Monday, May 30, 2011

"Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting daripada hasil sendiri. “
(bab 3, ilmu alam -science page 99)
— Tan Malaka (Madilog)

Umur panjang di mata kaum berdaya hidup rendah dan terlalu banyak menelan kekecewaan di usia muda dipandang sebagai siksaan, yang hanya bisa diakhiri oleh kematian. Maka, mereka mengambil jalan pintas di penghujung tali jemuran maupun lubang sumur. Sedangkan di batin mereka yang masih tabah, umur panjang adalah berkah. Yaitu masih diizinkan untuk menyaksikan, kalau perlu turut serta dalam perubahan lingkup lokal, nasional maupun global.

Ada sebersit pengharapan di balik kata ‘perubahan’. Misalnya, perubahan musim dari musim penghujan ke musim kemarau besar artinya bagi para petani. Karena ladang, kebun dan sawah mereka bakal mendapat cukup sinar matahari untuk hasil panen maksimal. Begitu juga dengan perubahan mode dan teknologi, yang akan disambut dengan gembira oleh kaum muda-mudi yang dahaga berkepanjangan terhadap hal-hal baru demi mengaktualisasikan keberadaan diri masing-masing, sekaligus memungkinkan para industrialis di bidang tersebut untuk menangguk untung sebesar-besarnya.

Namun, ada satu perubahan dalam skala nasional yang sampai sekarang saya sesalkan. Ia bernama ‘reformasi ‘. Sebagai anak muda di awal masa akil balig yang masih dipenuhi semangat menegakkan keadilan ideal yang menyala-nyala, saya dan sejumlah mereka yang setia turun ke jalan saat itu telah melakukan kesalahan besar dengan sama sekali tidak memprediksikan ke arah mana angin bertiup paska turunnya sang Jendral sepuh Soeharto. Siapa sangka ternyata orde reformasi yang diperingati tiap tahun di bulan Mei sejak 1999 itu nyaris gagal mewujudkan perubahan signifikan. Malah kian menjauh dari cita-cita para founding fathers sebagai bangsa yang besar, bergengsi dan tidak malu-maluin.

Bukan Mie Instan, Katanya
Sudah enak, bikinnya cepat, gampang lagi. Semua kelebihan itu membuat mie instan disukai masyarakat segala lapisan dan usia. Kaum pengusaha warung dan toko kelontong menyukainya karena cepat laku dan tidak bakal basi. Kaum anak kos menyukainya karena dapat diandalkan sebagai pengganjal perut di tanggal-tanggal kritis alias menjelang akhir bulan. Kaum ibu menyukainya karena dapat menjadi alternatif makanan di kala putra-putri tersayang mendadak sulit makan.

Namun, mie instan ternyata menggenggam senjata mematikan di balik kelezatan cita rasanya. Zat pengawet mie kering dan bumbunya yang mengandung MSG ( monosodium glutamat ) mengancam kesehatan para penggemarnya. Mulai dari kanker, hipertensi, gangguan pencernaan, gangguan tidur sampai penurunan kecerdasan. Meski produsen mie instan ramai-ramai melontarkan bantahan, korban tetap berjatuhan.

Hikmahnya, apa yang dari luar nampak lezat, mudah, menyenangkan plus cepat, dalam artian tidak perlu bersusah payah untuk meraih/ mewujudkannya, belum tentu 100 % aman. Demikian juga dengan yang namanya perubahan ( sambil menghidupkan tombol ‘ menghibur diri ‘ mode on ). Revolusi ( definisinya menurut Eyang Wikipedia adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat ) mungkin adalah pilihan terakhir bagi mereka, rakyat yang habis kesabaran menunggu bergantinya rezim, situasi ekonomi plus nasib, dari yang lama, usang dan bulukan kepada yang baru, hangat dan kinyus-kinyus. Tapi apakah revolusi 100 % aman ?

Perubahan memang bukan mie instan, yang siap dinikmati dalam tempo 3 menit saja. Menjatuhkan pilihan kepada perubahan sama artinya dengan menjatuhkan diri sendiri ke dalam medan pengembaraan abadi. Kita bisa tersesat bila tak pandai-pandai membaca kompas. Kalaulah memang perubahan itu begitu mbulet, berliku bak benang jahit ruwet tak tentu arah, membumihanguskan segenap sumber daya hingga ke dasar, menyayat-nyayat hati karena tak sesuai dengan harapan, ngapain juga kita musti ngoyo berubah atau mengada-adakan perubahan ? Bukankah lebih baik berdiam dengan selamat di keadaan semula, yang stabil, mapan, statis, aman dan stagnan ?

