Monday, May 30, 2011

"Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting daripada hasil sendiri. “
(bab 3, ilmu alam -science page 99)
— Tan Malaka (Madilog)

Umur panjang di mata kaum berdaya hidup rendah dan terlalu banyak menelan kekecewaan di usia muda dipandang sebagai siksaan, yang hanya bisa diakhiri oleh kematian. Maka, mereka mengambil jalan pintas di penghujung tali jemuran maupun lubang sumur. Sedangkan di batin mereka yang masih tabah, umur panjang adalah berkah. Yaitu masih diizinkan untuk menyaksikan, kalau perlu turut serta dalam perubahan lingkup lokal, nasional maupun global.

Ada sebersit pengharapan di balik kata ‘perubahan’. Misalnya, perubahan musim dari musim penghujan ke musim kemarau besar artinya bagi para petani. Karena ladang, kebun dan sawah mereka bakal mendapat cukup sinar matahari untuk hasil panen maksimal. Begitu juga dengan perubahan mode dan teknologi, yang akan disambut dengan gembira oleh kaum muda-mudi yang dahaga berkepanjangan terhadap hal-hal baru demi mengaktualisasikan keberadaan diri masing-masing, sekaligus memungkinkan para industrialis di bidang tersebut untuk menangguk untung sebesar-besarnya.

Namun, ada satu perubahan dalam skala nasional yang sampai sekarang saya sesalkan. Ia bernama ‘reformasi ‘. Sebagai anak muda di awal masa akil balig yang masih dipenuhi semangat menegakkan keadilan ideal yang menyala-nyala, saya dan sejumlah mereka yang setia turun ke jalan saat itu telah melakukan kesalahan besar dengan sama sekali tidak memprediksikan ke arah mana angin bertiup paska turunnya sang Jendral sepuh Soeharto. Siapa sangka ternyata orde reformasi yang diperingati tiap tahun di bulan Mei sejak 1999 itu nyaris gagal mewujudkan perubahan signifikan. Malah kian menjauh dari cita-cita para founding fathers sebagai bangsa yang besar, bergengsi dan tidak malu-maluin.

Bukan Mie Instan, Katanya
Sudah enak, bikinnya cepat, gampang lagi. Semua kelebihan itu membuat mie instan disukai masyarakat segala lapisan dan usia. Kaum pengusaha warung dan toko kelontong menyukainya karena cepat laku dan tidak bakal basi. Kaum anak kos menyukainya karena dapat diandalkan sebagai pengganjal perut di tanggal-tanggal kritis alias menjelang akhir bulan. Kaum ibu menyukainya karena dapat menjadi alternatif makanan di kala putra-putri tersayang mendadak sulit makan.

Namun, mie instan ternyata menggenggam senjata mematikan di balik kelezatan cita rasanya. Zat pengawet mie kering dan bumbunya yang mengandung MSG ( monosodium glutamat ) mengancam kesehatan para penggemarnya. Mulai dari kanker, hipertensi, gangguan pencernaan, gangguan tidur sampai penurunan kecerdasan. Meski produsen mie instan ramai-ramai melontarkan bantahan, korban tetap berjatuhan.

Hikmahnya, apa yang dari luar nampak lezat, mudah, menyenangkan plus cepat, dalam artian tidak perlu bersusah payah untuk meraih/ mewujudkannya, belum tentu 100 % aman. Demikian juga dengan yang namanya perubahan ( sambil menghidupkan tombol ‘ menghibur diri ‘ mode on ). Revolusi ( definisinya menurut Eyang Wikipedia adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat ) mungkin adalah pilihan terakhir bagi mereka, rakyat yang habis kesabaran menunggu bergantinya rezim, situasi ekonomi plus nasib, dari yang lama, usang dan bulukan kepada yang baru, hangat dan kinyus-kinyus. Tapi apakah revolusi 100 % aman ?

Perubahan memang bukan mie instan, yang siap dinikmati dalam tempo 3 menit saja. Menjatuhkan pilihan kepada perubahan sama artinya dengan menjatuhkan diri sendiri ke dalam medan pengembaraan abadi. Kita bisa tersesat bila tak pandai-pandai membaca kompas. Kalaulah memang perubahan itu begitu mbulet, berliku bak benang jahit ruwet tak tentu arah, membumihanguskan segenap sumber daya hingga ke dasar, menyayat-nyayat hati karena tak sesuai dengan harapan, ngapain juga kita musti ngoyo berubah atau mengada-adakan perubahan ? Bukankah lebih baik berdiam dengan selamat di keadaan semula, yang stabil, mapan, statis, aman dan stagnan ?

