MEMBANGUNKAN SI PUTRI SALJU

Friday, December 31, 2010

"Sejarah akan menang. Dunia akan diangkat ke tempat yang lebih baik. Akankah kita bertahan? Itu tergantung pada Anda "  (WikiLeaks Inggris,situs AFP)

Di penghujung tahun ketenangan rimba politik internasional mendadak diceraiberaikan oleh insiden bocornya dokumen-dokumen rahasia Amerika Serikat dan beberapa negara lain termasuk Indonesia,  yang diprakarsai oleh situs Wikileaks mencuat ke publik beberapa waktu yang lalu. Serangan balik bertubi-tubi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan pun membombardir Wikileaks. Mulai dari penutupan domain servernya di Amerika, penutupan sejumlah rekening milik situs tersebut, sampai penangkapan sang juragan ;sekaligus pendiri, Julian Assange ( yang kemudian dibebaskan dengan jaminan lalu dikenakan wajib lapor kemudian dipasangi semacam chip di tubuhnya agar yang berwajib mengetahui kemana ia pergi, siapa yang ditemuinya dan jam berapa ia pergi ke WC ), atas tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada dua mantan stafnya.  Namun, simpati dan dukungan terhadap lembaga misterius yang bermisi membocorkan informasi rahasia negara demi memerangi korupsi pemerintah dan korporasi tersebut malah mengalir deras. Jumlah pendukung WikiLeaks di Facebook naik dari 500.000 menjadi hampir 960.000 orang hanya dalam waktu tiga hari dari tanggal 3/12 sampai 7/12 lalu, dan sampai tulisan ini dibuat sudah mencapai 1.490.133 orang , dan diperkirakan masih akan merangsek naik.
Bersiap-siaplah, Anak Muda, perang  (ter) baru akan dimulai … katanya sih begitu.

Jangan buru-buru mencurigai kami-kami yang kebetulan berusia muda, sudah dewasa dan atau menjelang sepertiga abad ini. Bukan karena kami maniak setengah mati kerusuhan ala hooligan, gonjang ganjing, chaos, sorak sorai keributan laiknya pekikan sekian desibel dari lantai rumah disko, parade hardcore 17-an atau konser Trio Macan edisi spesial tahun baru. Bukan pula karena kami anggota dari skuad sakit hati yang lapar dan iri hati memandang nanar kepada Anda yang berkantong tebal. Bukan juga karena kami sekelompok preman pengangguran kurang kerjaan, pemabuk dan pezina paruh waktu maupun makhluk-makhluk renta yang menolak jadi dewasa.  Darah muda yang tak kenal kata mengalah adalah bukan 100 %  kesalahan  kami yang secara sah dan meyakinkan telah dengan sengaja memeliharanya. Itu semua adalah semata ‘ kutukan ‘ yang harus kami terima dengan lapang dada karena menjalani nasib menjadi orang muda, dan jangan katakan Anda tidak pernah mengalaminya.

Seperti lautan yang tak pernah bisa diam. Dan udara yang bergerak mengisi ruang-ruang kosong. Juga cahaya yang menembus relung-relung sempit dan kegelapan. Demikianlah, tiada sesuatupun di dunia ini yang mampu menahan, membujuk dan meramalkan ke arah mana alam bergerak. Peradaban manusia memang melaju kencang dan menggila, namun toh manusia belum mampu menciptakan alat pendeteksi kapan gempa bumi akan terjadi. Penguasa dan penentangnya adalah seteru abadi. Seberapa keras dan kejamnya tekanan serta pengawasan, toh penguasa bukanlah paranormal dan ahli spiritual yang mampu membaca pikiran dan menebak reaksi para anak nakal itu selanjutnya. Jikalau Anda para penguasa tidak ingin dianggap super diktator yang anti arif dan bijaksana,  tanggalkanlah sebentar sombongisme jubah kebesaran dan selamilah benak para pembangkang demi mengetahui alasan sekaligus raut muka si akar jahanamnya.

Semasa para nenek moyang kita masih berjaya, mereka membangun dan menegakkan budaya, adat istiadat, peraturan-peraturan, sistem kepercayaan, etika-etika dan norma yang mungkin merupakan hasil kesepakatan bersama ( namun juga tidak menutup kemungkinan semuanya dibuat dan dirancang oleh mereka yang berkuasa dan bermodalkan harta berlebih, alias si nomor satu pada masa itu ). Sebagai dampak dari berjalannya waktu, seperangkat tatanan itu kemudian menjulang ke awang-awang, meninggalkan para anak cucu cicit canggah pendirinya jauh di ketinggian. Melambung nun jauh kesana bagaikan duduk di atas singgasana, sementara mereka yang di bawah tak jemu menatap bercampur iri dengki, merana, tanpa daya ataupun menjilat. Serta merta mendewalah dia tanpa rasa bersalah semena-mena menyogok-nyogok ke atas dan menginjak-injak ke bawah.

