PILIHAN

Thursday, August 12, 2010

PERTANYAAN-PERTANYAAN PASCA LIBERTY, EQUALITY,FRATERNI TY

Monday, August 2, 2010

14 Juli lalu genap 211 tahun sudah Revolusi Prancis diperingati sebagai tonggak yang menginspirasi perjuangan melawan imperialisme di benua Amerika, Afrika dan Asia. Pekik Liberty, Equality, Fratenity ( Kemerdekaan, Kesetaraan, Persaudaraan ) telah dua abad lebih menggema hingga ke pelosok muka bumi. Harapan untuk perubahan social, ekonomi, budaya dan segala aspek kehidupan tumbuh dewasa di belakangnya. Bersamaan dengan itu, adalah teguran dan kritikan penuh kasih sayang dari mereka yang masih setia kepada para penguasa dunia yang sedang terlena dalam pelukan harta untuk mengingat kembali komitmen menegakkan kebenaran dan kesejahteraan seluruh warga.

Bukan berarti mereka masih menginginkan revolusi, kata terlarang yang membikin semua diktator lalim merinding, berdarah-darah membasahi ibu pertiwi masing-masing. Namun kelaparan akibat menurunnya daya beli masyarakat, faktor pemicu gegap gempita Prancis ratusan tahun lampau, masih dijumpai beberapa tempat. Pula, masih ada bom-bom meledak atas nama agama, peluru berdesingan mencacatkan anak-anak tanpa dosa dan agresi militer untuk menyelubungi persaingan tidak sehat memperebutkan sumber daya alam milik tetangga. Sementara para pengusaha berpikir keras bagaimana meraup untung banyak dengan sedikit pengeluaran, para pekerja yang lelah memeras keringat bergantian menuntut perbaikan upah. Apakah memang sudah gawan bayi ataukah takdir, bahwa perjuangan menegakkan kebenaran tiada akan pernah berakhir ?

Kemerdekaan
Kemerdekaan sebenarnya merupakan istilah yang di ‘hiperbola’kan dari kebebasan. Anak buyutnya kebebasan, kurang lebih. Sedangkan kebebasan sendiri mengandung arti semacam perasaan lega, lepas, karena hilangnya tekanan, belenggu, ancaman dan terror. Semacam perasaan ingin terbang melayang di hampa udara. Seupama layang-layang putus, berputar-putar kemana tiupan angin membawa. Ibarat seekor kuda, berlari kemana kakinya ingin pergi. Layaknya ABG, berbuat dan berucap sesuai kehendak hati.

Semua manusia pada awalnya lahir bersama perasaan itu. Manusia lahir tanpa membawa apa-apa, termasuk pakaian yang melekat di badan. Tidak juga beban dosa maupun masalah para orang tua. Suci, murni, polos, kadang sedikit naïf. Keluarga, masyarakat dan Negara bertanggung jawab memberikan pengetahuan kepada si manusia baru bagaimana menjaga, mengarahkan dan menggunakan kebebasannya. Namun di tengah jalan dan di suatu saat dan tempat, mereka pernah mengalami saat-saat dimana kebebasannya terampas dan harga diri sebagai manusia pun terhempas. Dan hanya sedikit sekali diantara mereka yang beruntung menyadari bahwa keterampasan serta keterhempasan itu penyebabnya 90% berasal dari kegagalan di dalam dirinya untuk mengambil alih kendali dan mempertahankan kebebasan.

Mengapa demikian ?

Manusia memang keluar dari rahim bunda bersama kebebasan, hak asasi, absolute freedom, dsb,dst… dan sendirian ( kecuali anak kembar 2, 3, 4, dll. ). Semasa kanak-kanak adalah bapak, ibu, saudara-saudara, kakek, nenek, paman dan bibi menjadi teman yang mengasuh, memberi makan, nasihat, menyekolahkan dan memberi uang jajan. Lalu tibalah masa ketika ia harus melangkahkan kaki ke luar rumah dan mendapatkan kebebasannya, adalah ia dan hanya dia seorang yang berhak dan bertanggung jawab memutuskan segalanya. Kadang-kadang rasa ingin tahu yang terlampau liar memaksanya menyerah mencoba melakukan hal-hal yang dilarang oleh hukum, ajaran agama maupun norma-norma sosial. Saat konsekuensi menagih pembayaran berupa kebebasan yang dimilikinya, barulah ia menyesal mengapa terlambat memutar haluan.