Hati-Hati Di Jalan, Sayang
Tan Malaka dalam Madilog juga mencetuskan, ada empat hal yang mempengaruhi pola pikir penduduk suatu negara. Yaitu : pertama, Wilayah. Pola pikir penduduk negara kelautan alias maritim yang selalu waspada terhadap perubahan cuaca dan arah angin laut jelas berbeda dengan pola pikir penduduk negara agraris yang cenderung mengambil jalan tengah demi menjaga ketenangan dan ketentraman bersama. Kedua, Iklim. Pola pikir suku Eskimo penghuni Kutub Utara yang berkonsentrasi penuh mengatasi satu musim saja seumur hidup mereka, yaitu musim dingin, jelas tak ada miripnya dengan pola pikir suku bangsa penghuni benua Eropa yang musti beradaptasi dengan empat macam musim yang datang silih berganti setiap tahunnya.
Ketiga, Teknologi. Apa sebab manusia zaman sekarang mudah sekali meluapkan emosi baik secara fisik maupun verbal ? Karena mereka sudah terlanjur dimanjakan oleh kemajuan teknologi. Tidak bisa mengirim SMS ( pesan singkat ) karena keterbatasan kapasitas jaringan provider seluler saja sudah mengeluarkan serapah kebun binatang. Bandingkan dengan 10 tahun sebelum sekarang, saat sebagian penduduk di bagian terpencil negeri ini musti menunggu berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk menerima sepucuk surat dari handai taulan di pulau seberang.
Keempat, Kelas Yang Sedang Berkuasa. Warga negara yang baik adalah mereka yang selalu tunduk kepada perintah pemimpinnya. Di mata rakyat jelata pemimpin adalah Justin Beiber, bintang pujaan sekaligus pencetus tren. Mereka memilih pemimpin berdasarkan kesepakatan bersama, bahwa sang A adalah sosok linuwih ( berkelebihan ) dan dianggap paling tahu dan mampu memutuskan dan menerapkan cara-cara mustajab menuju keadilan dan kemakmuran merata. Asal usul kelas/ lapisan masyarakat darimana sang pemimpin itu berasal turut andil dalam pengambilan kebijakan/ keputusan yang akan, sedang atau sudah dibuatnya. Dan dengan sendirinya mempengaruhi pola pikir masyarakat awam untuk berpikir dan bertindak sebagaimana dicontohkan sang pemimpin kepada mereka.

Karena pikiran adalah hasil dari proses menahun sepanjang hayat, baik melalui kontemplasi mencari kebenaran dengan upaya sendiri, maupun buah dari indoktrinasi tanpa henti. Maka merubah jalan liar pikiran tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Namun antiklimaks pemikiran segolongan manusia bisa datang tiba-tiba akibat terpaan badai berantai, yang tak hanya memusnahkan harta benda dan jiwa namun juga harga diri, resistensi dan progresivitas cakrawala pemikiran mereka. Dahulu kala boleh nenek moyang kita menepuk dada sebagai bangsa maritim berkepribadian kokoh nan digdaya. Ketangguhan itu sedikit demi sedikit terkikis bukan oleh datangnya pengaruh-pengaruh dari luar apapun juga. Melainkan karena perang diantara sesama saudara yang saling memperebutkan tahta di penghujung senjakala kerajaan Majapahit. Manakala para raja dan abdi setianya sibuk mengadu otot tentang siapa yang terkuat dan mumpuni memimpin negara, rakyat jelata hanyalah penonton sandiwara. Lantaran bosan, capek dan bingung kehilangan teladan dan kebijaksanaan dari para pemimpin yang mulia, mereka membubarkan diri, meninggalkan perahu perang dan senjata, lalu pergi jauh ke pedalaman. Singkat kata, berakhirlah peradaban agung Nusantara sebagai bangsa maritim oleh kekurangpandaian penguasanya sendiri.

Apakah kita musti meratapi kesialan ini ? Cup,cup,cup ... Jangan menangis, Sayang. Kegagalan itu sendiri sudah cukup ampuh melukai harga diri. Janganlah kita menambah penderitaan hati yang luka dengan segala bentuk manifestasi perasaan negatif ( minder, takut gagal, iri, syak wasangko, dst. ). Kita hanya akan memanen apa yang kita tanam. Sudah menyemai bibit apel, tidak mungkin akan mengunduh jengkol, apalagi petai. Jagalah api gairah untuk melakukan perubahan, ( kemungkinan besar sekali ) itulah kuncinya. Perubahan diawali dari dalam semangat Anda semua. Jika dan hanya jika ia stabil, Anda bisa menggeser cara dan sudut merespon sebuah maupun semua masalah. Babak demi babak drama kehidupan masing-masing akan memberi petunjuk apa, mengapa dan bagaimana kita harus merubah.

OK. Selamat Jalan. Semoga Anda selamat sampai tujuan … !