Hati-Hati Di Jalan, Sayang
Tan Malaka dalam Madilog juga mencetuskan, ada empat hal yang mempengaruhi pola pikir penduduk suatu negara. Yaitu : pertama, Wilayah. Pola pikir penduduk negara kelautan alias maritim yang selalu waspada terhadap perubahan cuaca dan arah angin laut jelas berbeda dengan pola pikir penduduk negara agraris yang cenderung mengambil jalan tengah demi menjaga ketenangan dan ketentraman bersama. Kedua, Iklim. Pola pikir suku Eskimo penghuni Kutub Utara yang berkonsentrasi penuh mengatasi satu musim saja seumur hidup mereka, yaitu musim dingin, jelas tak ada miripnya dengan pola pikir suku bangsa penghuni benua Eropa yang musti beradaptasi dengan empat macam musim yang datang silih berganti setiap tahunnya.
Ketiga, Teknologi. Apa sebab manusia zaman sekarang mudah sekali meluapkan emosi baik secara fisik maupun verbal ? Karena mereka sudah terlanjur dimanjakan oleh kemajuan teknologi. Tidak bisa mengirim SMS ( pesan singkat ) karena keterbatasan kapasitas jaringan provider seluler saja sudah mengeluarkan serapah kebun binatang. Bandingkan dengan 10 tahun sebelum sekarang, saat sebagian penduduk di bagian terpencil negeri ini musti menunggu berhari-hari bahkan berbulan-bulan untuk menerima sepucuk surat dari handai taulan di pulau seberang.
Keempat, Kelas Yang Sedang Berkuasa. Warga negara yang baik adalah mereka yang selalu tunduk kepada perintah pemimpinnya. Di mata rakyat jelata pemimpin adalah Justin Beiber, bintang pujaan sekaligus pencetus tren. Mereka memilih pemimpin berdasarkan kesepakatan bersama, bahwa sang A adalah sosok linuwih ( berkelebihan ) dan dianggap paling tahu dan mampu memutuskan dan menerapkan cara-cara mustajab menuju keadilan dan kemakmuran merata. Asal usul kelas/ lapisan masyarakat darimana sang pemimpin itu berasal turut andil dalam pengambilan kebijakan/ keputusan yang akan, sedang atau sudah dibuatnya. Dan dengan sendirinya mempengaruhi pola pikir masyarakat awam untuk berpikir dan bertindak sebagaimana dicontohkan sang pemimpin kepada mereka.

Karena pikiran adalah hasil dari proses menahun sepanjang hayat, baik melalui kontemplasi mencari kebenaran dengan upaya sendiri, maupun buah dari indoktrinasi tanpa henti. Maka merubah jalan liar pikiran tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Namun antiklimaks pemikiran segolongan manusia bisa datang tiba-tiba akibat terpaan badai berantai, yang tak hanya memusnahkan harta benda dan jiwa namun juga harga diri, resistensi dan progresivitas cakrawala pemikiran mereka. Dahulu kala boleh nenek moyang kita menepuk dada sebagai bangsa maritim berkepribadian kokoh nan digdaya. Ketangguhan itu sedikit demi sedikit terkikis bukan oleh datangnya pengaruh-pengaruh dari luar apapun juga. Melainkan karena perang diantara sesama saudara yang saling memperebutkan tahta di penghujung senjakala kerajaan Majapahit. Manakala para raja dan abdi setianya sibuk mengadu otot tentang siapa yang terkuat dan mumpuni memimpin negara, rakyat jelata hanyalah penonton sandiwara. Lantaran bosan, capek dan bingung kehilangan teladan dan kebijaksanaan dari para pemimpin yang mulia, mereka membubarkan diri, meninggalkan perahu perang dan senjata, lalu pergi jauh ke pedalaman. Singkat kata, berakhirlah peradaban agung Nusantara sebagai bangsa maritim oleh kekurangpandaian penguasanya sendiri.

Apakah kita musti meratapi kesialan ini ? Cup,cup,cup ... Jangan menangis, Sayang. Kegagalan itu sendiri sudah cukup ampuh melukai harga diri. Janganlah kita menambah penderitaan hati yang luka dengan segala bentuk manifestasi perasaan negatif ( minder, takut gagal, iri, syak wasangko, dst. ). Kita hanya akan memanen apa yang kita tanam. Sudah menyemai bibit apel, tidak mungkin akan mengunduh jengkol, apalagi petai. Jagalah api gairah untuk melakukan perubahan, ( kemungkinan besar sekali ) itulah kuncinya. Perubahan diawali dari dalam semangat Anda semua. Jika dan hanya jika ia stabil, Anda bisa menggeser cara dan sudut merespon sebuah maupun semua masalah. Babak demi babak drama kehidupan masing-masing akan memberi petunjuk apa, mengapa dan bagaimana kita harus merubah.

OK. Selamat Jalan. Semoga Anda selamat sampai tujuan … !

0 comments:

Post a Comment