FIRST WARNING

Thursday, May 20, 2010

NOSTALGILA MEI 1998

Wednesday, May 19, 2010


Mei 1998 dalam ingatan sebagian orang adalah legenda yang tragis, irasional, gila, mencekam dan menguras air mata. Berapa usia Anda  15, 17, 20 tahun ? Bersyukurlah mereka yang berusia muda saat itu. Hanya di tahun itu bolos sekolah atau kuliah disunahkan. Tiada hari tanpa demonstrasi. Berkenalan dengan sesama muda dan mabuk bersama candu darah muda meletup-letup, menghimbau untuk turun ke jalan. Politik tidak mengerikan lagi saat anak-anak muda pemberani meneriakkan unek-uneknya. Sementara para orang tua membiarkan televisi menyala 24 jam, berharap-harap cemas putra putri mereka tidak menjadi korban peluru nyasar. Semacam hiburan miris di hati orang-orang yang hendak beristirahat sejenak dari beban ekonomi yang mencekik kantong dan leher.
            Saat Kakek Yang Mulia mengumumkan pemberhentian dirinya sebagai raja 21 Mei tahun itu, sorak sorai gegap gempita menyambutnya. Ibarat kuda lepas dari kandang, mayoritas penduduk Indonesia saat itu larut dalam eforia. Belenggu 32 tahun usai sudah. Kekhawatiran akan penculikan dan pembunuhan aktivis berakhir. Gembira menyambut datangnya kebebasan yang diimpikan sekian lama. Adalah positive minded dan pengharapan, perubahan akan menyusul segera. Dalam pikiran semua orang, termasuk saya, yang namanya perubahan adalah harga barang kebutuhan pokok menurun drastis, tak ada lagi kemelaratan, kekerasan fisik akan tinggal menjadi cerita, sejarah hitam akan terbuka tabirnya, dsb., dsb.
            Setelah 5, 10 dan 12 tahun kemudian memang ada perubahan. Yaitu : harga bahan pokok yang semakin mahal, pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang kian tak terjangkau, hutan rimba menjadi hutan ruko dan perumahan, perkebunan atau ladang tandus, pengangguran melesat tak terkendali, korupsi dan nafsu berkuasa menjadi legal karena diundang-undangkan, para pekerja kian merana dengan munculnya peraturan outsourcing, penegakan hukum menjadi milik mereka yang berduit, kenaikan rekening tarif listrik dan air susul menyusul, demikian pula masyarakat adat harus bertekuk lutut di bawah kaki pemilik modal, berikut tersingkirnya budaya tradisional dan nilai-nilai kearifan lokal. Lagu-lagu lama kemasan baru yang sama sekali tak merdu  mengiringi pupusnya harapan rakyat akan kehidupan tentram, sejahtera, gemah ripah loh jinawi. 
           
Salah Strategi
            Kekayaan alam berlimpah ruah, iklim yang bersahabat ( kemarau dan hujan, hanya 2 musim. Sementara negara-negara lain dianugerahi 4 musim.  Bahkan ada juga yang satu musim, Antartika misalnya. Musim dingin terus ), penduduk yang ramah tamah dan selalu tersenyum. Kemudahan-kemudahan yang mestinya kita syukuri setiap hari. Namun, sesuatu yang berlebihan tidak akan membawa kebaikan. Begitu pula kekayaan alam di tanah air kita,  adalah mixed blessing karena ( selain mengundang kaum imperialis dan kapitalis mengeruknya dengan cara-cara halus maupun kasar ) semua itu juga memupuk kemalasan, keputusasaan,  kemanjaan dan keminderan kita dalam bersaing dan berjuang, baik di arena pasar bebas maupun olah raga.
            Para aktivis 1998 mungkin lupa bahwa mereka tidak akan selamanya menantang pemerintah dengan turun ke jalan. Ada kehidupan pribadi, skripsi, kewajiban menafkahi anak istri serta memenuhi harapan orang tua yang sudah mengucurkan subsidi sekian rupiah untuk sekolah mereka. Saat kewajiban-kewajiban itu memanggil, segera mereka beranjak dari jalanan, tanpa pesan dan warisan, selain pekerjaan rumah reformasi yang belum selesai.
            Kaum muda pergerakan yang masih kritis dan menyimpan sisa-sisa tenaga memang tidak apatis dan berpangku tangan.  Musuh baru mereka adalah pembatasan masa studi dan pencabutan subsidi pendidikan, yang sukses  gemilang melenyapkan kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan dari otak mahasiswa-mahasiswa muda. Sebaliknya, mereka malah membuka mata dan telinga lebar-lebar kepada kemilau hedonisme dan konsumerisme yang sengaja digelontorkan oleh industri secara besar-besaran. Sebagian mahasiswa ‘ baik-baik ‘ yang tak terpengaruh dugem terkotak-kotak dalam visi dan misinya sendiri-sendiri. Aktivis kanan ogah dekat-dekat aktivis kiri. Larut dalam debat kusir tanpa akhir mana yang lebih dulu, kodok atau telur kodok. Mencari kemenangan di medan perang ideologi, dan tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya memiliki tujuan yang sama. Semakin mengucilkan mereka jauh dari rakyat yang dahulu mereka perjuangkan nasibnya, karena kerusuhan dan kontak fisik yang mewarnai beberapa aksi unjuk rasa, entah sengaja atau tidak,  di-blow up  oleh media. Ujung-ujungnya mengikis simpati masyarakat kepada mahasiswa sedikit demi sedikit.