DARKLIGHT

Friday, May 6, 2011

ADU NASIB

Wednesday, April 13, 2011

“ Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri “ ( QS Ar-Ra'd 13 : 11 )

Zaman ini dari hari ke hari makin ajaib. Untuk bertahan hidup kita tak cukup mengandalkan kekokohan pribadi, ilmu pengetahuan dan teknologi, makanan bergizi, moral dan keimanan setinggi langit, dan, terakhir, ilmu kebal. Ilmu kebal ? Ya, ilmu kebal alias anti terhadap serangan apa saja. Kebal senjata tajam, kebal santet, kebal pelet, kebal api dan kalau bisa kebal hukum sekalian. Agar Anda bisa menjadi despot tersukses, dan meraih segala keinginan dengan banyak perang kata-kata, hujan air ludah dan sedikit kerja keras. Para penonton di pinggir lapangan bertanya-tanya, di perguruan silat manakah sang pendekar mendapatkan ilmu kebal semandraguna itu ? Kalau muridnya saja sudah sehebat ini, apa jadinya jika sang guru turun gunung dan mengobrak-abrik rimba persilatan dengan ilmu kebal versinya yang lebih

Toh demikian, masih ada satu jenis ilmu kebal yang belum dikuasai sang master, yaitu ilmu kebal malu alias rai gedhek. Berhubung master silat kita ini ternyata masih keturunan Jawa, yang tersohor sebagai pejuang wibawa dan harga diri a.k.a gengsi, beliau lebih memilih berkelit kesana-kemari ketimbang mengakui kesalahan. Lebih mudah melempar batu kesalahan kepada bawahan daripada menundukkan tubuh dalam-dalam dan mengundurkan diri secara terhormat ala samurai Jepang. Orde Baru memang sudah lama tumpas. Hanya jejak kakinya sulit dihapus waktu. Orang-orangnya memang sudah dihakimi ajal. Namun doktrin-doktrin mereka masih tertanam subur di benak dan sel-sel kelabu otak kita.

Di masa 80-an para orang tua anak gadis tak rela anaknya dinikahi lelaki biasa-biasa saja. Mereka menginginkan calon menantu dari golongan menengah atas yang bisa dipamerkan ke kolega-koleganya atau di ajang arisan keluarga. Para gadis era 80-an itu kini sudah menjelma jadi ibu-ibu perumahan yang selalu punya waktu luang untuk bergosip di pagi hari, menyelidiki siapa tetangga yang baru beli sepeda motor atau berapa jumlah ponsel yang dimiliki si F. Nah, karena semasa muda sudah didoktrin untuk mendahulukan penampakan luar, maka mereka pun ogah ketinggalan dan kalah bersaing dengan tonggo teparo ( tetangga sebelah menyebelah ) nya yang notabene adalah orang-orang asing yang tinggal dan mengetahui secara terperinci polah tingkahnya sehari-hari. Maka para bapak perumahan adalah korban kekerasan dalam rumah tangga di saat mereka tak berkutik terhadap rengekan kaum ibu yang menginginkan barang-barang tersier. Tak ada pilihan lain, berhutang adalah jalan keluar satu-satunya supaya bisa tetap makan nasi, isi bensin dan kontinuitas uang jajan anak-anak. Pilihan yang mendilematiskan. Mengingat imbas dari berhutang adalah peperangan babak dua selepas pulang kantor : tawar menawar dengan para  debt collector alias penagih utang.

Awal yang Bahagia
Buah jatuh dari pohon tidak akan jauh berbeda dari bibit yang sudah ditanam berpuluh tahun sebelumnya. Itu juga kalau si pohon beruntung tidak kena penyakit, digusur proyek real estate atau kena pelebaran jalan, lolos dari kebakaran hutan, dan cukup kokoh untuk di K.O tsunami. Pada saat sebutir bibit dikubur di tanah, para penanamnya dianjurkan bertafakur mengucapkan doa. Karena dalam kegelapan under ground bibit kecil itu memulai perjalanannya, sendirian. Dalam genggaman Waktu ia berserah diri, kapan dan jam berapa tunasnya boleh memulai mengaktualisasikan eksistensinya. Saatnya kualitas bibit itu mengambil alih kendali. Cukup cerdikkah ia untuk memilah, memilih dan memutuskan cara, metode, jalan mana yang ditempuhnya untuk merambat ke atas mentransformasikan diri sebagai tumbuhan baru gede.

Pada babak ini Anda memerlukan sedikit kerja keras dalam rangka mempraktekkan segala ilmu, pengetahuan, ajaran agama, kepercayaan dan nasehat orang tua yang sekian puluh tahun dijejalkan bulat-bulat. Juga, adalah ajang  trial and error untuk membuktikan dengan mata kepala sendiri kesahihan teori-teori serta doktrin-doktrin tersebut. Jikalau Anda tak sempat meraih gelar sarjana di perguruan tinggi ternama, masih ada sebuah kampus kehidupan lain yang menerima Anda dengan tangan terbuka. Anda tak perlu khawatir adanya kenaikan SPP maupun SKS, karena disini semuanya tinggal ambil. Anda tinggal memikirkan bagaimana agar kaki tidak keliru mengambil langkah. Karena tiap jalan yang Anda pilih menuntut pembayaran tunai yang disebut konsekuensi.

