan. Maka beristirahatlah sambil minum secangkir kopi, Kisanak. Karena sebagian besar dari kita tak dikaruniai kemampuan untuk meramal nasib, maka tak ada salahnya kita manfaatkan rehat minum kopi tersebut untuk menganalisis possibilities dan probabilities, segala kemungkinan terbaik maupun terburuk. Oya, sambil meningkatkan abilities ( kemampuan ) kuatnya kaki kita untuk melangkah tentunya.

Who Dare Lose ?
Bekal sudah cukup, badan sudah bugar, amunisi full loaded. Nah, apalagi yang kurang ? Sekarang kita siap dan lebih siap lagi untuk menaklukkan medan perang. Siap untuk menjelajah jalan tol berlubang berkerikil tajam-tajam, menyusuri kedalaman jurang, melayari lautan tenang yang menyembunyikan rapat-rapat tsunami di dasarnya, gunung-gunung tinggi yang memelihara api di dalam perutnya, dan menjelajahi hutan rimba yang masih dikuasai para raja berhati singa, harimau, onta maupun buaya.

Memang benar dalam peperangan abadi sampai mati ini kita tidak sedang melawan siapa-siapa selain diri kita sendiri. Sudah kuat atau masih lemahkah kita untuk memandang lurus ke depan, dan bukannya mendongak ke atas untuk mengagumi kesuksesan orang-orang mapan, atau menoleh ke samping untuk menggosipkan nasib sial para tetangga, atau menelusuri ke bawah untuk mengasihani kemalangan para tak berpunya, atau menengok ke belakang untuk sibuk bernostalgia mengenangkan kejayaan masa lalu. Lamanya perjalanan tiba ke tujuan memang membosankan kalau kita hanya duduk diam menanti Tuhan mengganti nasib lama kita dengan yang baru. Kebosanan pun bisa membunuh karena berpotensi mengalihkan fokus seseorang kepada hal-hal pengisi waktu luang yang sekilas gemerlapan, dan merayu kita untuk sebentar-sebentar beristirahat. Salah ? Tidak juga. Karena sifat alami manusia adalah fleksibel, rindu kedinamisan dan kebaruan, meski sebatas penampakan luar. Dan disertai dengan sebersit angan-angan, seolah-olah nasib mereka berubah ketika mereka berganti mode pakaian dan tipe ponsel paling mutakhir.

Tiada seorangpun di dunia ini bercita-cita jadi pecundang yang kenyang kekalah.an Tetapi mustahil rasanya semua manusia jadi pemenang. Bukankah karena ada kekalahan jugalah naka kemenangan jadi terasa sangat berarti ? Bukankah karena adanya hitam maka putih jadi nampak berkilauan bahkan dalam temaram ? Dunia sejak zaman baheula selalu terbentuk dan terdiri dari kontradiksi-kontradiksi dua sisi mata uang logam yang tak pernah akur. Mereka ibarat Kurusetra Pandawa-Kurawa, saling berebut untuk tampil ke muka. Dan sama-sama tidak sadar sedang rebutan ( saling berebut ) menanggung konsekuensi. Syukurilah jika kekalahan ternyata masih betah menjadi milik Anda. Karena konsekuensinya ‘cuma’ bekerja dan berikhtiar lebih keras lagi. Siapa bilang konsekuensi pemenang enak-enakan, titik ? Contoh : Kesebelasan Prancis boleh menepuk dada keras-keras tatkala berhasil mengangkat Piala Dunia tahun 1998. Mungkin kemenangan yang tak diramalkan para pengamat sepak bola telah membuat mereka lupa daratan dan lautan. Apa mau dikata, kegemilangan itu tak terulang lagi di dua kali perhelatan Piala Dunia sesudahnya. ( tahun 2002 dan 2010 ). Tim Prancis gagal lolos babak penyisihan. Mereka terpaksa menanggung malu besar-besaran baik di luar, maupun di rumah sendiri.

Maka, ingat dan waspadalah selalu, apapun dan dimanapun posisi Anda saat ini. Entah Anda sedang di atas mengangkat bendera kejayaan, ataupun sedang merangkak bersimbah darah untuk bertahan hidup.

Hidup-mati, susah-senang,menang-kalah sama saja.
Tak ada yang abadi ‘kan ? ( by : dm.swastantika )