 Lawan Jadi Kawan
Di seluruh Negara penjuru dunia dan dalam kurun waktu yang mungkin akan selamanya, yang namanya pemerintah/ penguasa tidak akan dengan sabar hati mengalah dan menuruti semua suara hati dan keinginan rakyatnya. Meskipun akhirnya mengiyakan, itu pun tidak gratis dan selalu ada syarat tersembul di belakangnya. Bukan mereka tidak mengerti atau menderita amnesia temporer akan kewajiban menyejahterakan rakyatnya. Melainkan jatuhnya imej dan kewibawaan, dan rentetan permintaan-permintaan kita yang selanjutnyalah yang mereka takutkan.
Okelah kita berpikir positif dengan beranggapan tidak semua penguasa itu haus darah dan uang dan kekuasaan. Mungkin di awal masa jabatannya semua pemimpin bercita-cita luhur membawa bangsa ini ke arah kemajuan.  Pedih hati mereka melihat penderitaan rakyat, dan terpanggil untuk menegakkan kebenaran. Saat terjun ke dunia politik mereka terperangah dan mendapati dirinya melawan arus. Alih-alih merombak sistem, mereka menanggalkan idealisme dan kembali memakai sistem, doktrin dan tata cara lama untuk menjalankan tugas. Jadilah pergantian presiden demi presiden nyaris tak ada perubahan berarti. Meskipun para ahli statistik bersepakat mengatakan angka kemiskinan dan pengangguran menurun, kenyataan di lapangan adalah berbeda 180 derajat. Bagaimana mungkin perubahan akan tercapai sementara kaidah-kaidah peninggalan rezim terdahulu  dipertahankan ? Seperti jalan-jalan menuju Roma menunggang onta, kapan sampainya…
            Daripada menambah dosa dengan memposisikan penguasa sebagai musuh bebuyutan, mari kita coba strategi baru dengan menempatkan mereka sebagai partner alias mitra kerja. Tugas penguasa adalah memimpin, itu sudah  dipahami, diketahui dan dihafalkan bersama. Karena yang dipimpin ini adalah sekumpulan manusia dan bukannya monyet atau anjing, maka bisa bersuara, berpikir dan melawan. Manusia ngeyel dan mengatakan tidak bukan karena mereka tidak senang atau benci kepada sesosok figur A, B, C atau M. Karena pernah makan sekolahan, maka punya kesadaran tinggi dan penuh tentang bagaimana seharusnya mereka dipimpin dan diarahkan. Indoktrinasi bisa dan pernah berhasil. Tapi sampai kapan manusia akan menerima nasib melulu dibodohi ? Doktrin bisa saja gagal total apabila Sang Tukang Doktrin tidak konsisten dengan janji-janji mereka. Akankah bertahan demi mengukuhkan keakuan otoritas dan menghabiskan waktu untuk menghipnotis, menyeragamkan, membuat peraturan demi peraturan, menebar pesona melalui seremoni-seremoni belaka ?
            Berikanlah kepada rakyat apa yang mereka butuhkan. Keamanan dan stabilitas ? Bukan. Kalau perut orang sudah tidak ada yang kelaparan maka yang namanya keamanan adalah ekornya, Bos. Mudah kan ?