Sepanjang hayat kita selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dan Anda bebas pergi jika jalan pilihan Anda itu ternyata keliru, atau terhalang galian kabel telepon di tengah-tengahnya. Ketika memutar arah, terbitlah penyesalan : membuang waktu demi menempuh jalan buntu. Namun kiamat ( mungkin ) masih jauh dan selagi masih mampu bernafas dan bercinta hidup belumlah berakhir. Mari merunut ke titik awal sebelum kita melangkah. Disini kompas kita rusak, dan tak seorangpun yang bisa dimintakan nasehat dan petunjuknya musti lewat jalan yang mana lagi kita lanjutkan perjalanan. Maka beristirahatlah sambil minum secangkir kopi, Kisanak. Karena sebagian besar dari kita tak dikaruniai kemampuan untuk meramal nasib, maka tak ada salahnya kita manfaatkan rehat minum kopi tersebut untuk menganalisis possibilities dan probabilities, segala kemungkinan terbaik maupun terburuk. Oya, sambil meningkatkan abilities ( kemampuan ) kuatnya kaki kita untuk melangkah tentunya.

Who Dare Lose ?
Bekal sudah cukup, badan sudah bugar, amunisi full loaded. Nah, apalagi yang kurang ? Sekarang kita siap dan lebih siap lagi untuk menaklukkan medan perang. Siap untuk menjelajah jalan tol berlubang berkerikil tajam-tajam, menyusuri kedalaman jurang, melayari lautan tenang yang menyembunyikan rapat-rapat tsunami di dasarnya, gunung-gunung tinggi yang memelihara api di dalam perutnya, dan menjelajahi hutan rimba yang masih dikuasai para raja berhati singa, harimau, onta maupun buaya.

Memang benar dalam peperangan abadi sampai mati ini kita tidak sedang melawan siapa-siapa selain diri kita sendiri. Sudah kuat atau masih lemahkah kita untuk memandang lurus ke depan, dan bukannya mendongak ke atas untuk mengagumi kesuksesan orang-orang mapan, atau menoleh ke samping untuk menggosipkan nasib sial para tetangga, atau menelusuri ke bawah untuk mengasihani kemalangan para tak berpunya, atau menengok ke belakang untuk sibuk bernostalgia mengenangkan kejayaan masa lalu. Lamanya perjalanan tiba ke tujuan memang membosankan kalau kita hanya duduk diam menanti Tuhan mengganti nasib lama kita dengan yang baru. Kebosanan pun bisa membunuh karena berpotensi mengalihkan fokus seseorang kepada hal-hal pengisi waktu luang yang sekilas gemerlapan, dan merayu kita untuk sebentar-sebentar beristirahat. Salah ? Tidak juga. Karena sifat alami manusia adalah fleksibel, rindu kedinamisan dan kebaruan, meski sebatas penampakan luar. Dan disertai dengan sebersit angan-angan, seolah-olah nasib mereka berubah ketika mereka berganti mode pakaian dan tipe ponsel paling mutakhir.

Tiada seorangpun di dunia ini bercita-cita jadi pecundang yang kenyang kekalah.an Tetapi mustahil rasanya semua manusia jadi pemenang. Bukankah karena ada kekalahan jugalah naka kemenangan jadi terasa sangat berarti ? Bukankah karena adanya hitam maka putih jadi nampak berkilauan bahkan dalam temaram ? Dunia sejak zaman baheula selalu terbentuk dan terdiri dari kontradiksi-kontradiksi dua sisi mata uang logam yang tak pernah akur. Mereka ibarat Kurusetra Pandawa-Kurawa, saling berebut untuk tampil ke muka. Dan sama-sama tidak sadar sedang rebutan ( saling berebut ) menanggung konsekuensi. Syukurilah jika kekalahan ternyata masih betah menjadi milik Anda. Karena konsekuensinya ‘cuma’ bekerja dan berikhtiar lebih keras lagi. Siapa bilang konsekuensi pemenang enak-enakan, titik ? Contoh : Kesebelasan Prancis boleh menepuk dada keras-keras tatkala berhasil mengangkat Piala Dunia tahun 1998. Mungkin kemenangan yang tak diramalkan para pengamat sepak bola telah membuat mereka lupa daratan dan lautan. Apa mau dikata, kegemilangan itu tak terulang lagi di dua kali perhelatan Piala Dunia sesudahnya. ( tahun 2002 dan 2010 ). Tim Prancis gagal lolos babak penyisihan. Mereka terpaksa menanggung malu besar-besaran baik di luar, maupun di rumah sendiri.

Maka, ingat dan waspadalah selalu, apapun dan dimanapun posisi Anda saat ini. Entah Anda sedang di atas mengangkat bendera kejayaan, ataupun sedang merangkak bersimbah darah untuk bertahan hidup.

