ANARKI, SIAPA TAKUT ?

Wednesday, December 16, 2009

Presiden kita tercinta sempat mengumumkan, ada rencana besar untuk menggulingkan pemerintah yang sah menyusupi gerakan moral 9 Desember 2009 lalu. Gerakan ini dihelat dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, dan dipusatkan di Lapangan Monas DKI Jakarta.
Beberapa pejabat tinggi membenarkan pernyataan Presiden tersebut, dan sama-sama mengkhawatirkan potensi ‘ anarki ‘, yang tidak hanya akan merusak nama bangsa namun juga akan membawa akibat yang akan menyengsarakan rakyat. Entah bagaimana raut wajah mereka sekarang, karena aksi berjalan lancar-lancar saja, dan paranoia yang mengusik banyak orang itu belakangan ternyata isapan jempol belaka.

Anarki, atau anarchy, dalam kamus Wikipedia dijabarkan, 1.’absence of government, a state of lawlessness due to the absence or inefficiency of the supreme power, political disorder. (= kekosongan kekuasaan, suatu kondisi ketiadaan hukum akibat dari ketidakmampuan atau inefisiensi kekuasaan, gangguan politik). 2. ‘ a social state in which there is no governing person or group of people, but each individual has absolute liberty ( without the implication of disorder ).’ (= sebuah kondisi sosial dimana tidak ada seseorang atau sekelompok orang yang berkuasa, namun tiap individu mempunyai kebebasan absolut, tanpa melakukan gangguan/ kekerasan ).

Media dan para tokoh menerjemahkan anarki sebagai suatu kondisi dimana rakyat, atau sejumlah besar orang, menolak pemerintahan atau pihak yang berkuasa secara sah di suatu negara atau wilayah. Penolakan terjadi akibat ketidakpuasan masyarakat terlanjur meluas terhadap kebijakan pemerintah yang tidak kunjung membawa perubahan dalam hidup mereka. Namun salah besar kalau kita membayangkan kerusuhan dalam skala besar, penjarahan, pemerkosaan massal, perusakan, dll., seperti Mei 1998 silam, adalah manifestasi tunggal dari anarki.

Rakyat kita bukanlah sekumpulan orang bodoh yang tidak pernah belajar seperti para pemimpin mereka. Mereka sudah kenyang dengan penderitaan dari peristiwa masa lalu yang tak hendak diungkapkan, cukup kuat menahan rasa lapar, muak dengan budaya tontonan seremonialisme dan tahan banting di tengah alam porak poranda dan rentan bencana. Lambat laun mereka pun menghendaki perubahan dan sadar sesadar-sadarnya bahwa perubahan mutlak dilakukan dari diri sendiri. Mereka mengubah pola pikir dan cara menyalurkan emosi. Daripada marah-marah terhadap ketidakberuntungan hidup dan merugikan banyak orang, lebih baik menabahkan hati. Daripada menyesali nasib sendirian, lebih baik mengungkapkannya bebarengan. Itulah sebabnya dukungan publik meluas dalam kasus-kasus semacam Prita, Bibit-Chandra dan Bank Century.
Ibarat seorang ABG dihukum guru di sekolah. Mereka patuh disuruh membersihkan WC, sembari berkata dalam hati ‘ kita lihat saja nanti, Pak’. Alam bawah sadar mereka menolak untuk patuh, tapi tidak punya pilihan selain tunduk. Mereka tidak puas, tapi tidak melawan. Bukan karena tidak punya keberanian, melainkan demi ketenangan orang-orang di sekitarnya. Inilah anarki yang sesungguhnya dalam bentuk sederhana.

