MENUNGGUI RUANG TUNGGU

Saturday, April 17, 2010



Pernahkah Anda menghitung, berapa kali dalam sehari Anda dipaksa untuk diam sejenak, namun bukan untuk istirahat. Untuk tidak melakukan apa-apa, tapi bukan untuk berhenti. Disuruh tidak memikirkan apa-apa, tapi otak tidak boleh tidur. Diikat pada kebekuan sesaat seperti seabad, yang namanya menunggu ?

Antrean panjang pom bensin, antrean para pensiunan mengambil bayaran di bank atau kantor pos, menunggu lampu hijau di perempatan jalan, menunggu usainya jam kantor/ kuliah/ sekolah, menunggu air mendidih, menunggu tempe matang digoreng, menunggu suami dan anak pulang, menunggu datangnya tanggal gajian, menunggu giliran membayar di kasir, antrean panjang para pelanggan listrik di PLN, menunggu loading Facebook di hari Minggu, menunggu selesainya iklan di tengah-tengah berita markus palsu, menunggu satu putaran gelas anggur berikut , menunggu, menunggu, menunggu …

Ia menguras habis tenaga, kita tidak pernah tahu dengan persis dalam hitungan menit ke berapa akan berakhir. Ada beberapa antrian yang diberi nomer urut supaya para penunggu yang kurang disiplin tidak berebut berdesakan. Tapi apakah waktu yang dihabiskan untuk melayani satu orang dan lainnya itu sama persis, sehingga para penunggu bisa tahu pasti pada detik ke berapa tibanya giliran mereka ? Posisi dan lokasi ruang tunggu sudah dibuat senyaman mungkin, sofa dan kursi empuk plus pendingin udara. Ada yang dilengkapi dengan air minum gratis, majalah-majalah kuno atau surat kabar terbaru. Tetap saja para penunggu merasa gerah, kelelahan dan frustasi. Satu detik seperti seminggu. Satu menit seperti setahun. Satu jam seperti sepuluh tahun.

Jeda koma panjang tanpa mengetahui kapan akan menemui titik di ujung jalan. Di tengah kebosanan menunggu, kadang muncul rasa was-was, akankah mendapat seperti yang sudah kita inginkan selama ini. Bagaimana kalau yang kita tunggu ternyata bom waktu yang setiap saat siap meledakkan diri kita berkeping-keping ? Bagaimana kalau ternyata bom waktu itu bukan hanya satu ? Apakah rela kita mati di dalam ruang tunggu ini, dan belum merasakan sedikitpun buah dari penantian kita ? Padahal bukan kita pelopor penyemai bom waktu. Karena kita bukanlah orang penting, pejabat, anggota dewan, apalagi presiden, hanyalah penunggu di depan layar televisi sembari berharap tidak ada lagi bom waktu keluar dari situ. Namun apa daya, satu demi satu bom waktu telah dan masih akan meledak. Kita melihatnya di dalam Mbah Priuk, koin Prita M., Munir, Ahmad Tajudin ( petugas Pol PP yang diduga tewas dimassa ), Mei 98, Sambas, Petrus, September 65-66, Century, Santa Cruz, DOM Aceh-Papua, Boneks,… tinggal pilih !

Sabar Menanti
Tak seorang manusia pun di masa kecilnya bercita-cita menjadi kaum frustasi, pengidap depresi, atau penggemar klub bunuh diri massal. Boleh saja Anda berpendapat mereka kurang keras memelihara kesabaran, menafikan ketangguhan proses dan terperangkap kehalusan artifisial ( permukaan ) yang menutupi kekerasan di dasar jurang. Terhipnotis sinetron, iklan dan ilusi tentang kesejahteraan, kebahagiaan dan harga diri yang diciptakan oleh pemilik modal dalam rangka mengenyangkan perut segolongan orang fasis nan kapitalis. Lama-lama orang-orang kecil ini merasa tertipu, lalu kecewa membuat pilihan keliru, lalu menyalahkan diri sendiri yang bebal, lalu melukai tubuh dengan kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup yang jauh dari sehat.

Namun bukan berarti tertutup sama sekali pintu harapan bagi mereka yang menolak menjadi penunggu setia di semua ruang tunggu manapun di muka Bumi. Akan tiba saatnya manusia menyadari bahwa ketentraman tidak bisa dibeli, apalagi diraih dengan melakukan hal-hal yang mencederai hati atau perasaan mereka sendiri. Untuk yang satu ini pun memakan beberapa waktu, dan lagi-lagi kita harus menunggu. Tapi apakah harus duduk terbengong-bengong pasrah ? Tidak juga. Karena untuk menaklukkan waktu yang berkepribadian dua, lambat seperti keong cepat seperti kereta ekspres, membutuhkan energi, resistensi, konsentrasi dan konsistensi tinggi.