Hidup-mati, susah-senang,menang-kalah sama saja.
Tak ada yang abadi ‘kan ? ( by : dm.swastantika )

STRAIGHT ( UP )

Monday, February 28, 2011

MIMPI JAHANAM

Tidak ada orang tua di belahan manapun di planet ini yang tidak menginginkan anugerah berwujud anak cerdas. Mungkin itulah alasan sebagian orang tua dari kalangan mampu cenderung konsumtif akan segala jenis dan merk vitamin peningkat daya kerja otak, dengan harapan kecerdasan akan muncul kepada anak mereka yang ternyata kurang cerdas. Sementara yang lain mengirim anak-anak mereka untuk les privat ini itu, meski sang anak berulang kali jatuh sakit kelelahan. Mereka beranggapan bahwa kecerdasan identik dengan nilai-nilai indah di bangku sekolah. Sedangkan nilai-nilai indah, apalagi kalau bisa instan lulus sebelum waktunya, adalah jaminan mendapat pekerjaan bermasa depan cerah. Berangkat dari asumsi semua pekerjaan bermasa depan cerah adalah semua pekerjaan yang menghasilkan uang melimpah ruah, terang benderang bahwa para orang tua sudah jengah dengan kondisi ekonomi yang belakangan kian jauh dari sejahtera dan berharap cemas agar anak-anak mereka jangan sampai terjerembab ke liang bencana yang sama.


Di masa sekolah kita dulu, anak-anak ber-IQ ( intelligence quotient ) tinggi menjadi anak emas guru kelas dan kebanggaan orang tuanya. Sekarang trend itu sudah bergeser. Usut punya usut, anak dan atau orang dewasa yang cerdas itu ternyata adalah mereka yang juga ber-EQ ( emotional quotient ) tinggi.
IQ ( kosien kecerdasan ) merupakan potensi genetik yang terbentuk saat lahir dan menjadi mantap pada usia tertentu saat pra-pubertas, dan sesudah itu tidak dapat lagi dikembangkan atau ditingkatkan. Sebaliknya, EQ ( kecerdasan emosi ) bisa dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan pada segala umur ( Shvoong.com ). Kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat ( Selayang Pandang IQ, EQ dan SQ ; Oleh: Ubaydillah, AN
Jakarta, 19 Mei 2004, Detik Forum ).
Maka, beruntunglah mereka kaum yang tidak cuma punya IQ , namun juga ber-EQ tinggi. Yaitu mereka yang dianugerahi kemampuan dan berhasil mempertemukan antara ujung emosi dengan pangkal akal.
Berangkat dari konklusi bahwa manusia seutuhnya adalah yang mampu menyetarakan baik IQ, EQ sekaligus SQnya, maka tidak apa-apa kan kalau saya tuliskan disini : orang-orang yang mendadak brutal karena hal-hal sepele, remeh dan uncertain adalah belum atau setengah manusia ?

Delusi Sensasi
Gamers online sedunia maya dewasa ini tak ada yang tak kenal dengan Point Blank, Crossfire, SEAL, Perfect World, dlsb., yang merupakan sebagian kecil game online ternama yang digemari anak muda segala usia. Seperti ada kebanggaan tersendiri kala berhasil mengheadshot musuh hingga darahnya muncrat kesana-sini. Bukan hanya kenaikan pangkat ( peringkat ), namun juga gengsi di mata kawan-kawan sebaya. Dunia game online sudah menjelma jadi rumah kedua mereka, para manusia kecil yang butuh tempat untuk membantai mampus rasa kesal dan frustasi bertumpuk akibat omelan guru dan amarah orang tua.
Di jejaring sosial Facebook ada permainan Texas Hold’em Poker dan Glamble Poker yang biasanya dimainkan para neters usia dewasa dan remaja. Permainan ini sempat diidentikkan dengan judi, karena sang pemenang bisa mengantongi chip bernilai M ( miliar )-M an. Anggapan itu jelas keliru karena chip tidak bisa diuangkan dan hanya bisa dipakai untuk bermain dari satu meja ke meja lain yang nilai blind ( taruhan )nya lebih tinggi/ rendah. Permainan ini memungkinkan para pemain untuk bermain satu meja dengan teman-teman FBnya, mendapat kenalan pemoker bule dan mendapat kiriman chip jika mereka kalah taruhan. Meskipun hanya uang-uangan, namun sensasi jadi pecundang , sejam kemudian jadi pemenang, mampu membikin dada deg-degan dan lupa sejenak akan kejaran penagih utang.
Kaum pendidik dan pengamat sosial telah ratusan kali memfatwakan buruknya efek internet. Tapi itu toh belum berhasil menjauhkan kita dari layar monitor. ‘ Kehidupan ‘ lain di sana, di dalamnya lebih mengasyikkan dibanding disini, jagad kasunyatan yang lebih sering pahit. Ada yang bilang itu semua jebakan maya dan sengaja dibuat demi mengisi kantong tebal seseorang. But, who cares ? Sejak kapan dalam sejarah hidup manusia, kegiatan menyenangkan diri sendiri minus cawe-cawe ( ikut campur ) orang ketiga, keempat, kesepuluh, dst. menjadi sesuatu yang dilarang dan dihukum berat ? Misalnya, kasus Ariel Peterpan. Vonis 3,5 tahun untuk seorang maniak seks jauh lebih berat daripada koruptor kelas kebo. Rasa-rasanya tidak dapat ditemukan di belahan Bumi manapun selain Indonesia.
Apabila nafsu ( syahwat, angkara dan riba’ ) mampu memupuk delusi tumbuh tinggi besar dan mendatangkan sensasi luar biasa pada para penderitanya, maka logis kan kalau saya katakan takut dan ketakutan juga sama berbahayanya ? Misalnya, Anda takut dan gilo ( sangat jijik ) sama yang namanya tikus. Dan Anda benci sekali mengapa binatang sekecil itu tega mendatangkan rasa takut setengah mati. Jadi Anda pun jadi tak merasa bersalah jika di kemudian hari, mempersonifikasikan sosok pemakan uang yang bukan haknya alias koruptor, ibarat tikus pula. Toh mereka sama-sama menjijikkannya, pikir Anda. Padahal para koruptor juga punya keluarga dan anak cucu, yang sangat mungkin akan sakit hati kalau tahu ayahanda, ibunda, paman, bibi, kakek atau nenek mereka disamakan dengan tikus. Sakit hati tanpa disertai penerimaan sama dengan menanam bibit dendam. Sedangkan memelihara dendam adalah sama dengan menumpahkan berkilo liter bensin dan menunggu nyala korek api nyasar memberangus semuanya. Coba bayangkan bila suatu hari nanti keluarga para koruptor itu bersatu padu mengumpulkan dana dan berhasil memobilisasi massa untuk balik mendemo kita para penonton, trus mendadak demonya rusuh, lempar-lemparan batu, bakar-bakaran, dll. Aduduh .. !