Lalu ada beberapa orang yang terlampau lama memendam emosi, sehingga sel-sel otak mereka karatan dan tak mampu berpikir jernih. Dan gumpalan emosi itu meluap tumpah. Ia mencemari darah. Darah yang menggerakkan tangan dan kaki untuk bergerak cepat, melindas dan menghancurkan apa saja yang menghalangi. Semua hal menjadi halal asalkan rasa marah tak lagi menyesakkan dada. Inilah chaos, riot. Siapapun, tak pandang ia penganut anarkisme atau nasionalis atau paham apapun juga, punya kelemahan untuk melakukan chaos. Tak peduli setinggi apa jabatan, pendidikan, berjuta-juta jumlah simpanannya di bank, seganteng atau secantik apapun dia, tetaplah binatang buas jika terlanjur gelap mata ditelan chaos. Sekarang, sudah bisa kah kita bedakan antara chaos dan anarki ?

APA ITU 'ANARKI ' ?
Kebanyakan antropolog sepakat bahwa sebelum sejarah dunia dituliskan, manusia hidup bersama di bawah prinsip-prinsip anarkisme. Menurut Harold Barclay, jauh sebelum anarkisme dikenal sebagai salah satu ideologi, selama ribuan tahun manusia hidup, berkembang biak dan bersosialisasi tanpa ada campur tangan pemerintah atau negara ( karena negara belum terbentuk pada masa itu ). Seluruh anggota kelompok mempunyai posisi yang sama. Tidak ada seseorang yang menempati posisi lebih tinggi, misalnya pemimpin kelompok atau raja. Semua keputusan dibuat berdasarkan kesepakatan kelompok. Posisi kaum tua dipandang sebagai penasehat dan tidak wajib bertanggung jawab atas akibat atau konsekuensi implikasi keputusan bersama.

Kebanyakan anarkis percaya kalau masyarakat seperti ini harus berbasis komunitas lokal yang cukup kecil agar orang-orang saling mengenal, atau setidaknya orang-orang akan menjalin pertalian seperti keluarga, persahabatan, dan berbagi pandangan maupun kepentingan satu sama lain. Karena ini adalah sebuah komunitas lokal, masyarakat akan memiliki pengetahuan bersama atas komunitas dan lingkungan mereka. Mereka akan menyadari bahwa mereka harus hidup dengan konsekuensi atas keputusan yang mereka buat.
Para anarkis percaya bahwa keputusan harus selalu dibuat di dalam level sekecil mungkin. Setiap keputusan dimana para individu bisa memutuskannya untuk diri mereka sendiri, tanpa mencampuri keputusan individu lainnya, yang juga harus membuat keputusan mereka sendiri. Setiap keputusan yang dibuat oleh kelompok kecil ( seperti keluarga, kongregasi relijius, organ-pekerja, etc ) sekali lagi adalah keputusan mereka sendiri dan tidak diperkenankan mencampuri keputusan kelompok yang lain. Keputusan-keputusan antar kelompok yang menyebabkan benturan yang signifikan, jika benar-benar dikhawatirkan oleh semuanya, dapat membentuk sebuah dewan ekstra untuk bertemu dan menangani masalah.
Dewan komunitas semacam ini bukanlah legislator. Tidak ada satupun yang dipilih, jadi mereka harus mengajukan diri atau diputuskan melalui mufakat untuk mewakili komunitasnya masing-masing. Karena masyarakat harus berbicara untuk diri mereka sendiri. Dan ketika mereka akan membicarakan isu lebih spesifik disitu, mereka cukup sadar bahwa bagi mereka, menang bukanlah, yang dikatakan oleh pelatih grup sepak bola Vince Lombardi, “segala-galanya.” Mereka menginginkan semua orang untuk menang. Mereka menghargai pertemanan dengan tetangga. Yang harus mereka lakukan, pertama, mereduksi kesalahpahaman yang ada dan mengklarifikasikan isu. Seringkali tindakan semacam ini sudah cukup untuk menghasilkan persetujuan. Jika itu memang tidak cukup, mereka dapat melakukan kompromi. Namun seringkali tindakan pertama sudah cukup. Jika memang tidak dapat berjalan sama sekali, dewan dapat menunda isu, selama isu ini tidak membutuhkan keputusan yang cepat, agar keseluruhan komunitas dapat merefleksikannya dan mendiskusikan masalah tersebut di pertemuan selanjutnya. Jika benar-benar gagal, komunitas yang berselisih pandangan terpaksa harus berpisah sementara waktu. Kedua pihak di kemudian hari akan dipertemukan kembali dan harus mengajukan apa yang mereka inginkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