Maka kita bekerja supaya bisa membeli bahan makanan bekal energi kita dalam perjalanan mengarungi satu ruang tunggu ke ruang tunggu lainnya. Upgrade sebuah piranti/ system lama dengan piranti/ system baru yang larinya lebih kencang ke tujuan, membawa perenungan kita pada realitas-realitas berikut revelasi-revelasinya, menghadirkan hiburan-hiburan musik dan gaya barat, timur, utara, selatan yang anti mainstream alias trend. Menjalin komunikasi yang hangat, akrab dan bersahabat kepada mereka, sesama penunggu di kanan dan di kiri. Membersihkan lingkungan sekitar sehingga tergerak kecintaan dan kepekaan terhadap alam berikut isinya. Mengingat-ingat kisah di masa lalu, berikut kejayaan dan masa tenggelamnya kemudian menyimpulkan dengan tepat dan akurat nilai-nilai mana yang merupakan kebijaksanaan kolektif lokal atau sekedar dogma. Mengharap umur panjang agar bisa menyaksikan wujud akhir perubahan yang sedang kita rintis.

Sebelum bom waktu meledak kita masih punya sedikit waktu, yang bisa kita atur dengan bijaksana untuk mencari cara dan daya upaya untuk menjinakkan bom waktu ini. Dia adalah bom waktu, seperangkat alat bikinan manusia, yang semestinya bisa dijinakkan oleh manusia juga. Gumpalan penolakan-penolakan, bisa dihancurkan oleh penerimaan-penerimaan, yang cukup ditanam dengan sedikit mengalah untuk menang. Kejujuran bisa saja sangat menghancurkan, namun demikian kita tak akan pernah menyesal karena ada ketentraman menunggu di akhir cerita.

KETAHANAN SIPIL

Friday, April 2, 2010

Revolt against destiny ( Bad Religion )

Mari kita coba menghitung, dengan uang sepuluh ribu rupiah, apa saja yang dapat kita beli dalam satu hari. Beras 1 kg 7 ribu, gula ¼ kg 4 ribu, uang jajan anak-anak ?, uang belanja ?, uang sumbangan RT ?, uang arisan ?, uang cicilan sepeda motor ?...
Di sela-sela keruwetan otak itu, apa hiburan kita ? Beruntunglah mereka yang tidak atau berhasil melepaskan diri dari ketergantungan terhadap rokok. Meski dianalogikan sama dengan membakar uang, buat sebagian orang merokok adalah teman di kala badan sudah kelelahan menolak untuk digerakkan, menemani otak yang berjalan-jalan mengembara mencari lubang-lubang penghasil uang entah kemana.
Pihak-pihak yang memutuskan rokok tidak baik untuk kesehatan itu mengatakan, rokok atau membeli rokok juga akan menambah kemiskinan, sekaligus cerminan tiadanya kasih sayang dan penghargaan terhadap diri sendiri. Bahkan seorang ahli motivasi kondang pernah menandaskan, perempuan perokok tidak layak untuk dinikahi. Sayangnya oknum-oknum di atas bukanlah pecinta sepak bola lokal, yang tanpa sponsor dari pabrik-pabrik rokok tidak akan seheboh sekarang. Mereka juga tidak punya anak, sepupu atau keponakan berprestasi yang mendapat beasiswa pendidikan dari pabrik rokok. Mereka sudah terlalu nyaman di dalam rumah mewah, mobil mewah dan posisi mewah, sehingga tidak menghitung, atau mungkin lupa, ada ratusan ribu pekerja yang memberi makan keluarganya dengan bekerja sebagai buruh pabrik rokok.
Kita adalah manusia, yang by accident dilahirkan dan dibesarkan di sebuah Negara yang bernama Indonesia ini. Kita lahir membawa hak-hak yang harus kita dapatkan entah bagaimana dan kapan. Sekaligus diikat dengan kewajiban-kewajiban yang juga harus kita patuhi tanpa tawar menawar. Buku pelajaran PPKN telah mendogmakan, laksanakanlah kewajiban terlebih dahulu sebelum menuntut hak. Demikianlah seharusnya sikap warga Negara yang baik serta teladan.

Warga Negara Yatim Piatu
Tidak hendak mengeluh atas bertambahnya beban hidup, atau praktek ekonomi biaya tinggi yang harus kita telan mentah-mentah dewasa ini. Kemiskinan, kelaparan, kerusuhan, pembohongan publik, korupsi, kerusakan alam karena kerakusan manusia, dll., dll… Bagaikan anak yatim piatu, tidak punya orang tua tempat bersandar dan tidak punya saudara tempat berkeluh kesah. Padahal sebuah Negara tanpa keberadaan warga Negara, apakah masih bisa disebut Negara ? Semisal semua warga Negara tua muda, dewasa dan anak-anak tanpa terkecuali mati mendadak karena serangan penyakit atau bencana alam dan meninggalkan seluruh gugusan pulau besar dan kecil Indonesia kosong melompong, apakah sanggup penguasa Negara mengatur semuanya sendiri saja ? Bisakah sang majikan yang biasa duduk santai menunggu uang datang mengerjakan pekerjaan kasar para pembantunya ?
JF. Kennedy mengatakan ‘ jangan tanyakan apa yang sudah diberikan Negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang sudah kau berikan kepada Negara ‘. Sir, kami sudah berikan kepatuhan kami kepada Negara. BBM naik sekian, listrik naik sekian, beras, gula, minyak, sabun, dll naik sekian tetap menerima dengan lapang dada. Ada protes kecil-kecil itu pun hanya sebagian kecil yang sudah tak kuat menahan amarah. Korban bencana alam tidak ditangani tuntas dan terkatung-katung kleleran bertahun-tahun, tidak apa-apa. Ada yang mengancam mau mendirikan Negara sendiri, pelan-pelan melunak dan bergabung kembali dengan Jakarta, Timor Leste sebagai pengecualiannya, tentu saja. Singkatnya, seharusnya Negara bersyukur memiliki warga Negara sebaik dan setabah kita, meski kadang sedikit bebal dan tidak tahu aturan. Dan seyuogyanya membalas kepatuhan kita itu dengan kebijakan-kebijakan plus tindakan-tindakan yang 99,9% berpihak kepada kemakmuran rakyat.