Mengobati Mimpi
Di suatu pagi secara tak sengaja saya membaca sebuah tinjauan di situs Kompas.com berjudul Ekonomi RI Masuki Pertumbuhan Emas ( 25/02 ). Disitu tertulis kutipas seorang pejabat pemerintah : ”Komoditas mengalami kenaikan harga, demikian juga dengan sektor mining. Peningkatan harga tersebut membuat pasokan uang bertambah. Akibatnya daya beli masyarakat pun ikut naik,” . Oh, alangkah indahnya, batin saya. Tak seorangpun warga di negara manapun enjoy dengan label ‘ prasejahtera ‘, ‘melarat ‘, ‘ terpinggirkan ‘, ‘ marjinal ‘ dan seabrek sebutan mengenaskan lainnya. Manakala pihak-pihak berwenang mengucap optimisme perubahan kesejahteraan, saya yakin rakyat turut senang. Artinya, orang-orang pilihan mereka di pemerintahan ternyata masih punya komitmen untuk mengorganisir segenap kemampuan, sumber daya, modal, ilmu, ( dan mimpi ) hingga titik darah penghabisan guna menegakkan kemakmuran merata.
Mimpi dan bermimpi tidak ada yang melarang. Karena aktifitas ini adalah hak pribadi tiap manusia hidup, dan mungkin perlu dimasukkan dalam salah satu kategori hak asasi manusia untuk menjamin kerahasiaannya ( mimpi indah, mimpi buruk, mimpi lain-lain .. ). Dugaan sementara menyebutkan relasi kuat antara dunia nyata dan mimpi. Perasaan senang, sedih, kecewa, takut , khawatir, bersalah maupun tertekan di masa lalu dan sekarang tidak serta merta hilang bersama hari, bulan dan tahun berganti. Jejak-jejaknya terselip di sela-sela otak dan ia akan menggeliat bangun dalam tidur kita. Mencari pengakuan dan mengingatkan si penderita mimpi akan keberadaannya.
Jika mimpi-mimpi manis adalah pertanda harapan, cita-cita dan keinginan yang belum tercapai, maka mimpi buruk adalah pertanda ketidaknyamanan suasana batin kita sendiri. Tidak nyaman, ganjalan dan kurang sreg artinya diri sejati Anda masih berfungsi baik untuk merasakan sesuatu yang kurang benar pada langkah dan gerak keseharian Anda. Namun sungguh tidak mudah untuk mencari sumber masalah, apalagi membabat habis hingga ke akar-akarnya. Karena tanpa pengakuan telah mencederai kenyamanan batin sendiri, maka selamanya kita hanya terjebak pada lingkaran klise, menyalahkan orang-orang luar atas tragedi yang kita alami.
Jika mimpi buruk adalah jamu mustajab untuk membangunkan si tukang molor dari tidurnya, maka mimpi indah membikin kita betah berkelana di alam tidur selamanya. Tidak usah buru-buru bangun. Tidak usah bekerja keras mencari uang penutup lubang hutang, karena toh sudah bisa mimpi indah.
Iya ? Tidak usah hidup aja sekalian …

MEMBANGUNKAN SI PUTRI SALJU

Friday, December 31, 2010

"Sejarah akan menang. Dunia akan diangkat ke tempat yang lebih baik. Akankah kita bertahan? Itu tergantung pada Anda "  (WikiLeaks Inggris,situs AFP)

