BERDAMAI DENGAN MASA LALU

Tuesday, January 5, 2010

Beberapa hari yang lalu sebuah televisi swasta yang gemar sekali menayangkan gosip-gosip terpanas dari panggung politik, menayangkan feature tokoh politik merangkap peramal, Permadi SH. Beliau, dalam terawangannya, mengatakan di tahun 2010 ini Indonesia akan menghadapi guncangan dahsyat. Guncangan yang bukan saja datang dari alam, berupa bencana alam, namun juga dari manusia sendiri. Guncangan itu terjadi karena Negara tidak mampu mengungkap kebenaran di balik peristiwa-peristiwa nasional yang terjadi di masa lalu. Meskipun tidak dijelaskan oleh Bapak penggemar warna hitam, meski bukan penganut gothic, apalagi rocker ini, kita bisa adakan kuis untuk menebaknya. Mei 1998 kah ? Tanjung Priok ? Malari ? Petrus ? Santa Cruz ? DOM Atjeh dan Papua ? Talangsari ? Atau G30S mungkin ?
Manusia tak pernah luput dari berbuat kesalahan selagi masih bernafas. Termasuk juga sebuah pemerintahan atau negara. Karena alasan stabilitas keamanan dan lain sebagainya, kesalahan negara ( Indonesia ) tidak pernah diakui, apalagi dipertanggungjawabkan. Dengan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan, seringkali negara enggan membayar kembali rasa keadilan yang telah direnggut dari jutaan korban jiwa di masa lalu.
Bagaimana rasa batin kita saat berbuat salah ? Tentramkah ? Nyamankah ? Meskipun tiada seorang jua yang mengetahui kesalahan itu selain kita sendiri, tetap saja siksaan itu membuntuti, menghantui, menjadi bayangan, kadang-kadang melompat keluar menjadi igauan dalam tidur dan mimpi buruk. Hidup dalam kejaran setan yang, hanya bisa dilihat oleh kita dan bukan orang lain termasuk anak, istri,cucu, tetangga, mertua. Setan jahanam yang tidak bisa dibasmi Buffy, Ghostbuster, Tim Pemburu Hantu, atau tahlilan rutin RT. Setan yang sedang menikmati kenyamanan sarangnya di dalam ingatan kita. Uang, harta, pangkat dan nama besar, tidak ada yang sanggup mengenyahkan setan itu kembali ke neraka.
Karena batin kita emoh mengakui, waktu berhenti mendadak. Kita berlari ke utara, selatan, timur,barat,tengah untuk sembunyi. Namun tak peduli sejauh apa kita berlari, selalu kembali pada titik yang sama. Titik yang selalu bercabang dua dan memberi kita dua pilihan, lurus jalan terus. Artinya kita teruskan saja jalan yang sudah dipilih ini. Tidak mendengarkan nurani, membunuh rasa kemanusiaan sendiri, dan kembali mengulang kesalahan yang sama. Pilihan kedua adalah berhenti. Artinya kita hentikan sama sekali jalan bergelimang dosa ini, dan mengakui kesalahan yang sudah kita perbuat.
Tapi tidak. Negara tidak pernah mengakuinya. Karena pilihan sudah dibuat, tak semestinya kita menolak konsekuensinya. Maka inilah wajah Indonesia sekarang. Batin Negara yang tidak tentram, selalu dibelit masalah demi masalah, selalu bertikai memperebutkan uang dan jabatan, selalu dicerca sana sini, selalu panas bergolak seperti Candradimuka, jauh dan semakin menjauh dari kesentosaan.
Tidak bisa tidak, seandainya menghendaki dan memimpikan ketentraman, akuilah kesalahan itu, wahai Negara. Gejolak ? Itu tidak dapat kita hindari. Anggaplah itu hukuman indisipliner karena sudah menutupi kesalahan sekian lama. Kalau tidak ingin dianggap tidak ksatria, mengapa musti takut menghadapi satu kali lagi goncangan yang mungkin akan sedikit lebih besar dari tsunami Atjeh, gempa Jogjakarta dan gempa Padang. Satu masa kegelapan yang paling gelap dalam sejarah hidup kita. Satu kali kesedihan yang paling menyedihkan, hingga air mata menolak untuk jatuh, dan membangunkan kita dari tidur panjang. Satu gelombang pasang yang belum pernah naik dan tak kan datang lagi untuk kedua kalinya. Once, and for all.
But, nothin last forever. Kegelapan, kesedihan dan gelombang pasang itu akan berakhir jua. Di saat kita, Negara, melakukan apa yang sudah dinanti-nantikan selama ini. Maaf, mengapa, bagaimana, kapan, dimana,apa, berapa..Umumkanlah itu kepada orang banyak. Dicatat dalam buku sejarah supaya dibaca oleh anak-anak muda. Supaya mereka belajar tidak mengulang kesalahan generasi pendahulunya.

0 comments:

Post a Comment