Pertahanan
Lalu, apa yang tersisa pada kita di tengah gempuran tekanan dan beban hidup yang menggila ini ? Dulu memang tanah air kita ini kaya raya dengan hasil alam, pertanian dan rempah-rempah. Memang sangat menguntungkan dari segi ekonomi. Namun mental kita menjadi lemah, karena tak perlu bersusah payah mengisi perut. Mau makan ikan tinggal mancing, makan daging rusa tinggal pasang jerat, mau makan sayur tinggal ambil di pelataran rumah. Ambil, ambil, ambil … Mari kita persalahkan diri sendiri karena menguasai sedikit sekali pengetahuan untuk menghemat dan memenej sumber daya kita. Semua makhluk hidup di dalam siklus yang senantiasa berputar. Apa yang dulu hidup, suatu saat mati. Apa yang dulu di atas, sekarang di bawah. Siapa yang dulunya kaya, bisa saja menjadi papa. Apa yang dulunya berlimpah lama-lama habis.
Sebagian orang mempercayai kiamat, bencana alam dan atau revolusi sebagai jalan keluar mengakhiri semua permasalahan global maupun nasional. Sekilas seperti hendak membunuh diri sendiri, dengan meminjam tangan Waktu untuk melakukannya. Saya tidak menyalahkan mereka yang meyakininya. Apa boleh buat, ketahanan dalam diri setiap orang berbeda-beda ketebalannya. Maka sudah menjadi tugas kitalah, yang masih sanggup menegakkan kepala ini, untuk membangkitkan semangat untuk bertahan itu kepada mereka yang membutuhkan.
Yakinlah bahwa kita, warga Negara keras kepala ini, adalah orang-orang kuat dibandingkan sesama kita di Negara-negara lain. Coba hitung saja, sudah berapa puluh tahun terlewat semenjak kedatangan krisis ekonomi 1997 lalu ? Di kala Negara-negara Eropa dan Amerika kelimpungan didera krisis finansial global dan para ahli meyakinkan dengan susah payah bahwa imbasnya tidak akan sampai kemari, masih bisa kita duduk merokok berkata ‘ krisis yang mana, Gan…‘ Boleh-boleh saja orang mengatakan bangsa kita bermental tempe : lemah, bodoh, norak dan jorok. Tapi ingat lho, justru karena makan tempe maka sebagian dari kita bisa menjaga perut dari rasa lapar. Orang bisa disebut pandai setelah merasakan pahitnya menjadi orang bodoh. Karena tidak pernah menjadi lemah, maka seseorang tidak akan bisa menghargai yang namanya kekuatan. Benar kita menghirup udara di abad instant, yang dipenuhi perangkat untuk memutus jeda waktu. Namun, sebelum ada Pentium 4 ada yang namanya Pentium 1. Sebelum menjelma super canggih ternyata si perangkat teknologi pun harus melewati babak demi tahap. Jadi siapa bilang proses tidak penting, yang penting hasil akhir ?
Instead of meneriaki Negara atas kurang beruntungnya nasib, dan toh kita masih selalu akan melawan tembok yang sama, lebih baik kita gulung saja lembaran suram ini dengan tangan kita sendiri. Sejarah menulis dan mendokumentasikan kenyataan bahwa manusia sudah berhasil memapankan diri sendiri dan beranak pinak selama berpuluh tahun sebelum berdirinya Negara. Ratusan tahun yang lalu nenek moyang kita berjaya meski tanpa diurusi Negara. Namun dalam perkembangannya manusia dibikin manja oleh bujuk rayuan Negara. Saya tidak menentang eksistensi Negara. Namun, mengapa dia selalu gagal memenuhi kewajibannya pada kita ?
Anda semua adalah manusia-manusia berharga yang, meski kekurangan kasih sayang dari Negara, masih bisa hidup, berkarya dan bekerja. Maka, biarkan saja Negara tercekik dengan masalah-masalah yang disemainya sendiri. Mari kita duduk manis di depan siaran berita televisi dan menertawakan dia. Hahaha….