Di penghujung tahun ketenangan rimba politik internasional mendadak diceraiberaikan oleh insiden bocornya dokumen-dokumen rahasia Amerika Serikat dan beberapa negara lain termasuk Indonesia,  yang diprakarsai oleh situs Wikileaks mencuat ke publik beberapa waktu yang lalu. Serangan balik bertubi-tubi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan pun membombardir Wikileaks. Mulai dari penutupan domain servernya di Amerika, penutupan sejumlah rekening milik situs tersebut, sampai penangkapan sang juragan ;sekaligus pendiri, Julian Assange ( yang kemudian dibebaskan dengan jaminan lalu dikenakan wajib lapor kemudian dipasangi semacam chip di tubuhnya agar yang berwajib mengetahui kemana ia pergi, siapa yang ditemuinya dan jam berapa ia pergi ke WC ), atas tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada dua mantan stafnya.  Namun, simpati dan dukungan terhadap lembaga misterius yang bermisi membocorkan informasi rahasia negara demi memerangi korupsi pemerintah dan korporasi tersebut malah mengalir deras. Jumlah pendukung WikiLeaks di Facebook naik dari 500.000 menjadi hampir 960.000 orang hanya dalam waktu tiga hari dari tanggal 3/12 sampai 7/12 lalu, dan sampai tulisan ini dibuat sudah mencapai 1.490.133 orang , dan diperkirakan masih akan merangsek naik.
Bersiap-siaplah, Anak Muda, perang  (ter) baru akan dimulai … katanya sih begitu.

Jangan buru-buru mencurigai kami-kami yang kebetulan berusia muda, sudah dewasa dan atau menjelang sepertiga abad ini. Bukan karena kami maniak setengah mati kerusuhan ala hooligan, gonjang ganjing, chaos, sorak sorai keributan laiknya pekikan sekian desibel dari lantai rumah disko, parade hardcore 17-an atau konser Trio Macan edisi spesial tahun baru. Bukan pula karena kami anggota dari skuad sakit hati yang lapar dan iri hati memandang nanar kepada Anda yang berkantong tebal. Bukan juga karena kami sekelompok preman pengangguran kurang kerjaan, pemabuk dan pezina paruh waktu maupun makhluk-makhluk renta yang menolak jadi dewasa.  Darah muda yang tak kenal kata mengalah adalah bukan 100 %  kesalahan  kami yang secara sah dan meyakinkan telah dengan sengaja memeliharanya. Itu semua adalah semata ‘ kutukan ‘ yang harus kami terima dengan lapang dada karena menjalani nasib menjadi orang muda, dan jangan katakan Anda tidak pernah mengalaminya.

Seperti lautan yang tak pernah bisa diam. Dan udara yang bergerak mengisi ruang-ruang kosong. Juga cahaya yang menembus relung-relung sempit dan kegelapan. Demikianlah, tiada sesuatupun di dunia ini yang mampu menahan, membujuk dan meramalkan ke arah mana alam bergerak. Peradaban manusia memang melaju kencang dan menggila, namun toh manusia belum mampu menciptakan alat pendeteksi kapan gempa bumi akan terjadi. Penguasa dan penentangnya adalah seteru abadi. Seberapa keras dan kejamnya tekanan serta pengawasan, toh penguasa bukanlah paranormal dan ahli spiritual yang mampu membaca pikiran dan menebak reaksi para anak nakal itu selanjutnya. Jikalau Anda para penguasa tidak ingin dianggap super diktator yang anti arif dan bijaksana,  tanggalkanlah sebentar sombongisme jubah kebesaran dan selamilah benak para pembangkang demi mengetahui alasan sekaligus raut muka si akar jahanamnya.

Semasa para nenek moyang kita masih berjaya, mereka membangun dan menegakkan budaya, adat istiadat, peraturan-peraturan, sistem kepercayaan, etika-etika dan norma yang mungkin merupakan hasil kesepakatan bersama ( namun juga tidak menutup kemungkinan semuanya dibuat dan dirancang oleh mereka yang berkuasa dan bermodalkan harta berlebih, alias si nomor satu pada masa itu ). Sebagai dampak dari berjalannya waktu, seperangkat tatanan itu kemudian menjulang ke awang-awang, meninggalkan para anak cucu cicit canggah pendirinya jauh di ketinggian. Melambung nun jauh kesana bagaikan duduk di atas singgasana, sementara mereka yang di bawah tak jemu menatap bercampur iri dengki, merana, tanpa daya ataupun menjilat. Serta merta mendewalah dia tanpa rasa bersalah semena-mena menyogok-nyogok ke atas dan menginjak-injak ke bawah.