KEHIDUPAN MASYARAKAT ANARKIS SEKARANG
Singkat kata, anarkisme sudah dianut masyarakat primitif yang hidup berabad silam. Para pemikir diantaranya Diogenes kaum Cynic pada peradaban Yunani Kuno dan Lao Tse di era China Kuno. Negara baru berumur beberapa ribu tahun, dan memakan waktu cukup lama bagi Negara untuk menyingkirkan ‘masyarakat anarkis yang terakhir,’ seperti para San ( Bushmen ), para orang-orang kerdil dan suku Aborigin Australia. Pada skala lokal, suku-suku minoritas di Indonesia pernah, dan sebagian masih, menerapkan anarkisme dalam kehidupan mereka. Diantaranya suku Anak Dalam, suku Baduy dan suku Mentawai. Proses alienasi terhadap mereka pun sudah dan masih berlangsung sampai sekarang.
Beberapa waktu lalu ada sebuah berita di surat kabar nasional tentang suku Anak Dalam yang kian merana. Karena hutan rimba tempat hidup dan mencari makan mereka telah habis dibabat untuk keperluan industri kayu dan perkebunan sawit. Padahal mereka sudah menghuni kawasan hutan sejak lahir, dan tak pernah mencederai barang sebatang pohonpun, karena ajaran yang diwariskan leluhur mereka, hutan adalah tempat menyandarkan hidup, maka kalau hutan rusak, mereka tidak akan bisa bertahan hidup. Apa mau dikata, tidak hanya bahaya kelaparan yang mengancam, bahkan mereka terusir dari ‘ rumah ‘ yang sudah dihuni berpuluh tahun , dan sebagai gantinya terpaksa menempati perkebunan dan ladang milik warga dengan mendirikan tenda-tenda plastik sekedar untuk berteduh dari panas dan hujan.

Tahun 1950-an pemerintah daerah setempat mengadakan Rapat Tiga Agama di pulau Siberut, Kep.Mentawai. Pada rapat itu diputuskan, orang-orang Mentawai harus meninggalkan kepercayaan asli mereka, Arat Sabulungan ( atau adat daun-daunan, yaitu sebuah kepercayaan yang mengajarkan bagaimana orang Mentawai hidup seimbang dengan daun-daunan, pralambang dari pepohonan dan alam sekitar ). Mereka harus memilih diantara tiga agama ‘ resmi ‘, Islam, Kristen Katolik atau Kristen Protestan. Bersamaan, rumah-rumah adat hasil karya nenek moyang mereka dibakar. Tradisi tato dan meruncing gigi dilarang. Demikian pula profesi Sikerei ( tabib, penasehat suku ). Sebagian kecil orang Mentawai yang kecewa dengan keputusan tersebut memilih menyingkir ke dalam hutan, sembari mempertahankan tradisi dengan susah payah. Dan menelan pil pahit berupa penyakit malaria yang kerap menelan korban jiwa, kesulitan mengenyam pendidikan tinggi bagi anak-anak mereka, dan cap ‘ orang aneh ‘ mengikuti mereka yang turun ke perumahan pendatang. Sulit dipercaya, keputusan yang demikian mengejutkan dan memalukan pernah dibuat oleh sebuah negara bernama Indonesia yang katanya menjunjung tinggi penegakan Hak Asasi Manusia. Adakah media kita yang berani mengungkap tragedi ini seheboh Bank Century ?