Warga pribumi Indonesia sudah sejak ribuan tahun lampau menjadi pusat pelampiasan iri hati warga belahan dunia lain. Betapa tidak, warga pribumi hidup berkecukupan sandang, pangan, papan, gemah ripah loh jinawi. Malangnya, warga pribumi tidak tahu menahu tentang potensi yang terpendam di dalam tanah dan laut. Sedangkan para raja penguasa tanah pribumi pada saat itu terlampau sibuk berperang memperluas wilayah kekuasaan, bersengketa dengan kerabat-kerabat yang tergiur empuknya kursi istana dan mencari selir-selir baru. Para pedagang, tamu kerajaan yang berkulit putih dan bermata biru melihatnya sebagai kelemahan. Dan karena mereka pada saat itu juga sangat membutuhkan hasil bumi dan sumber daya alam lain yang murah, cepat dan tepat untuk mencukupi kebutuhan dalam negerinya sendiri, maka terjadilah apa yang kita sebut sekarang sebagai penjajahan alias imperialisme.

350 tahun ? Yah, bukannya saya mau menjelek-jelekkan nenek moyang kita yang sudah beristirahat dengan tenang dan merdeka di ‘ dunia ‘nya sendiri, namun, seperti yang sudah saya kemukakan di tulisan terdahulu, keadaan alam yang kaya raya kadang terlampau memanjakan sehingga manusia cenderung lekas berpuas diri dan malas mencari pengetahuan lebih di luar lingkungan yang serba enak. Para pendahulu kita terlambat menyadari bahwa mereka tidak hidup sendirian di luasnya Nusantara. Mereka berjuang sendiri-sendiri bersama golongannya sendiri serta belum memiliki pengetahuan tentang teknologi persenjataan terbaru. Mengira bahwa keris sudah cukup sakti mandraguna, satu demi satu pahlawan lokal menemui ajal di penghujung bedil.

Kesetaraan

Semua manusia, kecuali mereka yang kebetulan mendapat anugerah terselubung berupa cacat fisik, dilahirkan dengan satu kepala, dua tangan dan kaki, dua mata, satu hidung dan satu mulut. Sepintas terlihat sama. Selain nama, apa yang membuat mereka berbeda dan dibedakan antara satu dengan lainnya ? Warna dan jenis rambut ( hitam lurus atau kribo coklat ) ? Warna mata ( biru, hijau, coklat, hitam ) ? Warna kulit ( hitam, coklat, putih, kuning, merah )? Golongan ( atas, menengah, bawah ) ? Asal usul/ leluhur ( bangsawan, rakyat jelata, blasteran antara bangsawan dan rakyat jelata ) ? Pekerjaan ( direktur, manajer, karyawan ) ? Jenis kelamin ( laki-laki, perempuan, setengah laki-laki dan atau setengah perempuan ) ? Umur ( anak-anak, dewasa, lansia ) ? Jumlah materi ( kaya, miskin, setengah miskin ) ? Kepercayaan ( Anda sebut sendiri lah please ) ?

Sejumlah perbedaan tersebut ternyata melatar belakangi sebagian kecil orang untuk merasa lebih, yakin bahwa dirinya/ mereka adalah numero uno, the chosen one, satria pinilih. Dan oleh karenanya merasa berhak untuk memberikan perlakuan tak sederajat kepada golongan lain yang tidak seperti dirinya. Anda bisa mengatakan penindasan sudah jadi sejarah yang penuh sarang laba-laba. Namun di beberapa tempat masih dapat dengan mudah kita temui sekelompok manusia yang masih harus memeras peluh untuk mendapat pengakuan atas keberadaannya dan kesamaan hak untuk mempertahankan hidup.

Apa sih kira-kira yang terlintas di benak kita ketika melihat, menemui atau mengenal seseorang yang berbeda fisik dan non fisik dengan kita ? Ah, jangan-jangan dia maling. Jangan-jangan dia maniak. Jangan-jangan dia pengintip. Jangan-jangan… jangan-jangan …Takut kah ? Itu jelas sekali terang benderang. Entah siapa yang memulai, namun paranoia terhadap sesuatu yang asing, lain, aneh dan tidak mainstream sudah ditanamkan sejak masa ingusan kakek nenek kita. Tujuan awalnya sih sebenarnya untuk menumbuhkan pertahanan swadaya seorang anak kala ia harus menempuh perjalanan seorang diri. Dilemanya, sangat jarang ditemui orang-orang yang mampu menganalisa masalah dan mengambil keputusan secepat kilat namun cermat dalam situasi genting. Yang diingat dan terngiang senantiasa hanyalah doktrin-doktrin sempit semisal : ‘ hitam jahat ‘, ‘ merah liar ‘, ‘ putih malaikat ‘. Sehingga keminderan individu berbenturan dengan ketidakpercayaan berlebih terhadap liyan sukses menumbuhkembangkan ledakan rasisme, fasisme, terorisme, seniorisme serta bullyingisme.