Karena kaki sudah lama tidak menjejak tanah, wajarlah jika ia kehilangan sense untuk mendengar bisik-bisik kegelisahan di bawahnya. Kalaulah memang norma, budaya, adat istiadat dan aliran politik dirancang para nenek moyang untuk mengatur hidup agar menjadi lebih baik, lalu mengapa diantara sekian hal tersebut punah merana karena dilupakan, ditinggalkan dan disepelekan ? Penyebabnya bukan 100 % kesalahan era globalisasi, modernisasi, internet, instant messenger, You Tube, dll yang membikin anak-anak kemarin sore gagap, shock lalu bertingkah aneh-aneh. Melainkan karena semua codex tersebut sudah berusia lanjut, mengepala batu karena ngotot mempertahankan kemapanan pribadi, sehingga dengan sendirinya berhenti berpetualang serta berhenti memberikan jawaban, apalagi ketentraman.

Lho, bukannya peraturan dan tata krama ( lama ) diciptakan untuk memberikan ketentraman ? ‘. Lha siapa sih elu kok mau-maunya memberi ketentraman dengan cuma-cuma ?  Bukankah ketentraman adalah buah dari proses panjang, lurus, berliku, berkerikil, menukik tajam, mendaki peluh, tergantung dari jalan mana yang kita pilih untuk meraihnya ? Kita tidak bisa memapankan ketentraman elok rupawan Putri Salju dengan sekedar menaruh rambu-rambu di sepanjang jalan trabasan tikus maupun gang buntu, tanpa mempresentasikan kepada publik dan anak muda tentang alasan dibuatnya rambu-rambu, dan mengapa pula harus diletakkan di situ. Dan yang paling utama, sekuat mana kita berhasil mengukuhkan hukum, norma, etika dan peraturan untuk tegak berdiri dan tak silau terbeli oleh sejumlah kecil dan besar uang.

Kita menginginkan perubahan nasib, betul ?  Kadang kala, angan-angan akan perubahan di masa mendatang terbang secepat kilat mendahului  kemampuan daya upaya tiap-tiap individu itu sendiri untuk berbuat. Kita mengangankan orde reformasi merubah segalanya yang buruk-buruk di orde lampau, termasuk menurunkan harga sembako, bahan bakar, dsb. Kenyataannya ? Yah, you know … Kita mengangankan hujaman bencana alam bertubi-tubi semenjak tahun 2004 yang dimulai dari tsunami Atjeh hingga letusan Bromo di penghujung 2010 ini mampu membuka mata dan mengetuk nurani mereka untuk berhenti berkorupsi, berobral janji dan segera menjual bukti. Apa daya, telenovela kisah sedih kaum tak berpunya belum akan berakhir dan masih kejar tayang. Itulah mengapa perubahan terasa menyakitkan untuk sebagian orang. Karena kita tidak siap menghadapi dan menerima betapa bertolak belakangnya ketentraman versi angan-angan dengan kegetiran realita. So, kesengsaraan dan penderitaan tidak selamanya merupakan hukuman yang diberikan Maha Hidup atas kenakalan kita. Melainkan karena kesalahan cara pandang dan reaksi kita sendiri dalam menyikapi setiap perubahan yang mampir minum di teras rumah kita.

Perubahan apakah yang kita tunggu ? Yaitu perubahan tatanan baru. Tatanan yang bukan sekedar fashion yang sengaja dibuat selalu berubah-ubah ( yang padahal hanya merupakan pengulangan-pengulangan trend di tahun-tahun sebelumnya , 50-an, 60-an, 70-an, dst. ) demi menguntungkan industrialis pakaian jadi. Bukan penampakan luar yang bisa digonta-ganti secepat Superman atau Zorro menukar kostum, demi menciptakan kesan seolah-olah alias pencitraan belaka guna mendongkrak popularitas seleb kemarin sore. Bukan sekedar dogma rekayasa untuk menakut-nakuti penduduk sipil yang tak punya kuasa dan uang untuk menawar maupun menyuap. Bukan konsep idealis nan indah-indah dan tak kenal lelah  merayukan janji-janji kesejahteraan. Bukan mekso mengada-adakan sesuatu yang belum ada. Melainkan gabungan yang indah dari semua yang sudah dan pernah ada. Dari yang lama dilupakan atau sedang digandrungi. Dari yang lama dan yang baru. Dari jauh di masa lalu dan rencana masa depan, bertemu kangen di masa kini.

Meski demikian, di tengah derasnya arus perubahan ada satu hal yang setia untuk tidak berubah. Ia setia tegak diam dan berdiri, tidak terseret tidak juga melawan arus. Ia tidak peduli dikata-katai ketinggalan jaman, kuno maupun anti mainstream. Ia disebut Hidup, yang bersemayam dalam tubuh kita masing-masing. Tak peduli puluhan, ratusan bahkan jutaan kali kita mencederainya dengan perkataan dan perbuatan yang melenceng dari benar, Ia tidak sontak meninggalkan kita mati sendirian. Malahan tak jemu-jemu mengingatkan untuk kembali sadar dan kembali ke jalur, meski  polisi lalu lintas sedang tidak hadir disana.

EMO(NA)SIONALISTIS

Friday, December 3, 2010