'ANARKI' DI DALAM HATI KITA
Bangsa Indonesia dikenal dengan tenggang rasa dan toleransinya yang kuat. Selalu menyambut dengan tangan terbuka kepada siapa saja dan bersedia berkompromi demi menjaga ketenangan suasana. Tetapi, di masa lalu pihak luar atau pendatang telah secara semena-mena memanfaatkannya demi kepentingan mereka sendiri. Maka seperti inilah wajah bangsa kita sekarang. Menelan mentah-mentah semua paham, ideologi, gaya hidup bahkan agama. Dan kehilangan jati diri karena tidak bisa berkata ‘ tidak ‘. Kompromi untuk ‘ menjaga ketenangan ‘ telah bergeser menjadi ‘ ketertiban dan keamanan ‘. Perbedaannya ‘ ketenangan ‘ tercipta dari kesadaran tiap individu. Sedangkan ‘ ketertiban ‘ adalah sesuatu yang mengandung unsur memaksa, datang dari seseorang yang memosisikan dirinya jauh di atas tiap individu di wilayah tersebut.

Jika kita dapat memutar kembali waktu, semestinya, dahulu saat paham-paham asing beserta anteknya berdatangan, bangsa kita selain menyambut dengan ramah tamah harus mengajukan syarat-syarat yang wajib dipatuhi. Tak luput pula mempertahankan sedikit hal yang diyakininya dan tak boleh dilupakan begitu saja. Seharusnya, bangsa kita pun musti mempelajari semua paham baru yang masuk dengan teliti dan tuntas, jadi tidak ada lagi yang namanya pemahaman setengah-setengah. Pada waktu itu bangsa kita menganggap remeh semua hal yang berasal dari masa lalu. Dianggap kuno, ketinggalan zaman, dsb. Padahal belum tentu semua yang baru itu baik dan cocok. Paham-paham baru tidak pernah menghargai tata cara, sopan santun, adat istiadat dan proses dalam mencapai tujuan. Dan indoktrinasi mereka sudah ‘ memaksa ‘ bangsa kita untuk mematuhinya tanpa memberi kesempatan untuk bertanya atau berbeda pandangan. Maka, seperti inilah wajah bangsa kita sekarang. Kehilangan jati diri dan merangkak pelan menuju jurang kehancuran.

Kaum anarkis tidak biasanya menawarkan cetak biru, tapi mereka menawarkan cara-cara menuju hal tersebut. Mereka berpendapat bahwa ‘mutual aid’ – kerjasama dan bukannya kompetisi – adalah basis utama dalam kehidupan sosial. Mereka berpendapat bahwa keberadaan masyarakat dipertahankan demi kepentingan setiap individu, dan bukan sebaliknya. Anarkis menentang keras konsep sentralisasi, hirarki atas ke bawah, dimana semakin tinggi pemerintahan semakin tinggi pula kekuasaannya. Semakin besar kekuasaan semakin besar pula kesempatan para penguasa untuk menyalahgunakan kekuasaan dan bersikap sewenang-wenang.

Etik D.I.Y –Do It Yourself- lakukan sendiri, disini bukan berarti bebas dari aturan siapapun atau batas apapun. Dalam konteks ini manusia memang diberi kebebasan untuk memilih, berkehendak dan berbuat apa yang diinginkannya. Namun, ia tetap dihadapkan pada segala konsekuensi dari tindakan dan ucapannya. Dengan menjadi anarkis manusia akan belajar dari pengalaman dan menuntun dirinya sendiri kepada suatu kesadaran, ucapan atau perbuatan yang seperti apa yang tidak hanya menguntungkan ia tapi tidak merugikan orang lain di sekitarnya. Itulah kunci dari anarkisme, gabungan dari ‘ rasa ‘ untuk berbagi, menghargai sesama, merdeka sekaligus bertanggung jawab. Tidak sulit ‘kan ?

0 comments:

Post a Comment