Persaudaraan

Beda Bapak beda Ibu tetapi bersaudara ? Kok bisa ? Tentu bisa. Buktinya frase’ persaudaraan ‘, ‘ ikatan ‘, ‘ persatuan ‘ dan ‘ perkumpulan ‘ dan sejenisnya sebagai bagian nama organisasi, yayasan, lembaga, perkumpulan, perserikatan yang dibentuk berdasarkan kesamaan minat/ hobi, tujuan dan asal muasal. Diantaranya meliputi kesamaan perguruan tinggi, ketrampilan kerja, etika, etnisitas, agama, politik, kontribusi amal dan sosial, nilai-nilai tradisional, asetisme, pelayanan publik, seni budaya, garis keturunan/ marga dan bahkan criminal. Artinya, sekumpulan orang tersebut tidak mendadak sontak bersedia menyatakan diri sebagai saudara satu sama lain tanpa alasan, yaitu kesamaan kepentingan dan nasib.

Di masa perjuangan kemerdekaan RI, beberapa kelompok generasi muda yaitu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon berhasil menyatukan visi dan mendeklarasikan Sumpah Pemuda, dan dilestarikan hingga sekarang sebagai simbol pernyataan persatuan seluruh rakyat Indonesia pada saat itu. 5 tahun kemudian setelah RI memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, persatuan itu sedikit demi sedikit terkikis akibat meletusnya pemberontakan bersenjata di beberapa daerah. Sebut saja pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) ( 23 Januari 1950, Bandung ), pemberontakan Andi Azis ( 5 April 1950, Makassar ), pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) ( 25 April 1950, Maluku ), pemberontakan PRRI/Permesta ( 15 Februari 1958, Sumatra Barat dan Sulawesi Utara ), pemberontakan DI/ TII ( 7 Agustus 1949-3 Februari 1965, tersebar di Jawa Barat, Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan ).

Sesudah menelaah beberapa sumber saya simpulkan ada satu factor tunggal yang memicu radikalisme daerah tersebut. Yaitu, tuntutan agar otonomi daerah segera direalisasikan pemerintah saat itu. Agar hasil daerah dikembalikan lagi ke daerah, karena sebelumnya terjadinya kesepakatan hasil bumi daerah dikuasai secara penuh oleh pemerintah pusat.
Perjuangan itu dilakukan sebagai bentuk pengambilan kembali hak-hak daerah. Dikatakan oleh Bakhtiar Ngunguah ( salah satu mantan anggota PRRI Sumatra Barat yang masih hidup ) bahwa hasil daerah yang diharapkan kembali lagi ke daerah antara lain beberapa hasil bumi seperti terung, sayur mayur, tambang emas, tambang tembaga dan hasil lainnya. "Jika masalah tersebut diselesaikan dan hasil tersebut dikembalikan, kami akan akan kembali ke pangkuan ibu pertiwi yang artinya pusat tidak menang dan daerah tidak kalah, “ ( situs Padang Today, 15 Agustus 2009 ).

Manakala cita-cita sudah tergenggam erat di tangan, kita kadang terlena dan melupakan sekeliling. Dunia milik kita, yang lain penumpang gelap, begitulah kira-kira. Status bangsa terjajah ternyata ampuh menumbuhkan keinginan untuk bersatu dengan sesama warga, dengan tak memandang suku, ras, golongan maupun agama. Jadi, apakah wajib menyandang status bangsa budak belian selamanya agar tak ada perpecahan diantara kita ? Sebuah surat kabar ibu kota ternama baru-baru ini menurunkan sebuah tulisan mengenai kebiasaan-kebiasaan buruk manusia. Berada di urutan pertama adalah gossip/ menggosip. Ironisnya, kebiasaan membicarakan keburukan orang lain itu ternyata terbukti sah dan meyakinkan mampu mendekatkan hubungan dua pihak yang awalnya tak saling kenal. Persaudaraan, apakah harus diciptakan dengan mengada-adakan kambing hitam ?

Pernahkah Anda memikirkan kemungkinan Sang Maha Hidup sengaja menciptakan manusia dengan ketidaksempurnaannya agar mereka belajar, berpikir dan berbuat untuk menjadi sempurna ?

Kebenaran mutlak ? Alam bakalah tempatnya. Namun, selagi masih bernafas mengapa tidak kita berusaha semampunya untuk menjadi benar ?