Karena kaki sudah lama tidak menjejak tanah, wajarlah jika ia kehilangan sense untuk mendengar bisik-bisik kegelisahan di bawahnya. Kalaulah memang norma, budaya, adat istiadat dan aliran politik dirancang para nenek moyang untuk mengatur hidup agar menjadi lebih baik, lalu mengapa diantara sekian hal tersebut punah merana karena dilupakan, ditinggalkan dan disepelekan ? Penyebabnya bukan 100 % kesalahan era globalisasi, modernisasi, internet, instant messenger, You Tube, dll yang membikin anak-anak kemarin sore gagap, shock lalu bertingkah aneh-aneh. Melainkan karena semua codex tersebut sudah berusia lanjut, mengepala batu karena ngotot mempertahankan kemapanan pribadi, sehingga dengan sendirinya berhenti berpetualang serta berhenti memberikan jawaban, apalagi ketentraman.

Lho, bukannya peraturan dan tata krama ( lama ) diciptakan untuk memberikan ketentraman ? ‘. Lha siapa sih elu kok mau-maunya memberi ketentraman dengan cuma-cuma ?  Bukankah ketentraman adalah buah dari proses panjang, lurus, berliku, berkerikil, menukik tajam, mendaki peluh, tergantung dari jalan mana yang kita pilih untuk meraihnya ? Kita tidak bisa memapankan ketentraman elok rupawan Putri Salju dengan sekedar menaruh rambu-rambu di sepanjang jalan trabasan tikus maupun gang buntu, tanpa mempresentasikan kepada publik dan anak muda tentang alasan dibuatnya rambu-rambu, dan mengapa pula harus diletakkan di situ. Dan yang paling utama, sekuat mana kita berhasil mengukuhkan hukum, norma, etika dan peraturan untuk tegak berdiri dan tak silau terbeli oleh sejumlah kecil dan besar uang.

Kita menginginkan perubahan nasib, betul ?  Kadang kala, angan-angan akan perubahan di masa mendatang terbang secepat kilat mendahului  kemampuan daya upaya tiap-tiap individu itu sendiri untuk berbuat. Kita mengangankan orde reformasi merubah segalanya yang buruk-buruk di orde lampau, termasuk menurunkan harga sembako, bahan bakar, dsb. Kenyataannya ? Yah, you know … Kita mengangankan hujaman bencana alam bertubi-tubi semenjak tahun 2004 yang dimulai dari tsunami Atjeh hingga letusan Bromo di penghujung 2010 ini mampu membuka mata dan mengetuk nurani mereka untuk berhenti berkorupsi, berobral janji dan segera menjual bukti. Apa daya, telenovela kisah sedih kaum tak berpunya belum akan berakhir dan masih kejar tayang. Itulah mengapa perubahan terasa menyakitkan untuk sebagian orang. Karena kita tidak siap menghadapi dan menerima betapa bertolak belakangnya ketentraman versi angan-angan dengan kegetiran realita. So, kesengsaraan dan penderitaan tidak selamanya merupakan hukuman yang diberikan Maha Hidup atas kenakalan kita. Melainkan karena kesalahan cara pandang dan reaksi kita sendiri dalam menyikapi setiap perubahan yang mampir minum di teras rumah kita.

Perubahan apakah yang kita tunggu ? Yaitu perubahan tatanan baru. Tatanan yang bukan sekedar fashion yang sengaja dibuat selalu berubah-ubah ( yang padahal hanya merupakan pengulangan-pengulangan trend di tahun-tahun sebelumnya , 50-an, 60-an, 70-an, dst. ) demi menguntungkan industrialis pakaian jadi. Bukan penampakan luar yang bisa digonta-ganti secepat Superman atau Zorro menukar kostum, demi menciptakan kesan seolah-olah alias pencitraan belaka guna mendongkrak popularitas seleb kemarin sore. Bukan sekedar dogma rekayasa untuk menakut-nakuti penduduk sipil yang tak punya kuasa dan uang untuk menawar maupun menyuap. Bukan konsep idealis nan indah-indah dan tak kenal lelah  merayukan janji-janji kesejahteraan. Bukan mekso mengada-adakan sesuatu yang belum ada. Melainkan gabungan yang indah dari semua yang sudah dan pernah ada. Dari yang lama dilupakan atau sedang digandrungi. Dari yang lama dan yang baru. Dari jauh di masa lalu dan rencana masa depan, bertemu kangen di masa kini.

Meski demikian, di tengah derasnya arus perubahan ada satu hal yang setia untuk tidak berubah. Ia setia tegak diam dan berdiri, tidak terseret tidak juga melawan arus. Ia tidak peduli dikata-katai ketinggalan jaman, kuno maupun anti mainstream. Ia disebut Hidup, yang bersemayam dalam tubuh kita masing-masing. Tak peduli puluhan, ratusan bahkan jutaan kali kita mencederainya dengan perkataan dan perbuatan yang melenceng dari benar, Ia tidak sontak meninggalkan kita mati sendirian. Malahan tak jemu-jemu mengingatkan untuk kembali sadar dan kembali ke jalur, meski  polisi lalu lintas sedang tidak hadir disana.

EMO(NA)SIONALISTIS

Friday, December 3, 2010